Hadi Setiawan akhirnya menyerahkan diri kepada KPK. Orang kepercayaan Tamin Sukardi itu sempat lolos saat operasi tangkap tangan kasus suap kepada hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan.
Hadi menyerahkan diri di hotel Sun City, Sidoarjo, Jawa Timur. "Selasa, 4 September tersebut, pukul 09.45 WIB, tersangka HS diantar oleh istri dan beberapa anggota keluarganya di lobi hoÂtel," kata juru bicara KPK Febri Diansyah.
Setelah menyerahkan surat penangkapan Hadi kepada pihak keluarga, penyidik KPK mengÂgiring Hadi ke Bandara Juanda, Sidoarjo untuk diterbangkan ke Jakarta. Tiba di KPK kemarin sore, Hadi langsung menjalani pemeriksaan sebagai tersangka.
Tadi malam, Hadi digiring keÂluar gedung KPK. Ia terlihat mengenakan rompi tahanan oranye. Pria berkaca mata itu menutupi wajahnya dengan map merah. "Ditahan 20 hari pertama di Rutan Cabang KPK di belakang Gedung Merah Putih," kata Febri.
Hadi bersama Tamin ditetapÂkan sebagai tersangka pemberi suap. Sedangkan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Medan Merry Purba dan Panitera Pengganti Helpandi ditetapkan sebagai tersangka penerima suap.
Tamin dan Hadi menyuap haÂkim 280 ribu dolar Singapura atau setara Rp 3 miliar untuk mempenÂgaruhi putusan perkarakorupsi pencaplokan tanah negara bekas PT Perkebunan Nusantara IIdi Deliserdang, Sumatera Utara.
Tamin menjadi terdakwa kasus yang merugikan negara Rp 132 miliar itu. Merry diketahui meÂnyampaikan beda pendapat atau dissenting opinion dalam putusan perkara Tamin yang dibacakan 27 Agustus 2018.
Sehari setelah pembacaan putusan, tim KPK menangkap Helpandi. Dari tangannya ditemukan amplop berisi uang 130 ribu dolar Singapura. Helpandi digiringke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumut untuk diinterogasi.
Berdasarkan keterangan Helpandi, KPK mencokok staf Tamin, Sudarni di rumahnya di Medan. Sudarni juga dibawa ke Kejati Sumut untuk diinterograsi.
KPK kemudian memburu Tamin dan Hadi. Tamin ditangÂkap di rumahnya. Sedangkan Hadi lolos. Terakhir, KPK meÂnangkap Merry, hakim karier Pengadilan Negeri (PN) Medan Sontan Merauke Sinaga, Wakil Ketua PN Medan Wahyu Prasetyo, Ketua PN Medan Marsuddin Nainggolan, dan Oloan Sirait, Panitera Pengganti PN Medan.
Mereka diangkut ke Kejati Sumut untuk pemeriksaan awal. Wahyu, Sontan dan Merry adaÂlah majelis hakim yang memutus perkara Tamin. Pimpinan PN Medan ikut dicokok lantaran diduga masuk pusaran suap.
Berdasarkan percakapan yang disadap KPK, ada sandi untuk hakim-hakim itu. Merry sandinya 'ratu kecantikan'. Selain itu, ada sandi 'pohon' yang artinya uang.
"Sebelum kegiatan tangkap tangan, diduga telah terjadi pemÂberian 150 ribu dolar Singapura kepada MP (Merry Purba)," sebut Ketua KPK Agus Rahardjo.
Tujuh orang diterbangkan ke Jakarta untuk menjalani pemerÂiksaan lanjutan di KPK. Yakni Tamin, Helpandi, Merry, Wahyu, Marsuddin, Sontan dan Oloan.
Berdasarkan hasil pemerikÂsaan 1x24 jam, KPK hanya meÂnetapkan empat tersangka kasus rasuah ini: Merry, Helpandi, Tamin dan Hadi. Mereka langÂsung ditahan.
Sementara Marsuddin, Wahyu, Sontan dan Oloan dilepas. "Sampai pemeriksaan 1x24 jam, kita belum menemukan alat bukti yang cukup kuat terhadap yang bersangkutan," kata Agus.
Kilas Balik
Divonis Korupsi, Tapi Berhak Atas Lahan Eks PTPN II Kasus pencaplokan tanah negara bekas PT Perkebunan Negara (PTPN) II di Deliserdang awalnya diusut Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Kemudian diÂtarik ke Kejaksaan Agung karenakasus ini melibatkan Tamin Sukardi, pengusaha berpengaruh di Sumut.
Ditangani penyidik gedung bundar Kejagung, berkas perkaraTamin bisa diselesaikan dan dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan. Tamin didakwa melakukan korupsi yang merugikan negara Rp 132 miliar.
Jaksa membeberkan modus Tamin untuk menguasai tanah negara. Dimulai sejak 2002. Saat itu, Tamim mengetahui ada lahan perkebunan PTPN II yang tak diperpanjang Hak Guna Usaha (HGU)-nya. Lokasinya di Perkebunan Helvetica, Kabupaten Deliserdang. Luasnya 106 hektar.
Tamin bermaksud menguaÂsai dan memiliki lahan bekas perkebunan itu dengan bekal 65 lembar Surat Keterangan Tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang (SKTPPSL).
Ia kongkalikong dengan Tasman Aminoto, Misran Sasmita serta Sudarsono. Mereka membayar orang agar mengaku sebagai ahli waris penggarap lahan eks PTPN II. Mereka juga mengumpulkan 65 KTP warga yang disuruh mengaku-aku ahli waris.
Warga dijanjikan bakal mendapat tanah masing-masing dua hektare. Mereka lalu dikoordinir ke notaris untuk mengklaim tanah dengan bukti SKTPPSL tahun 1954 yang disediakan Tamin. Padahal, nama-nama di SKTPPSL itu bukanlah orang tua dari 65 orang yang mengurus dokumen tanah.
Pada 2006, warga kembali dikoordinir agar memberikan kuasa kepada Tasman Aminoto (almarhum) untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Lubukpakam. Gugatan dikabulkan.
Pada 2007, Tasman melepasÂkan hak PTPN II atas tanah itu kepada Tamin dengan biaya ganti rugi Rp 7 miliar saja. Tanah itu kemudian di balik nama atas nama PT Erni Putera Terari, perusahaan milik Tamin.
Berdasarkan akta di bawah tangan yang dibuat notaris, PT Erni Putera Terari menjual 74 hektare tanah bekas PTPN II kepada pengembang PT Agung Cemara Realty pada 2011. Harga yang disepakati Rp 236 miliar. Penjualan itu tanpa terlebih dulu mengurus peralihan hak atas tanah sesuai ketentuan UU Agraria.
Perbuatan Tamin, menurut jaksa, merugikan negara. Jaksa menuntut Tamin dijatuhi hukuÂman 10 tahun penjara, denda Rp 500 juta dan membayar uang pengganti Rp 132 miliar. Jaksa juga meminta majelis hakim menetapkan tanah eks HGU PTPN II dikembalikan sebagai aset negara.
Majelis hakim memutuskan Tamin terbukti korupsi, meski hakim ad hoc Merry Purba menyatakan beda pendapat (disÂsenting opinion). Tamin dijatuhi hukuman 6 tahun penjara, denda Rp 500 juta dan membayar uang pengganti Rp 132 miliar.
Namun majelis hakim tak mengabulkan permintaan jaksa agar tanah eks HGU PTPN II dianggap aset negara. Majelis memutuskan tanah itu hak PT Erni Putera Terari dan PT Agung Cemara Realty. ***