Pembangunan Jembatan Holtekamp, Jayapura, Papua, terus dikebut. Rencananya, jembatan melengkung terpanjang di Indonesia ini tuntas akhir tahun 2018.
Jumat (24/8) siang, sejumlah pekerja sibuk mengangkat batangan besi berukuran beÂsar menggunakan crane. Besi-besi tersebut akan digunakan sebagai tiang penyangga jalan di sisi Holtekamp di Distrik Muara Tami.
Para pekerja sibuk membuat jalan penghubung antara jemÂbatan dengan kawasan Holtekamp yang masih terpisah dengan teluk Youtefa. Namun, teluk dangkal itu telah diuruk dengan batu dan tanah, sehingga memudahkan untuk membuat jalan penghubung.
"Tinggal membuat jalan penÂghubung. Untuk jembatan sudah beres semua," ujar Eri, Manager Teknik PT Pembangunan Perumahan (PP) di Jayapura, Papua, kemarin.
Jalan penghubung menuju Jembatan yang akan menghubungkan kawasan Hamadi, Jayapura dan Holtekamp, Distrik Muara Tami belum sepenuhnya rampung. Jalan akses menuju jembatan berkelir merah itu masih beralaskan tanah dan batu. Sehingga, cukup berdebu bila dilindas kendaraan.
Demi membuka jalan menuju jembatan, pekerja telah mengÂhancurkan bukit setinggi 40 meÂter dan dipangkas hingga separuhnya. Namun, pemangkasan bukit belum sepenuhnya rapi. Masih menyisakan banyak batu berukuran besar yang teronggok di pinggir jalan selebar 4 meter. Walhasil, bebatuan tersebut cukup membahayakan.
"Bulan September ini, seluruh jalan penghubung sudah seluruhÂnya tuntas," ujar Eri kembali.
Saat ini, jembatan tersebut hanya bisa diakses dari Kota Jayapura, Papua. Tak sampai setengah jam perjalanan, langÂsung dihadapkan dengan jalan menanjak yang masih banyak bebatuan. Beberapa alat berat diparkir di pinggir jalan.
Sesampai di jembatan keÂbanggaan Presiden Jokowi ini, langsung terlihat kecantikan dan kemegahannya. Dua lengÂkungannya membuat jembatan Holtekamp menjadi ikon baru kota Jayapura.
Tak hanya ikonik, jembatan ini juga akan menjadi penghubung perekonomian baru di kota Jayapura menuju kawasan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) RI dan Papua Nugini di Skouw.
"Akhir tahun 2018, seluruh pengerjaan jembatan tuntas. Awal tahun sudah bisa dioperasiÂkan," ucap Eri.
Jembatan sepanjang 732 meter dengan lebar 10 meter ini, belum sepenuhnya tuntas. Sebab, railÂing atau besi pembatas di pingÂgir belum terpasang. Sehingga, sangat membahayakan pejalan kaki yang bisa saja terjun bebas ke laut sedalam lebih dari 50 meter itu. "Besi pembatas akan dipasang secepatnya," ujar Eri.
Project Manager Jembatan Holtekamp, Papua, Rizki Dianugrah mengatakan, pembanÂgunan jembatan ini sudah menÂcapai 99,64 persen.
"Rencananya, beroperasi seÂcara fungsional akhir Desember 2018," ujar Rizki.
Menurut Rizki, dua bentang utama jembatan tersebut dibuat PT PAL di Surabaya, Jawa Timur. Alasan dibuat di kota tersebut, kata dia, karena lokasinya lebih stabil dibandingkan Jayapura yang rawan gempa.
Selama ini, lanjut Rizki, Jayapura diketahui rawan gempa, sehingga dikhawatirkan bila pekerjaan konstruksi dilakukan di kota tersebut, tingkat risiko kegagalannya tinggi.
"Akan membahayakan proses pengerjaannya dan bangunan. Selama metode konstruksi terÂpapar gempa, itu akan berakibat fatal," tandasnya.
Rizki mengklaim, proses pengiriman bentang jembatan yang masing-masing mempuÂnyai panjang 120 meter dengan tinggi 20 meter dari Surabaya ke Jayapura, telah mengukir sejarah pengiriman jembatan pertama terjauh di dunia.
"Dikirim sejauh 3.200 Km ke Jayapura dengan kondisi jemÂbatan utuh," tandasnya.
Sekarang, Ke Perbatasan Cuma 1 Jam, Dulu 3 Jam Salah seorang warga Jayapura, Luther senang dengan keberadaan Jembatan Holtekamp. Sebab, bisa memangkas perÂjalanan menuju perbatasan hingga separuhnya.
"Butuh waktu 3 jam ke perÂbatasan karena mengitari guÂnung. Kalau jembatan sudah beroperasi, paling lama 1 jam," ujar Luther.
