Kampanye adalah tahapan paling krusial dalam pelaksanaan pemilu. Namun lamanya waktu kampanye Pemilu 2019 justru menjadi dilema. Salah satunya karena berpotensi menimbulkan gesekan horizontal antar pemilih.
Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu Indonesia (KIPP Indonesia) Kaka Suminta mengatakan, bercermin dari proses pemilihan tahun 2014 maÂka potensi konflik di masyarakat saat masa kampanye sebetulnya telah berubah menjadi sangat terÂbuka. Arus informasi hoax dan hate speech yang tidak mampu di kontrol sepenuhnya oleh pemerintah jadi pemicunya.
"Oleh karena itu semakin lama proses kampanye berlangÂsung maka potensi gerakannya semakin tinggi," ujarnya, di Jakarta, kemarin.
Diketahui, masa kampanye pemilu legislatif dan presiden 2019 mencapai sekitar 7 bulan lamanya. Sesuai Jadwal KPU, masa kampanye telah dimulai sejak Minggu (23/9) dan beraÂkhir pada 13 April 2019.
Diketahui, masa kampanye pemilu legislatif dan presiden 2019 mencapai sekitar 7 bulan lamanya. Sesuai Jadwal KPU, masa kampanye telah dimulai sejak Minggu (23/9) dan beraÂkhir pada 13 April 2019.
Ia mengakui, gagasan lamanÂya waktu kampanye awalnya di desain untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi para peserta pemilu untuk menyampaikan visi dan misinya. Begitu juga bagi pemilih, ada ruang cukup untuk mendiskusikan visi dan misi para kandidat.
Akan tetapi, lanjut dia, kencangnya perkembangan teknologi informasi (TI) pada faktanya juga membuat informasi-informasi yang beredar di masyarakat banyakyang palsu. Celakanya, celahini kini kerap dimanfaatkan pihak yang berkompetisi untuk saling jegal meskipun konsekueÂnsinya adalahpecahnya kerukuÂnan antar masyarakat.
"Kondisi sekarang justru cukup mengkhawatirkan. Proses kampanye rawanndijadikan ruang utuk melakukan politikbelah bambu. Menginjak lawan untuk memeÂnangkan kompetisi," jelasnya.
Berdasarkan dasar pemikiran itu, dia meminta agar pihak penyelenggara bisa melakukan upaya antisipisai dini bersama-sama dengan pemerintah.
"Idealnya mengurangi waktu pemilihan dan masa kampanye. Tapi kan pilihan ini agak sulit mengingat sudah ditentukan oleh undang-undang. Makanya, perlu langkah konkrit untuk meminiÂmalisir potensi konflik horizonÂtal di masyarakat danbpotensi politik biaya tinggi," tandasnya.
Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil sepakat bahwa isu gesekan sosial pada pemilu 2019 harus diberi perhatian lebih. Pasalnya, masalah ini bukan hanya bisa dipicu oleh masalah Hoax tapi juga karena kerasnya kompetisi dalam pemilu.
Kompetisi pemilu menjadi keras, jelas Fadli, karena diikuti oleh belasan partai politik dan terjadi penambahan jumlah dapil. Kedua hal ini bisa membuat celah clash dilapangan jadi terbuka.
"Peserta pemilu 2019 juga cukup banyak sampai 14 partai, coba bandingkan dengan pemilu sebelumnya. Hal ini tentu akan menggambarkan betapa keras nanti dilapangan," ujarnya.
Menurut dia, tugas berat kini ada ditangam Bawaslu, Gakkumdu termasuk Kepolisian. Ketiganya tidak bolah tumpul dalam menghadapi setiap kasus.
Pengamat hukum Universitas Andalas, Alvon Kurnia Palma juga tidak habis pikir bahwa masa kampanye pemilu 2019 sangat panjang hingga lebih dari 4 bulan. Padahal, secara historinya maka masa kampanye paling panjang hanya ada di kontestasi Pilkada.
"Saya juga tidak mendapatkan legal reasoning kenapa bisa seÂlama ini. Saya tidak tahu apakah kita ingin mengimplan metode di Amerika Latin," jelasnya.
Sekalipun begitu, ia sepakat dibutuhkan upaya antisipasi dini dari pihak penyelenggara agar tidak terjadi gesekan sosial. Upaya antisipasi tidak boleh melulu hanyadeklarasi-deklarasi semata.
"Paling penting adalah awareÂness bahwa kampanye yang panÂjang juga berpotensi menimbulÂkan konflik sosial. Ini agar proses pemilu kita tidak jadi ajang kekerasan," tandasnya. ***