EKSPRESI spontan itu merupakan respon orisinal. Tidak hadir melalui ruang yang dimoderasi. Dan presiden kemudian mengumpat kepada politisi sontoloyo. Hal tersebut mungkin refleks naluriah, bentuk akumulasi hal-hal yang terpendam, serta tidak terungkapkan sebelumnya.
Kemarahan, dalam konten dan konteks yang sesuai bisa menjadi kebijaksanaan. Karenanya menempatkan momentum marah harus sesuai situasi dan kondisi yang melingkupinya. Seorang pemarah berbeda karakter dengan tegas. Namun, kita sering terkelabuhi efek kecoh manipulasi citra, yang menggambarkan kemarahan sebagai keberanian bertindak.
Banyak pejabat negeri ini kerap tampil di media massa dengan berlagak marah, atau memang memiliki kita karakter sebagai pemarah. Tetapi untuk urusan marah-marah setiap waktu, kita justru bisa menilai ada persoalan personalitas serta ketidakmampuan mengelola emosi, karena tekanan pada kepemimpinan memang akan selalu ada. Pepatah mengatakan "semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin menerpa".
Lalu bagaimana memaknai kemarahan Presiden Jokowi kali ini? Setelah sebelumnya memberikan teguran keras kepada direktur BPJS Kesehatan, agaknya kehangatan suasana politik mulai menyebabkan rasa gerah. Politisi oposisi yang kemudian juga bersaing dalam kontestasi, kerap dianggap menyerang arah kebijakan petahana, mungkin saja karena itu ungkapan sontoloyo pun terucapkan.
Persoalan etis atau tidak, bukan dalam konteks kajian ini, tetapi menempatkan kemarahan itu dalam bingkai persoalan kepemimpinan dan politik menjadi tinjauan menarik. Sejatinya politik kita hari ini sangatlah elitis. Bagaimana kepentingan publik lahir sebagai negosiasi elit, hasil kompromi dan negosiasi. Dengan demikian, persoalan publik tercerabut kepentingannya secara substantif, hanya menjadi debat artificial.
Saling serang, maka aksi berbalas reaksi. Hari demi hari belakangan ini, isu yang dibahas semakin beragam, tetapi pola pertentangan diantara kubu elit politik yang bertanding masih sama saja. Kemarahan secara emosional, dalam kerangka individual dapat dimaklumi secara rasional sebagai bentuk antitesis atas realitas sengitnya wajah perpolitikan kita. Tentu, kita berharap bila marah tersebut tidaklah kemudian membuat kekuasaan menjadi antikritik dan seolah terbebas dari potensi kesalahan.
Sesungguhnya publik pun jengah dan lelah, dari situasi polemik dan konflik politik, meski tidak bisa menghindar dari paparan informasi tersebut. Setiap sudut media massa kita seolah asyik membangun ruang pertarungan tersebut, belum lagi menyoal di dunia maya, ledek-meledek sudah seolah menjadi menu wajib keriuhan pro dan kontra atas sebuah isu. Mungkinkah Pemilu bisa menjadi momen ceria dan bergembira?
Maka memang politik elit bersifat sontoloyo, diksi yang bermakna umpatan secara negatif. Kita tidak pernah mampu membangun diskursus yang mencerdaskan. Bahkan perdebatan dengan data pun tidak dipergunakan untuk memperluas wawasan, justru saling berbantah tentang validitas data dan angka-angka yang hampa. Hakikat di balik angka menjadi kabur, tawaran serta rencana kerja sebagai solusi atas persoalan masih minim dalam bahasan.
Terjebak dalam fallacy ad hominem - saling serang atas individu menjadi mengemuka, termasuk ad populum - yang menempatkan kami benar dan kalian salah dalam kuantifikasi jumlah. Kebenaran kini bukan terletak pada publik yang luas, melainkan pada representasi elitis.
Membangun Politik yang MembebaskanJika politik elitis memang sontoloyo, maka kita harus pahami dalam politik dan demokrasi terdapat beberapa level prinsipil, yakni: (1) otorisasi - kewenangan dan kekuasaan, (2) persuasi - mengugah dan mengajak, (3) represi - menekan dan menindak, serta (4) manipulasi - memalsukan dan mengelabui.
Tingkatan level prinsipal tersebut berundak, semakin menuju titik manipulasi maka makin sontoloyo pula peta perpolitikan kita. tapi itulah kita, hasil interaksi anda dan saya, karena kita memang senang ber-sontoloyo ria.
Sulit untuk berharap pada media massa sebagai kanal yang netral dan terbebas dari kepentingan, tentulah teramat muskil. Komodifikasi isu bagi media massa menjadi penting, karena hal itu mengundang ketertarikan khalayak. Semakin sensasional, semakin banyak durasi pemberitaan yang diturunkan. Ukuran nilai berita disimplifikasi menjadi rating dan jumlah iklan. Bahkan, pemilik media menjadi aktor politik langsung dalam panggung perpolitikan domestik.
Maka lengkaplah ke-sontoloyo-an itu. bagaimana kita bisa menghadirkan pencerahan? Mulai membangun diskursus publik, membantu literasi informasi bagi publik, bahwa politik merupakan bagian penting dalam demokrasi dalam rotasi kepemimpinan. Lebih jauh lagi, mengajak publik untuk dapat bersikap kritis kepada para elit politik, dengan melihat potensi motif dibelakangnya, melalui penilaian formulasi bangunan argumen rasional yang ditampilkannya.
Terkait keberpihakan, tentu menjadi bagian alamiah dalam demokrasi, merupakan aspirasi dan ekspresi bebas masing-mmasing individu, karena indikator keberhasilan politik bagi publik terletak pada emansipasi dan partisipasi.
Jadi, bagaimana membagun resolusi politik yang membebaskan? Hanya dengan menggunakan nalar publik yang sehat, kita bisa menilai secara jernih atas suatu kondisi. Kita jelas berharap, marah itu tidak lantas membuat gelap mata, jangan sampai marah itu membungkam suara pihak-pihak kritis yang mungkin berseberangan. Jangan remehkan kewarasan publik yang semakin cerdas, dan dapat membedakan kritik mendasar bagi kekuasaan, atau sekedar kritik sebatas lalu sebagai upaya serangan dan gangguan semata!
[***]Yudhi HertantoProgram doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid