Permukiman Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah luluh lantak, amblas akibat likuifaksi. Permukiman padat penduduk itu diputuskan untuk ditimbun dan ditetapkan sebagai pemakaman massal.
Tiga pekan setelah bencana gempa dan tsunami, permukiÂman Balaroa akhirnya di-water bombing menggunakan material disinfektan.
Penyemprotan cairan yang dilakukan di areal seluas 47,8 hektare ini, merupakan bagian dari kegiatan tanggap darurat. Tujuannya untuk membunuh kuman dan bakteri, serta mengantisipasi penyakit diare dan kolera sebagai dampak korban yang masih banyak tertimbun di reruntuhan bangunan.
Banyaknya korban yang tidak berhasil diselamatkan, mengakiÂbatkan penyakit mulai menjangÂkiti para pengungsi tidak jauh dari lokasi bencana.
Untuk mengatasi masalah itu, Kamis (18/9) pagi, satu unit helikopter MI-8 berkeliling melakukan
water bombing di wilayah terdampak likuifaksi seperti Petobo, Balaroa, dan Jono Oge selama enam jam.
Penanganan seluruh wilayah terdampak likuifaksi tidak hanya melalui pengemboman udara, tetapi juga penyemprotan di darat pada wilayah yang dapat dijangÂkau. "Penyemprotan ini untuk pengendalian penyakit menular yang bisa memicu wabah muntÂaber," kata Ketua Tim Kesehatan Komando Tugas Gabungan Terpadu (Kogasgabpad) Kolonel CKM Ahmad Zumaro di Palu akhir pekan lalu.
Zumaro menyatakan, efek cairan disinfektan yang disemÂprotkan ke wilayah terdampak likuifaksi, tidak berbahaya bagi manusia. Sebab, cairan tersebut hanya untuk membunuh kuman, bakteri serta penyakit diare, kolera, malaria dan demam berdarah. "Jadi, tidak berbahaya bagi masyarakat yang berada dalam rumah atau dalam tenda pengungsian," ucapnya.
Permukiman Balaroa yang awalnya seluas 238 hektare luluh lantak terkena likuifaksi. Ribuan rumah amblas ke tanah sedalam lima meter. Sebagian lagi munÂcul di atas permukaan tanah hingga dua meter. Nyaris tidak ada satu pun rumah yang selamat akibat gempa berkekuatan 7,4 skala richter itu. Mayoritas banÂgunan rumah hanya menyisakan atap dari seng. Bagian lantai dan bangunan sudah ambles ke dalam tanah.
Kondisi jalan raya juga sudah tidak berbentuk lagi. Aspal menÂgelupas dan terbelah, bercamÂpur dengan tanah liat. Banyak kendaraan roda empat dan dua berserakan di areal permukiÂman yang sudah tidak layak huni ini.
Beberapa orang yang kehilanÂgan rumahnya hanya bisa meÂmandangi dari kejauhan, sembari meratap pilu. "Rumah saya ada di tengah-tengah. Seluruhnya amÂblas ke dalam tanah," ucap Selvi sambil menunjuk lokasi rumahnya yang sudah rata tanah.
Sebelum ada gempa, Selvi mengenang bahwa permukiman ini padat penduduk. Bahkan, nyaris tidak ada lahan kosong. "Setelah gempa banyak keluarga yang hilang," ujar wanita 35 tahun ini sambil menyeka air matanya.
Selvi menambahkan, sebelum menjadi Perumnas Balaroa, laÂhan ini seluruhnya adalah sawah, kebun sagu dan rawa-rawa. Karena itu, banyak penduduk yang mengajak anak-anaknya membuat sagu mulai siang samÂpai sore. "Mata air juga mudah ditemui di lahan ini," kenangÂnya.
Namun, sejak Perumnas Balaroa berdiri, kata wanita berjilbab ini, kampung terseÂbut berubah total. Lahan yang awalnya berupa persawahan dan perkebunan, menjadi perkamÂpungan padat penduduk. ‘Ada sekitar 900 kepala keluarga yang berada di kampung ini,†sebut dia.
Setelah gempa terjadi, menuÂrut Selvi, Kampung Balaroa kembali seperti dulu sewaktu ia kanak-kanak. Lahannya kosong tanpa satu bangunan pun berdiri. "Lebih dari separuh warga hilang dan belum ditemukan hingga saat ini," tutupnya.
Penyakit Kejiwaan Mulai Muncul
Menurut Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan Ahmad Yurianto, cara terbaik untuk meÂmakamkan jenazah yang belum ditemukan lebih dari sepekan, seperti di permukiman Balaroa, adalah dikubur di tempat mereka meninggal.
"Itu bentuk penghormatan terhadap jenazah. Penggalian jenazah juga sangat berisiko terÂhadap penyebaran dan penularan bakteri-bakteri berbahaya bagi kesehatan lingkungan sekitar," ujar Yurianto.
Kata dia, pemerintah setemÂpat akan menutup lokasi terseÂbut dan menjadikan kawasan terbuka hijau. "Dua monumen juga akan dibangun di atas tanah tersebut," ujarnya.
Yurianto mengatakan, saat ini mulai muncul kasus penyakit di pengungsian. Hal ini dipicu keterbatasan sanitasi, air dan makanan. Penyakit gangguan pencernaan muncul seperti kasus diare, dan sanitasi menjadi fakÂtor terbesar.
"Lokasi pengungsian yang tidak layak, MCK tidak sehat, kebutuhan air bersih kurang. Ini basisnya," tandas dia.
Bahkan, lanjutnya, penyakit kejiwaan juga mulai muncul. Salah satunya, orang yang sudah tidak mengenali keluarganya. "Makanya, psikoterapi juga kita lakukan," ucap Yurianto.
Ia menambahkan, pembanÂgunan MCK berada di bawah kewenangan sarana prasarana yang dipimpin Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sedangkan penÂgelolaan pengungsi dipimpin Kementerian Sosial, sehingga harus ada kerja sama agar penÂgungsi sehat. "Tidak bisa dikÂerjakan satu sektor saja," pungkasnya. ***