Berita

Ngabalin/Net

Publika

Istana Hati-Hati Dengan Kata Makar

SELASA, 28 AGUSTUS 2018 | 00:11 WIB

SAYA kira Istana dan Juru Bicaranya Ali Muchtar Ngabalin harus lebih hati-hati dalam menggunakan kata Makar dalam menyikapi gerakan #2019GantiPresiden.

Istana boleh tidak suka dan merasa terganggu dengan gerakan ini, namun menyikapinya dengan mengatakan makar adalah tindakan yang sembrono.

Baiknya orang di sekitar istana yang mengerti hukum Pidana menjelaskan kepada Ali Mochtar apa yang dimaksud dengan makar dan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar sah dikatakan telah terjadi makar.

Makar atau (Aanslag) adalah istilah dalam hukum pidana. Di KUHP hal mengenai MAKAR ini secara khusus diatur di bawah Bab: Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Inilah benang merahnya. Keamanan Negara. Sehingga ketika Istana mengatakan telah terjadi makar seperti ucapan Ngabalin, berarti posisi Negara sekarang dalam keadaan tidak aman.
Makar atau (Aanslag) adalah istilah dalam hukum pidana. Di KUHP hal mengenai MAKAR ini secara khusus diatur di bawah Bab: Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Inilah benang merahnya. Keamanan Negara. Sehingga ketika Istana mengatakan telah terjadi makar seperti ucapan Ngabalin, berarti posisi Negara sekarang dalam keadaan tidak aman.

Kami meminta Ngabalin dan Istana segera mencabut ucapannya ini. Karena ucapan ini selain telah lepas jauh dari konteks Makar dalam hukum pidana juga membahayakan Demokrasi kita jika setiap gerakan yang anti pemerintah padahal itu bagian dari kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 disikapi oleh Istana dengan dikatakan Makar.

Di hukum pidana kita, Makar terbagi dalam beberapa jenis. Jadi makar ini bukan 1 jenis saja! Beda perbuatan, beda juga jenis makarnya. Beda juga pasal yang akan dikenakan.

Makar jenis pertama termuat di Pasal 104 KUHP. Makar jenis ini terkait: "Membunuh Presiden atau Wakil Presiden atau merampas kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka tidak cakap memerintah". Makar jenis yang pertama ini tentu tidak sulit dipahami. Karena bahasa pengaturannya di pasal sangat terang.

"Membunuh" berarti menghilangkan nyawa si Presiden atau Wakil Presiden. "Merampas kemerdekaan" misalnya dilakukan dengan menculik atau menempatkan Presiden di sebuah tempat sehingga kemerdekaannya menjadi terbatas.

Berikutnya makar jenis yang kedua. Termuat dalam Pasal 106 KUHP. Makar jenis ini mengatur mengenai: "tindakan yang membuat sebahagian wilayah negara (Indonesia) jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebahagian wilayah negara".

Jadi objek "serangan" dalam makar ini adalah "Kedaulatan atas Negara" atau daerah-daerah di Indonesia. Tindakan ingin memerdekakan diri dari wilayah Indonesia menjadi Negara sendiri yang berdaulat masuk dalam jenis makar ini.

Makar jenis yang ketiga ini diatur dalam Pasal 107 KUHP makarnya terkait: "tindakan dengan niat untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.

KUHP memakai kata "menggulingkan". Oleh beberapa ahli dikatakan yang dimaksud dengan "menggulingkan" (omwenteling) yaitu mengganti dengan cara yang tidak sah susunan pemerintahan.

Apakah gerakan #2019GantiPresiden ini ingin menggulingkan pemerintahan dengan jalan tidak sah dan menggunakan kekerasan? Jawabnya jelas tidak!

Karena makar jenis yang ketiga ini mengenai mengganti pemerintahan melalui jalur yang tidak sah, maka kita harus masuk ke ranah hukum tatanegara untuk mengetahui bagaimana cara mengganti pemerintahan yang sah? Jawabnya adalah melalui Pemilu.

Pemilu 2019 besok adalah jalan yang dipilih gerakan ganti presiden ini untuk mengganti pemerintahan yang sekarang sedang berkuasa. Bukan jalan-jalan ilegal menggunakan kekerasan sebagaimana dimaksud makar di KUHP.

Jadi tidak tepat makar disematkan kepada gerakan ini sebagaimana disampaikan oleh Jubir Istana Ali Muchtar Ngabalin. [***]

Jansen Sitindaon
Penulis Adalah Ketua DPP Partai Demokrat

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

Kreditur Tak Boleh Cuci Tangan: OJK Perketat Aturan Penagihan Utang Pasca Tragedi Kalibata

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:15

Dolar Melemah di Tengah Data Tenaga Kerja AS yang Variatif

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:00

Penghormatan 75 Tahun Pengabdian: Memori Kolektif Haji dalam Buku Pamungkas Ditjen PHU

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:48

Emas Menguat Didorong Data Pengangguran AS dan Prospek Pemangkasan Suku Bunga Fed

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:23

Bursa Eropa Tumbang Dihantam Data Ketenagakerjaan AS dan Kecemasan Global

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:01

Pembatasan Truk saat Nataru Bisa Picu Kenaikan Biaya Logistik

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:46

Dokter Tifa Kecewa Penyidik Perlihatkan Ijazah Jokowi cuma 10 Menit

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:35

Lompatan Cara Belajar

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:22

Jakarta Hasilkan Bahan Bakar Alternatif dari RDF Plant Rorotan

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:11

Dedi Mulyadi Larang Angkot di Puncak Beroperasi selama Nataru

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:48

Selengkapnya