Berita

Politik

Benarkah Amerika Menang Di Suriah?

JUMAT, 21 DESEMBER 2018 | 20:50 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

PRESIDEN Amerika Donald Trump mengumumkan kemenangan pasukan Amerika melawan ISIS di Suriah. Karena itu mereka akan ditarik pulang secepatnya, mengingat tugas mereka dianggap sudah selesai. Demikianlah ditulis berbagai media nasional dan internasional yang kredibel dan layak dipercaya. Sebuah keputusan politik yang sangat mengejutkan baik bagi lawan maupun kawan Amerika di Timur Tengah.

Bagi mereka yang mengikuti perkembangan politik di Timur Tengah secara detail dan seksama,  tentu secara spontan akan menyimpulkan bahwa pernyataan ini sangat gegabah. Bahkan bisa dinilai sebaliknya, yakni sebagai sikap putus asa atau pernyataan kekalahan. Mengapa?

Pertama, persoalan di Suriah bukan hanya masalah ISIS. Tapi lebih kompleks dan rumit. Bahkan saya menilai masalah ISIS bukanlah masalah utama, akan tetapi banyak pihak yang suka menggunakan isu ISIS untuk menutupi persoalan yang sebenarnya.

Kedua, di Suriah telah terjadi proxcy war antara Saudi Arabia dengan Iran, sebagai dua negara besar di kawasan yang sedang berebut pengaruh. Saudi Arabia mendukung para pemberontak yang ingin menggulingkan rezim Bashar Al Assad, sementara Iran membelanya. Hizbullah sebagai milisia Syi'ah yang bermarkas di Lebanon dengan alasan ideologis bahu-membahu dengan pasukan Iran yang dibantu Rusia berada di barisan loyalis Assad. Sementara kelompok Kurdi dan pejuang pro-demokrasi dibantu para pejuang lintas negara yang umumnya bermazhab Suni di back-up Amerika dan Saudi Arabia.

Ketiga, Turki dan Israel sebagai tetangga dan memiliki perbatasan langsung dengan Suriah, ternyata juga ikut ambil bagian dalam proxy war ini untuk kepentingan nasionalnya masing-masing. Israel konsisten me musuh rezim Assad, sementara Turki yang semula memusuhi kini balik merangkulnya.

Keempat, Rusia yang kehilangan sekutu-sekutu setianya di Timur Tengah seperti Iraq dan Libia setelah Arab Spring, bertarung habis-habisan dalam membela Rezim Assad, mengingat ia merupakan sekutu terakhir Rusia setelah Khadafi dan Sadam Husen tumbang yang membuat Rusia kehilangan Libia dan Iraq.

Jika Trump benar-benar menindaklanjuti rencananya, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan?

Siapa yang diuntungkan? Pertama, tentu ditarik mundurnya pasukan Amerika sebagai sebuah kemenangan rezim Assad. Selanjutnya, ia akan dengan mudah melibas para penentang dan lawan-lawan politiknya. Kedua, Iran semakin perkasa, dan ambisinya untuk membangun aliansi bulan sabit yang merangkai Iran-Iraq-Suriah-Lebanon akan menjadi kenyataan. Ketiga, Rusia yang memiliki pangkalan laut dan udara di Suriah akan terus membayangi Amerika dan Eropa yang bersekutu dengan sejumlah negara Arab dan Israel.

Lalu siapa yang dirugikan? Pertama, para pejuang Kurdi dan para pejuang Suni pro Demokrasi. Tanpa Amerika, Saudi Arabia tidak punya cukup keberanian dan juga kemampuan untuk menghadapi rezim Assad dan sekutunya. Kedua, Israel yang memiliki perbatasan langsung dan wilayah yang masih disengketakan sejak Perang Arab-Israel 1973 yang dikenal dengan sebutan dataran tinggi Golan.

Suriah bersama Lebanon merupakan negara Arab tetangga Isreal yang tidak bersahabat, karena Mesir dan Jordania sudah dijinakkan Israel. Lebih dari itu, Hizbullah yang sangat ditakuti Israel tentu akan semakin kuat dan percaya diri. Dukungan politik Suriah dan jalur logistik dan senjata dari Iran semakin mudah dan lancar.

Ketiga, Saudi Arabia meskipun menang di Bahrain dalam proxcy war nya melawan Iran, akan tetapi kalah di Iraq dan Suriah, kemudian di Yaman sulit mengalahkan milisia Huthi yang didukung Iran. Qatar negara anggota GCC yang dibokikot Saudi Arabia dan sekutunya terus melawan dengan menganalkan dukungan Iran dan Turki.

Melihat rumitnya peta konflik yang ada, dan implikasi untung-rugi keputusan yang diambil Trump, maka kita lebih mudah menyebutnya sebagai tanda kekalahan. Akan tetapi, bukan mustahil di Suriah Amerika mundur, sebagai langkah persiapan untuk melangkah maju di wilayah Timur Tengah lain. [***]

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Waspadai Partai Cokelat, PDIP: Biarkan Rakyat Bebas Memilih!

Rabu, 27 November 2024 | 11:18

UPDATE

Disdik DKI Segera Cairkan KJP Plus dan KJMU Tahap II

Sabtu, 30 November 2024 | 04:05

Israel dan AS Jauhkan Umat Islam dari Yerusalem

Sabtu, 30 November 2024 | 03:38

Isu Kelompok Rentan Harus Jadi Fokus Legislator Perempuan

Sabtu, 30 November 2024 | 03:18

Dorong Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Kadin Luncurkan White Paper

Sabtu, 30 November 2024 | 03:04

Pasukan Jangkrik Gerindra Sukses Kuasai Pilkada di Jateng

Sabtu, 30 November 2024 | 02:36

Fraksi PKS Usulkan RUU Boikot Produk Israel

Sabtu, 30 November 2024 | 02:34

Sertijab dan Kenaikan Pangkat

Sabtu, 30 November 2024 | 02:01

Bawaslu Pastikan Tak Ada Kecurangan Perhitungan Suara

Sabtu, 30 November 2024 | 01:48

Anggaran Sekolah Gratis DKI Disiapkan Rp2,3 Triliun

Sabtu, 30 November 2024 | 01:17

Mulyono Bidik 2029 dengan Syarat Jakarta Dikuasai

Sabtu, 30 November 2024 | 01:01

Selengkapnya