Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, berdampak terhadap sejumlah aspek. Di antaranya perdagangan barang-barang yang mesti diimpor, seperti buah dan perlengkapan elektronik.
Jalan TB Simatupang, teÂpatnya di Persimpangan Pasar Rebo, Ciracas, jadi salah satu sentra buah-buahan di wilayah Jakarta Timur. Saban hari, puluÂhan pedagang menggelar lapak di sepanjang jalan lebih dari 300 meter. Beragam buah, mulai dari lokal hingga impor, dijajakan di tempat tersebut.
Jumat (7/9), Ahmad, pedagang buah di Pasar Rebo tampak sedang melayani pembeli. Di lapaknya yang tidak begitu luas, Ahmad menjual beragam buah. Mulai dari apel, jeruk, duku,anggur hingga lengkeng. Asalnya pun beragam, mulai dari dalam negeri hingga impor.
Buah-buah tersebut disusunnyadengan rapi dari atas hingga ke bawah. Papan-papan kayu jadi alas buah-buah tersebut. Buah-buah ukuran kecil sepertianggur, lengkeng, dibungkus dalam wadah styrofoam dan dibungkus lagi dengan plastik hampa udara.
Di atas buah-buah yang dijajakannya, tak lupa Ahmad meletakkan banderol harga. Ada banderol yang menunjukkan harga per kilogram (Kg), dan ada juga banderol yang menunjukkan harga per bungkus. Tidak bisa ditawar. Harga pas.
Siang itu, ada beberapa orang yang mampir ke lapak Ahmad.
Namun, tak semuanya membeli. Ada yang hanya menawar, meski sudah dibanderol, tapi tak jadi membeli.
"Nggak jadi beli, mahal," tutur Venty, salah seorang pengunjung lapak Ahmad.
Venty mengaku tak mengeÂtahui mengapa buah yang ingin dibelinya lebih mahal dari biÂasanya. Dia pun hanya dijelasÂkan bahwa harga buah memang sedang mahal.
"Tadi dibilangnya cuma lagi mahal aja. Nggak kasih tahu kenapa mahal," tutur Venty.
Terkait pengaruh dolar AS terhadap kenaikan harga buah impor, Venty mengaku telah mengetahuinya. Namun, dia tak menyangka kenaikan harga lumayan besar.
"Kayak yang biasa Rp 10 ribu jadi Rp 12 ribu. Kan lumayan itu naiknya," ujarnya.
Ahmad, sang pemilik lapak menjelaskan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS sangat berpengaruh terhadap buah impor. Kata dia, harga buah impor mulai naik sejak awal pekan lalu. Untuk buah impor, kenaikannya berkisar Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu.
Ahmad menuturkan, terpakÂsa menaikkan harga buah ke pembeli agar tidak mengalami kerugian setelah mengeluarkan modalyang lebih besar dari biasanya.
"Kalau buah naik, ya kita naikin harganya ke pembeli. Misalnya dari Rp 10 ribu menÂjadi Rp 13 ribu," jelas Ahmad.
Kenaikan harga buah, samÂbung Ahmad, justru tak memÂbuat pendapatannya bertambah. Sebelumnya, sehari-hari, Ahmad bilang bisa meraup pendapatan hingga Rp 1,5 juta. Namun, beberapa hari terakhir, pendapatanÂnya berkurang.
Lebih lanjut, Ahmad juga tidak bisa memperkirakan hingga kaÂpan harga buah impor kembali normal. Pasalnya, sambung dia, hingga saat ini nilai rupiah masih belum stabil, sehingga mempenÂgaruhi harga jual buah impor.
"Kami tak bisa memprediksi kapan bakal kembali normal. Kalau dari pasar induk harganya naik, ya kami juga akan menaikkan harga. Sulit, karena nilai rupiah terkadang turun dan naik," jelasnya.
Namun, Ahmad tetap berharap kondisi seperti ini tidak berlangsung lama agar pihaknya takmengalami banyak kerugian.
"Ya mudah-mudahan ada tindakan dari pemerintah biar stabil. Kalau nggak, repot juga kita pedagang kecil," ucapnya.
Dolar Naik, Penghasilan Pedagang Elektronik Turun
Efek melemahnya rupiah terÂhadap dolar AS juga dirasakan pedagang elektronik.
Joni, pedagang elektronik di Glodok City, Jakarta Barat, mengatakan, melemahnya rupiah membuat harga barang-barang elektronik, termasuk kamera naik hingga 10 persen. Imbasnya, penjualan produk tersebut menÂjadi lesu. Penghasilannya pun menurun. "Sekarang lagi lesu. Awalnya memang gara-gara ada jualan online. Tapi dengan ini (depresiasi rupiah) makin parah. Nggak tahu nanti ke depan baÂgaimana," ujar Joni.
Dia menuturkan, lantaran penÂjualan yang lesu, omzetnya kini turun hingga 50 persen. Namun, dirinya hanya bisa pasrah mengÂhadapi kondisi saat ini. Padahal, katanya lagi, pedagang sudah berat dengan nilai dolar AS Rp 14 ribu, apalagi jika menyentuh Rp 15 ribu.
