Berita

Sabrina Meng/Net

Dahlan Iskan

Sabrina Landing Di Ruang Sidang

MINGGU, 09 DESEMBER 2018 | 05:07 WIB | OLEH: DAHLAN ISKAN

SUDAH lama Sabrina ditunggu Amerika. Di bandara-bandara negeri adikuasa itu. Tapi tumben. Selama tahun 2018 Sabrina tidak sekali pun ke Amerika.

Direktur Keuangan Huawei itu sudah merasa. Perusahaannya lagi diincar pemerintahan Donald Trump. Huawei dianggap melawan Amerika. Atau nengkhianati. Yang melarang siapa pun bertransaksi dengan Iran.

Akhirnya Amerika tahu. Akhir Nopember lalu Sabrina Meng, 46 tahun, lagi di Canada. Di Kota Vancouver. Yang oleh pers sering ditulis Hongcouver: saking banyaknya orang Hongkong di sana. Terutama sejak menjelang penyerahan Hongkong: dari Inggris ke Tiongkok. Tahun 1997.


Sabrina memegang dua paspor: Tiongkok dan Hongkong. Memang boleh. Hongkong melegalkan dwikewarganegaraan. Saat ke Canada itu dia menggunakan paspor Hongkong.

Sabrina memang punya dua rumah di Vancouver. Suaminya, yang sekarang, juga tinggal di Canada. Suami kedua. Salah satu anaknya juga sekolah di situ: masih berumur 10 tahun. Anak lainnya, dari suami terdahulu, sekolah di Boston. Umur 16 tahun.

Sabrina menjadi incaran karena ini: dulu dia pernah menjadi direktur di Skycom. Perusahaan satelit itu. Yang juga peralatan terkait stasiun Tv. Skycom adalah anak perusahaan Huawei.

Skycomlah yang diketahui berbisnis dengan negara Islam itu. Bukan Huawei. Tapi Amerika menganggap itu akal-akalan saja. Agar Huawei terhindar dari sanksi.

Di sidang pengadilan Jumat kemarin Sabrina tidak menutupi semua itu. Tapi, katanya, Skycom sudah lama sekali dijual. Tahun 2003. Huawei tidak lagi punya saham di Skycom. Sabrina juga sudah tidak ada nama di situ.

“Betapa banyak perusahaan yang menggunakan logo apel. Apakah itu otomatis milik Apple?, “ ujar pengacara Sabrina.

Huawei memang pernah dipanggil HSBC bank. Tahun 2013. Saat HSBC mendengar bahwa Amerika lagi menyelidiki Huawei. Dalam kaitan dengan Iran.

Dari pihak Huawei Sabrina lah yang datang. Saat itulah Sabrina menjelaskan: Skycom sudah dijual. Sudah lama. Dia juga tidak duduk sebagai apa pun di sana.

Sidang hari itu cukup seru. Belum bisa ambil putusan: apakah Sabrina bisa tidak ditahan. Dengan uang jaminan 1 juta dolar Canada. Setara dengan sekitar Rp 10 miliar.

“Kalau perlu, dua rumah yang di Canada juga jadi jaminan,” ujar pengacara itu. “Kalau kurang percaya juga dua paspor Sabrina diserahkan,” tambahnya.

Biarlah Sabrina hidup bebas di Canada. Tanpa paspor. Yang berarti tidak perlu dicurigai akan ke mana-mana.

Tapi pihak Amerika menuntut lebih dari itu: Sabrina harus diekstradisi ke Amerika. Akan diadili di Amerika. Sabrina juga harus tetap ditahan.

“Sabrina itu punya sumber daya yang luar biasa. Untuk bisa melakukan apa saja,” ujar pengacara pemerintah Canada.

Ruang sidang hari itu penuh sesak. Tumben sekali. Wartawan yang meliput lebih dari 120 orang. Semua TV tidak ada yang no signal. Pihak Huawei mendaftarkan 20 orang eksekutifnya. Untuk memberi dukungan ke Sabrina.

Ini memang bukan hanya persidangan Sabrina. Atau Huawei. Tapi membawa reputasi Tiongkok secara keseluruhan.

Perundingan untuk mengakhiri perang dagang bisa tambah satu agenda: Huawei. Bahkan mungkin saja menjadi agenda paling penting.

Pengacara Sabrina juga mempersoalkan ini: mengapa HSBC bank tidak dianggap melanggar sanksi itu.

Huawei memang harus all out di sini. Sabrina bisa kena hukuman 30 tahun.

Tiongkok tidak akan diam. Prospek penyelesaian perang dagang kian suram. Harga saham di New York merosot. Apalagi di Nasdaq. Yang memperdagangkan saham perusahaan teknologi. Turun sampai 6 persen.

Sabrina terlihat tenang di pengadilan. Melempar senyum ke hadirin. Terutama ke para eksekutifnya.

Hari itu Sabrina akan ke Meksiko. Landing-nya di kantor polisi. [***]

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya