Berita

Martimus Amin dan Hatta Taliwang/Dok

Publika

Pribumi Bergerak! Wis Wayahe

JUMAT, 21 SEPTEMBER 2018 | 13:16 WIB

Pribumi Bergerak! Wis Wayahe

ISTILAH pribumi atau warga asli, pada masa kolonial Belanda dikenal dengan sebutan kaum boemi poetra. Pemerintahan kolonial Belanda mengkualifikasikan sebagai warga kelas tiga.

Sedangkan warga dari bangsa penjajah eropah digolongkan sebagai kelas pertama. Pendatang dari Cina, Arab, India disebut golongan timur asing memiliki kedudukan sebagai warga kelas dua.
Mereka ini mendapat hak istimewa duduk dalam birokrasi pemerintahan kolonial belanda dan menjalankan sektor perdagangan. Hanya keturunan dari bangsa Arab sebagai pendatang mudah diterima pribumi. Karena kebayakan mereka menjadi guru dan beragama sama dengan kaum pribumi

Mereka ini mendapat hak istimewa duduk dalam birokrasi pemerintahan kolonial belanda dan menjalankan sektor perdagangan. Hanya keturunan dari bangsa Arab sebagai pendatang mudah diterima pribumi. Karena kebayakan mereka menjadi guru dan beragama sama dengan kaum pribumi

Dalam kedudukan hukum perdata dan pidana, kedudukan kaum pribumi tidak memiliki hak seimbang, apalagi dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1905 barulah dilakukan unifikasi Kitab UU Hukum Pidana (KUHP).

Sebelumnya kaum pribumi dikenakan hukum Romawi kuno yang bengis, kejam dan sudah lama ditinggalkan oleh negara Belanda karena tidak sesuai dengan nilai HAM yang menjadi lokomotif menyemangati bangsa Eropah pada awal abad 18.

Namun unifikasi KUHP semangat sangat berbeda jauh antara di negara asalnya Belanda dan dipraktekkan di negeri jajahannya.

KUHP di negeri Belanda menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, sebaliknya KUHP di Hindia Belanda diselimuti ego sentris kolonialisme, antara lain masih diberlakukan hukum mati. Padahal sejak lama telah dihapus di negara Belanda.

Kaum pergerakan banyak di penjara. Kebebasan berkumpul, berpendapat, berunjuk rasa sebagai nilai HAM yang seharusnya dijamin dan berlaku universal bagi setiap orang/individu dinafikan kaum yang ingin kemerdekaan sejati bagi bangsa dan tanah airnya, dijerat dengan tuduhan pasal makar.

Politik etis (balas budi) yang dipelopori wartawan Pieter Broshooft dan politisi dari partai sosialisme belanda C.Th. van Deventer, ternyata kebijakannya hanya bisa menyekolahkan kaum pribumi sampai tingkat Sekolah Rakyat (SD) saja.

Keturunan priyayi yang hanya bisa menempuh jejang pendidikan tinggi sampai tingkat universitas, dalam rangka mencari tenaga kerja terdidik dan trampil murah yang tidak perlu didatangi lagi jauh-jauh dari negerinya untuk memenuhi kebutuhan pegawai birokrasi pemerintahan kolonialisme Belanda.

Pribumi adalah kaum grass root (akar rumput) atau kaum tertindas dan terpinggirkan, akibat sistem yang tidak adil dan tidak memihak kepada mereka dari sejak zaman kolonialisme sampai era kemerdekaan RI.

Pada masa Orba golongan pengusaha pribumi mendapat kredit likuiditas dari pemerintah paling banter  hanya sebesar 1 persen sd 3 persen bantuan. Sisanya dinikmati pebisnis keturunan. Ironisnya, padahal mereka jelas-jelas hobi mengemplang dan berkhianat kepada NKRI.

Ketidakadilan dan kesenjangan yang dipertontonkan di negeri ini tampaknya semakin akut. Sungguh mengerikan kaum minoritas yang jumlah tidak sampai 2 persen jumlahnya sampai menguasai ekonomi nasional dan 70 persen lahan tanah Indonesia.

Bisnis mereka pun kini merambah media massa dan bermanuver dalam dunia politik. Para kartel dari golongan hitam ini pun tidak segan bersatu dalam upaya mempertahankan hak-hak istimewanya dengan memelihara dan mempertahankan pejabat-pejabat asong sebagai cantolannya di era pemilu liberal sekarang ini

Kalau pribumi tidak sadar dan bangkit niscaya ia pasti punah. Pribumi bergerak! Wis wayahe (sudah saatnya). [***]


Martimus Amin

Deklarator Pribumi Bergerak

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Kuasa Hukum: Nadiem Makarim Tidak Terima Sepeserpun

Minggu, 21 Desember 2025 | 22:09

China-AS Intervensi Konflik Kamboja-Thailand

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:51

Prabowo Setuju Terbitkan PP agar Perpol 10/2025 Tidak Melebar

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:35

Kejagung Tegaskan Tidak Ada Ruang bagi Pelanggar Hukum

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:12

Kapolri Komitmen Hadirkan Layanan Terbaik selama Nataru

Minggu, 21 Desember 2025 | 20:54

Kasus WN China Vs TNI Ketapang Butuh Atensi Prabowo

Minggu, 21 Desember 2025 | 20:25

Dino Patti Djalal Kritik Kinerja Menlu Sugiono Selama Setahun

Minggu, 21 Desember 2025 | 19:45

Alarm-Alam dan Kekacauan Sistemik

Minggu, 21 Desember 2025 | 19:39

Musyawarah Kubro Alim Ulama NU Sepakati MLB

Minggu, 21 Desember 2025 | 19:09

Kepala BRIN Tinjau Korban Bencana di Aceh Tamiang

Minggu, 21 Desember 2025 | 19:00

Selengkapnya