JUDUL tulisan ini, sengaja saya bawa rasa emosional dan subjektif saya dengan tujuan untuk memberitahu kepada publik bahwa ada makna substantif dari perayaan Hari Santri Nasional. Maksud yang lain adalah untuk menghilangkan paradigma yang melahirkan sikap "dikotomi" terhadap santri seperti yang terjadi pada masa lalu, sehingga harus lahir sebuah buku berjudul; Santri, Abangan dan Priyayi sebagaimana ditulis Clifford Geertz.
Hari Santri Nasional yang ditetapkan pada tanggal 22 Oktober yang dinisbatkan pada hari perlawanan para kiai Jawa Timur kepada para penjajah yang mencoba untuk kembali ke Indonesia, sesungguhnya mempunyai makna universal yang mewajibkan kepada kita untuk terus relevan pada konteks kekinian. Sekali lagi, biar tidak terjebak dengan makna sempit yang mengarah kepada sikap dikotomi tersebut.
Sandaran makna universal tersebut adalah niat dari para pejuang yakni para kiai Jawa Timur yang dipimpin oleh Hadratus Syaikh, KH. Hasyim Asy'ari saat itu yang berani menghibahkan tenaga bahkan hidupnya untuk keberlanjutan kemerdekaan yang baru saja diraihnya dan diproklamasikan. Niat tersebut disertai dengan penuh rasa ikhlas, tawaddu’ dan berani untuk berjihad melawan kedzaliman, kesewenangan dan para perampas hak orang lain.
Dan niat inilah yang dapat membawa Hari Santri Nasional dapat dirayakan dan direnungi oleh siapa saja tidak hanya oleh para aktivis yang kebetulan berada pada organisasi keagamaan, namun juga oleh para politisi sekalipun yang kebetulan berada di partai politik berlabel nasionalis seperti partai yang kini saat geluti.
Tantangan saat ini sebenarnya tidak terlalu jauh beda dengan tantangan yang dihadapi oleh Hadratus Syaikh, KH. Hasyim Asy'ari, yakni sikap kesewenangan, kedzaliman dan ketidak adilan. Hanya beda bentuk dan arah datangnya serangan serta pelakunya yang tidak lagi dengan membawa senjata untuk menjajah.
Sehingga untuk memerangi ini semua, kita tetap perlu menteladani Hadratus Syaikh, KH. Hasyim Asy'ari untuk memerangi tantangan tersebut yaitu dengan rasa ikhlas, tawaddu' dan berani untuk berjihad. Dan kembali saya tegaskan, ini harus dilakukan oleh semua elemen termasuk para kelompok yang kebetulan berada para partai politik.
Gerindra dan Resolusi JihadGerindra, sebagai salah satu partai politik dapat dipahami telah menginsipirasi perjuangan Hadratus Syaikh, KH. Hasyim Asy'ari. Hal yang paling nyata adalah sejak dilahirkan Gerindra selalu memperjuangkan nasib para mustad'afin, tertindas dan nasib rakyat Indonesia yang kebijakan pemerintah belum memihak kepadanya.
Tentu sebagai partai politik, perjuangan ini dilakukan dengan cara normatif kepartain dan internalisasi ideologi kepada para kader terlebih dahulu, lalu diharapkan dapat mengalir dan tersebar kepada segenap lapisan bangsa seantero negeri ini.
Selain itu, Gerindra juga telah membuktikan sejak didirikan telah mampu mengawal hak-hak orang lemah untuk hidup setara dengan orang lain. Dan perjuangan inilah yang saya maksud sebagai bentuk meraih makna universal Hari Santri Nasional seperti yang diajarkan oleh pejuang di Jawa Timur yang kemudian melahirkan istilah resolusi jihad.
Resolusi Jihad kalau dikembalikan kepada makna terminologisnya adalah kesepakatan atau iktikad bersama para pejuang untuk melawan para penjajah yang kemudian diformalisasikan untuk dikenang pada zaman kekinian dengan sebutan Hari Santri Nasional, tentu dengan harapan dapat menjadi momen untuk direnungi dan ditadabburi dan dapat melahirkan semangat baru untuk memerangi bentuk baru dari penjajahan.
Gerindra, tentu telah banyak melakukan semangat ini kalaupun disadari betul bahwa saat ini belum bisa mengatakan berhasil. Sehingga perlunya keberlangsungan perjuangan dan perlunya resolusi jihad untuk terus dikobarkan kepada kepada segenap lapisan rakyat Indonesia.
Penjajahan bentuk baru seperti apa? Umur Indonesia yang memasuki 73tahun sebanarnya bukan tergolong muda lagi, namun dengan umur tersebut Indonesia belum mampu tampil sebagai negara yang merdeka seutuhnya terlebih dari aspek perkembangan ekonominya.
Hal ini disebabkan banyak hal, diantaranya sikap yang tidak jauh beda sikap para penjajah dan ironisnya lagi sikap ini justru datang dari bangsanya sendiri. Sebut saja seperti kebijakan ekonomi yang belum memihak kepada rakyat kecil, pengelolaan APBN yang tidak pro rakyat, kebijakan impor pangan yang dapat mematikan para petani termasuk juga penjajahan dalam bentuk baru adalah prilaku korupsi para pejabat. Untuk memerangi ini semua perlu sikap "Resolusi Jihad" seperti yang diajarkan oleh Hadratus Syaikh, KH. Hasyim Asy'ari.
Sebagai penutup dalam tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa Gerindra dengan perangkat perjuangan yang dimiliki telah mengambil inspirasi resolusi jihad, sehingga dengan perayaan Hari Santri Nasional tahun ini, perjuangan belumlah berahir dan akan terus kita kobarkan jihad dalam bentuk baru untuk memerangi penjajahan dalam bentuk baru yang akan terus memerangi segenap bangsa Indonesia.
[***]Moh. Nizar ZahroKetua Umum Satuan Relawan Indonesia Raya