Selain itu, tren peningkatan penjualan, khususnya untuk kamera digital yang biasanya naik pada akhir tahun untuk dipakai liburan, hingga saat ini belum terlihat peningkatannya. Hal tersebut membuat dirinya khawatir, penjualan tahun ini tidak akan mencapai target.
"Akhir tahun biasanya naik. Dari Agustus harusnya sudah mulai kelihatan naik. Ini sampai sekarang, belum ada tanda-tanda. Sampai September masih sepi," katanya.
Bambang, pedagang lainnya mengatakan, naiknya harga dolar bakal semakin membuat mereka semakin terjepit. Sebab, sebelum harga dolar AS mendekati Rp 15 ribu seperti saat ini, penghasilan mereka memang sudah menuÂrun. "Mau dolar naik apa enggak sih sama aja. Sama-sama sepi pembeli dan penghasilan terus turun," ujar Bambang.
Sepinya pembeli yang daÂtang ke pusat perbelanjaan di kawasan Glodok, dikatakan Bambang, sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir.
"Entah karena kalah saing saÂma mal-mal baru, atau memang daya belinya sepi karena faktor ekonomi. Yang jelas, memang di sini sudah sepi dan banyak yang bangkrut," ujarnya.
Dia berharap, pemerintah seÂcepatnya menerapkan kebijakan agar harga dolar tidak terus naik. Sebab, sebagai pedagang elekÂtronik yang mayoritas menjual barang impor, dia begitu berganÂtung dengan harga dolar. "Kita kan barangnya ini impor semua, kalau dolarnya naik, otomatis belanja juga naik. Kalau harga naik terus, siapa yang mau beli," tandasnya.
Latar Belakang
Berpotensi Lemahkan Rupiah Lagi
Perang Dagang AS Lawan China
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menstabilÂkan nilai rupiah terhadap dolar AS. Hasilnya, rupiah sedikit menguatterhadap dolar AS, Jumat (7/9).
Namun, analis memprediksi sentimen global masih akan menghantui rupiah dalam sepeÂkan ke depan. Mengutip Bloomberg di pasar spot, rupiah tercatat menguat 0,49 persen ke Rp 14.820 per dollar Amerika Serikat (AS). Sementara, berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI) rupiah tercatat menguat 0,04 persen ke Rp 14.884 per dolar AS.
Analis melihat, pelemahan rupiah disebabkan pengaruh penguatan dolar AS yang diÂpicu kekhawatiran akan perang dagang AS dengan China. Kebijakan AS yang mengenakan tarif baru antara 10-20 persen terhadap 200 miliar dolar AS produk impor China, menjadi sentimen negatif bagi rupiah.
Selain itu, rupiah dibawa melemah pada awal pekan karena potensi kenaikan suku bunga AS pada bulan ini juga semakin bulat, karena didukung dataekonomi AS yang positif. Sementara, dari dalam negeri, rupiah melemah pada awal pekan karena investor khawatir defisit neraca perdagangan temÂbus ke 3 persen.
Namun, Jumat lalu, rupiah sedikit menguat. Analis melihat, rupiah menguat karena interÂvensi BI cukup besar.
Di sisi lain, pada hari yang sama, dolar AS sedikit melemah. Itu dipengaruhi dari melemahÂnya dolar AS terhadap yen di tengah potensi perang dagang antara AS dengan Jepang.
Sepekan ke depan, menurut analis, pergerakan rupiah akan dipengaruhi hasil data ketenaÂgakerjaan AS yang akan dirilis. Jika data yang dirilis positif, maka bisa membuat rupiah kembali tertekan.
Selain itu, investor juga meÂnanti perkembangan perang dagang AS dan China. Pasalnya, China akan membalas tarif imÂpor baru AS. Jika perang dagang masih memanas, maka hal ini juga menjadi sentimen negatif bagi rupiah.
Untuk sepekan ke depan, rupiah diprediksi berada di Rp 14.730 hingga Rp 15 ribu per dolar AS. Sedangkan untuk perÂdagangan Senin (10/9), rupiah diperkirakan berada di rentang Rp 14.760 hingga Rp 14.870 per dolar AS.
Sebelumnya, sejak awal pekan lalu, dolar AS menunjukkan keperkasaannya pada rupiah. Banyak pengamat ekonomi yang menganalisis penyebab jatuhnya nilai tukar rupiah. Sumbernya pun disebut bermacam-macam, mulai dari sentimen domestik hingga luar negeri.
Namun, pemulihan ekonomi AS dinilai sebagai sumber palÂing dominan atas menguatnya nilai tukar mata uang dolar AS terhadap mata uang negara lain di dunia. Pertumbuhan ekonomi AS di bawah pemerintahan Donald Trump terus mencatat kinerja yang kuat. Bahkan pada kuartal II 2018, ekonomi AS menghasilkan kinerja terbaik setÂelah hampir empat tahun. Hal ini disebabkan ekspor yang meningÂkat dan impor yang menurun.
Para ekonom menilai, laju pertumbuhan ekonomi yang kuat, kemungkinan membuat bank sentral negara tersebut
, The Federal Reserve, berada di jalur yang tepat untuk menaikkan suku bunga acuan pada perÂtemuan mendatang. Itu berarti yang ketiga kalinya di tahun ini. ***