Di era milenial sekarang, santri jangan hanya berdakwah di Pondok Pesantren dan di masjid-masjid, tapi harus menjaga generasi milenial dan agen perdamaian dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari berbagai gangguan, terutama intoleransi, radikalisme dan terorisme.
"Santri memiliki prinsip kaifa nataqoddam duuna an natakholaa ‘an at-turast yang artinya bagaimana bisa bersaing dalam kompetisi global tanpa kehilangan jati diri yang ditempa nilai tradisi," ujar H. Maman Imanulhaq, pimpinan Pondok Pesantren Al-Mizan, Majalengka, di Jakarta, Senin (22/10).
Nah dengan prinsip itu, lanjut Maman, meniscayakan santri untuk menguasai isu-isu dunia modern, perangkat teknologi, dan mewarnai pergaulan dunia. Meski demikian, santri harus tetap memegang teguh prinsip universalisme Islam seperti kejujuran, kesederhanaan, keterbukaan dan kerja keras.
Di kemajuan teknologi informasi (TI) dengan hiruk pikuknya media sosial (medsos), Maman menegaskan tugas santri tetap berdakwah. Namun dakwahnya tidak hanya secara konvensional seperti yang dilakukan selama ini, tapi santri harus mampu mengaktualisasikan jihad-jihad kekinian.
“Santri milenial harus menjadi garda terdepan dalam jihad mengampanyekan perdamaian dan melawan upaya-upaya perpecahan," jelas ketua Lembaga Dakwah PBNU ini.
Sejauh ini, lanjut Maman, di kalangan para santri tengah tren jihad dengan menangkal
hoax (kabar bohong) baik di dunia nyata maupun maya. Di dunia nyata, para santri melakukan edukasi di tengah masyarakat tentang bahaya
hoax, gerakan literasi di kalangan anak muda dan dai muda.
Sementara di dunia maya, santri memproduksi dan menyebarkan konten berisi dakwah positif yang bernilai kebangsaan dan kemanusiaan.
"Dakwah santri itu mengajak bukan mengejek, merangkul bukan memukul, menciptakan harmoni bukan hegemoni, menolak radikalisme, apalagi terorisme," pungkas mantan anggota Komisi VIII DPR ini.
[wid]