Data pemilih Pemilu 2019 dinilai masuh jauh dari akurat. Alhasil Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang seharusnya ditetapÂkan pada 5 September 2018, tidak bisa dilakukan karena kuÂbu Prabowo-Sandi menganggap masih ada sekitar 6 jutaan data invalid. 1,8 juta versi Bawaslu dan sementara versi KPU hanya tinggal 795 ribu nama pemilih ganda dari 185 juta DPT.
Akibatnya, penetapan DPT ditunda hingga 16 September 2018. Ternyata dengan peÂnundaan tersebut KPU hanya mampu menyajikan DPT Hasil Perbaikan (DPTHP) secara kuantitatif. Yaitu menjadi 185.084.629, atau berkurang 647.464 dari 185.732.093. Sedangkan terkait dengan probÂlema invaliditas data, belum bisa dituntaskan.
Dampaknya, KPU kembali diberi perpanjangan waktu dua bulan untuk memperbaikinya. Apakah setÂelah diberi tenggat dua bulan, KPU mampu menyajikan data secara lebih berkualitas dan
clear? Sulit bagi kita untuk menebaknya karena sifat data pemilih itu dinamis, kompleks, dan problemnya berjalin dengan faktor lainnya. Berikut pemaparan seÂlengkapnya dari Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin.
Bagaimana cara Bawaslu mengantisipasi naik maupun penurunan data pemilih?Daftar pemilih ini kan bisa dikatakan agak merata meskipun tidak sampai 50 persen. Maka dari itu, hal ini sebenarnya menÂgonfirmasi logika publik yang selama ini merasa daftar pemilih adalah data induk sehingga naik dan turunnya terbilang rawan. Hal ini sebagaimana yang kami sikapi bersama KPU. Untuk data tersebut bisa muncul di kabupaten/kota.
Kemudian dari sisi kewenangan sengketa ini juga jadi tahapan yang berpotensi kerawanan tinggi. Kalau di hari H sampai terjadi saya rasa kita harus memaklumi mengingat konsentrasi pelaksanaan pemilu semuanya di hari H. Sementara itu yang menjadi catatan penting menurut saya adalah politik uang dan penggunaan isu sara yang kami anggap isu yang harus diwaspadai dalam kampanye. Nah yang seperti ini orientasinya pasti negatif.
Apa karena banyak yang beÂlum terdaftar padahal sudah memiliki hak pilih?Iya, dan di antara yang muncul dari bawah itu banyak orang yang melaporkan dia tidak tercatat seÂbagai pemilih. Pun banyak orang yang merasa ada orang yang sudah tidak sah menjadi pemilih (tidak memenuhi syarat) namun masih ada di daftar. Sementara kalau dicatat melalui indeks jika datanya muncul di setiap titik maka menjadi poin. Jadi tidak melihat kebesaran di satu titik sedangkan titik lainnya kosong. Kalau satu titik besar dan di titik lainnya kosong maka tidak bisa terpetakan. Misalnya kerawaÂnan dari sisi kerusuhan. Bayangkan saja kerusuhan kecil muncul di banyak titik kan persentasenya jadi tinggi.
Jadi apa yang harus dilakuÂkan Komisi Pemilihan Umum terkait daftar pemilih?Pertama, kalau pendaftaran pemilih kami sudah sepakat dan kami minta dari provinsi dan kabupaten/kota kewalahan meÂnarik database, maka bisa meÂminta bantuan ke kami. Silakan KPU periksa saja kemudian masukkan ke kami. Setelah itu kami yang akan menggerakÂkan bawahan kita dalam hal ini Bawaslu daerah. Namun sampai sekarang belum ada hal demikiÂan. Kalau beberapa hari lalu soal penetapan daftar pemilih tetap fase satu yang kami tidak setuju itu baru kemarin kedapetan nama-namanya. Namun pemÂbagian per kabupaten atas nama yang sudah kami coret belum kami dapatkan. Nanti kami akan koordinasi dengan KPU. Saya kira ujian kita bersama untuk memastikan pemilih.
Kalau tidak bisa diselesaiÂkan dampaknya apa?Dari sisi dampak ada banyak. Pertama, hak pemilih hilang itu bagian dari tanggung jawab kita bersama. Sementara yang sigÂnifikan itu kami khawatir ini jadi alasan untuk sengketa, alasan gugatan, dan lain-lain. Makanya kami berikan early warning unÂtuk dijadikan acuan pencegahan. Harapannya kalau esok hari politik uang menjadi sedikit dan itu yang kami harapkan.
Cara membedakan pembeÂrian uang atau barang yang masuk kategori politik uang dan program pemerintah baÂgaimana?Ya pasti orientasinya apakah diberikan saat kampanye atau tidak. Kalau program kan mestiÂnya tidak diberikan saat kampaÂnye. Terlebih pemberinya adalah apakah tim kampanye atau tidak. Hal ini kami harus hati-hati dan cermat untuk membedakan. Kalau event-event-nya adalah kampanye tentu ini bagian dari pemberian saat kampanye. Hal ini juga sudah ada aturannya bagi yang memberikan souvenir atau sejenisnya dengan konversi Rp 60 ribu per barangnya, maka mengacu pada aturan KPU. Pemberian lainnya kalau orienÂtasinya adalah untuk mengajak masyarakat memilih nanti kami lihat per case-nya. Apakah ini bagian politik uang atau tidak. Kalau bersifat program pasti tak dilakukan saat kampanye. Kalau ada pelaksanaan program yang orientasinya kampanye ya pasti ini tidak boleh. ***