Bagaimanapun juga, perubahan kesimpulan Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) atas kecelakaan yang dialami pesawat Lion Air PK-LQP dari sebelumnya tidak laik terbang menjadi laik terbang, cukup membingungkan publik.
Pesawat Boeing 737-8 (MAX) mengalami kecelakaan saat melayani penerbangan rute JT-610 dari Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng menuju Bandara Depati Amir di Pangkalpinang, Senin pagi, 29 Oktober 2018. Pesawat jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, menewaskan semua kru dan penumpang yang ikut dalam penerbangan itu.
Baca:
KNKT Tutup Perdebatan Soal Kelayakan PK-LQP
PDIP: KNKT Dan Lion Air Jangan Gegabah Bikin Pernyataan Sejak kecelakaan terjadi, berbagai informasi beredar di tengah masyarakat, baik yang bersifat desas-desus maupun yang sudah diuji kebenaran faktualnya. Salah satunya, mengenai kondisi kesehatan pesawat PK-LQP senilai Rp 1,7 triliun itu saat digunakan untuk melayani penerbangan ke Pangkalpinang.
Bahwa pesawat tersebut mengalami gangguan sejak dari penerbangan sebelumnya, rute Denpasar-Cengkareng, sudah dibenarkan berbagai pihak. Sehingga kesimpulan pertama yang disampaikan KNKT dalam jumpa pers dua hari lalu (Rabu, 28/11) bahwa pesawat tidak laik terbang dipandang sejalan dengan berbagai informasi terkonfirmasi itu.
Menjadi aneh dan akhirnya dipertanyakan oleh publik, ketika kemarin (Kamis, 29/11) KNKT mengubah kesimpulan mereka. Apalagi perubahan kesimpulan dilakukan setelah perusahaan yang dimiliki Rusdi Kirana yang kini adalah Dutabesar Republik Indonesia di Malaysia itu mengancam akan menggugat KNKT ke ranah hukum.
Dalam perubahan kesimpulannya, KNKT mengatakan, pesawat PK-LQP laik terbang.
Membingungkan, karena di dalam bagian pertama laporan KNKT,
1. Factual Information, poin
1.1 History of the Flight, halaman 1 (satu), paragraph keempat, disebutkan bahwa
Digital Flight Data Recorder (DFDR) mencatat perbedaan
Angle of Attack (AoA) kiri dan kanan sebesar 20 derajat. Perbedaan ini berlangsung sampai akhir perekaman.
Pada paragraph kelima, KNKT mencatat bahwa sesaat setelah
take off,
controller Terminal East (TE) memastikan bahwa PK-LQP teridentifikasi oleh
Aircraft Situational Display (ASD) atau
radar display, dan selanjutnya meminta pilot naik ke ketinggian 27 ribu kaki.
Di paragraph keenam, enam detik setelah diminta naik ke ketinggian 27 ribu,
Second in Command (SIC) dalam penerbangan itu menghubungi TE dan meminta bantuan TE untuk memastikan ketinggian pesawat. TE mengatakan, bahwa ketika itu pesawat baru berada pada ketinggian 900 kaki.
Hanya sekitar 25 detik kemudian, SIC kembali menghubungi TE dan meminta persetujuan “
to some holding point†yang dijawab oleh TE dengan menanyakan apakah ada persoalan. Pilot PK-LQP kemudian menjawab, “
flight control problem.â€
Bila memperhatikan struktur laporan KNKT, terlihat jelas bahwa paragraph keempat ini adalah paragraph pertama yang mendeskripsikan situasi kesehatan pesawat. Tiga paragraph sebelumnya “hanya†mendeskripsikan catatan perjalanan pesawat yang dioperasikan oleh PT. Lion Mentari Airlines, termasuk penggunaan runway 25L di Cengkareng sebagai titik tinggal landas, juga jumlah penumpang dan kru pesawat.
Artinya, sejak awal laporan KNKT sudah mendeskripsikan persoalan teknis yang dialami PK-LQP.
Catatan KNKT tentang persoalan teknis yang dihadapi pesawat hingga akhirnya TE kehilangan kontak dengan pesawat berlanjut sampai halaman 3 (tiga) laporan itu. Ditutup dengan laporan yang diterima pada pukul 07.05 WIB dari sebuah
tug boat yang melihat serpihan-serpihan (
debris) di laut yang kemudian diketahui berasal dari PK-LQP yang dalam layar radar penerbangan diindetifikasi sebagai LNI610.
Sementara pada poin
1.6.3 Aircraft Flight and Maintenance Log di halaman 7, 8, dan 9, laporan KNKT menampilkan tabel beberapa penerbangan PK-LQP sebelum mengalami kecelakaan.
Dalam tabel itu disebutkan, dalam penerbangan pada tanggal 26 Oktober 2018, dari Bandara Tianjin, Binhai di Republik Rakyat China, menuju Manado di Sulawesi Utara, pun pesawat sudah mengalami masalah, dimana indikator kecepatan dan ketinggian tidak berfungsi dengan baik.
[guh]