Pria berumur 40 tahun ini berÂharap, jembatan tersebut dapat meningkatkan perekonomian warga Jayapura. Sebab, pada akhir pekan banyak warga Papua Nugini berbelanja ke Jayapura karena kondisi perekonomian cenderung lebih baik.
"Kalau semakin cepat waktu tempuhnya, warga Papua Nugini semakin banyak yang ke Jayapura," harapnya.
Kepala Kampung Enggros, Distrik Muara Tami, Orgenes Meraudje mengatakan, Jembatan Holtekamp akan digunakan untuk pengembangan wisata yang berdampak langsung bagi masyarakat lokal.
"Bisa saja nantinya dikembangkan kuliner lokal atau wisaÂta keliling kampung di sekitar jembatan. Akan ada tambahan penghasilan bagi masyarakat," harap Orgenes.
Menurut Orgenes, wisata di sekitar Jembatan Holtekamp juga sudah terdapat Tugu Masuknya Injil di Tanah Tabi, sehingga bisa menjadi obyek wisata rohanibagi wisatawan. Selain itu, kata Orgenes, ada juga hutanperemÂpuan di Kampung Enggros yang hanya bisa didatangikaum perempuan. "Saya harap akan berdampak baik untuk masyarakat," tandasnya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Papua, Djuli Mambaya mengatakan, pembangunan Jembatan Holtekamp terus dikeÂbut setelah dilakukan kontrak kerjasama dengan pemenang tender tahun 2018.
"Kami telah lakukan penandaÂtanganan kontrak kerja dengan pihak ketiga dari PTPP selaku pemenang tender proyek ini," ujar Djuli.
Menurut Djuli, proyek pemÂbangunan Jembatan Holtekamp tahun 2018 merupakan pekerÂjaan lanjutan tahun anggaran 2017 dan dikerjakan langsung setelah penandatanganan konÂtrak. "Pekerjaan diharapkan tuntas tahun ini," ucapnya.
Dengan adanya pemenang tenÂder yang merupakan perusahaan sama seperti tahun sebelumnya, kata Djuli, terjadi efisiensi karÂena material dan peralatan kerja masih standby di lapangan.
Djuli menambahkan, pagu anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan jembatan Holtekamp�"Jayapura sebesar Rp 200 miliar.
"Kita berharap, pembangunan jembatan ini dapat tuntas pada akhir tahun, karena Presiden akan meresmikannya Desember 2018," pungkasnya.
Latar Belakang
Jembatan Holtekamp Digarap Di Papua & SurabayaJembatan Holtekamp, Jayapura, Papua mulai dibangun tanggal 9 Mei 2015. Peletakan batu pertama jembatan sepanjang 732 meter ini, dilakukan Presiden Joko Widodo.
Proses pembangunan jembatan terbagi menjadi dua lokasi. Pembangunan secara fisik jembatan berlokasi di Papua, namun rangka jembatannya dilakukan PTPAL di Surabaya, Jawa Timur.
Pengerjaan struktur baja jemÂbatan Holtekamp sengaja dilakukan di galangan milik PTPAL karena infrastruktur yang memadai untuk membuatnya, hanya tersedia di tempat tersebut. Maklum saja, satu bentang tengah jembatan yang terbuat dari baja ini, memiliki panjang 112 meter dengan berat total hingga 2 ribu ton.
Puncak bagian melengkungÂnya memiliki tinggi mencapai 20 meter dan butuh crane yang buÂkan sekadar tinggi, tapi juga harÂus cukup kuat untuk mengangkat struktur baja tersebut.
Tantangan selanjutnya adaÂlah proses pengiriman bentang jembatan dari Surabaya hingga Jayapura sejauh 3200 Km denÂgan kapal selama 19 hari. Karena pengiriman jembatan tersebut bethasil, akhirnya Museum Rekor Indonesia (MURI) mengganjar penghargaan. Yaitu, rekor pengiriman rangka baja peÂlengkung bagian tengah secara utuh, dengan jarak terjauh dan pertama di dunia.
Pembangunan jembatan yang menghabiskan anggaransebesar Rp 943 miliar ini, dilakukan seÂcara keroyokan. Yaitu, Pemprov Papua bertugas mendanai pembangunan jalan pendekat dari arah Holtekamp. Sementara Pemkot Jayapura membangunjalan pendekat dari arah Hamadi.
Kehadiran Jembatan Holtekamp akan memangkas waktu tempuh pengguna jalan dari Kota Jayapura ke Muara Tami yang akan menuju Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw, yang sebelumnya membutuhÂkan waktu 2,5 jam, kini menjadi 60 menit.
Selain itu, kehadiran jemÂbatan ini diharapkan mendorong pengembangan kawasan perÂtumbuhan baru, menumbuhkan sektor pariwisata dan sebagai ikon baru Papua.
Presiden Direktur PT Pembangunan Perumahan (PP) Tumiyana menyatakan, Jembatan Holtekamp dikerjakan dengan metode strand lifting (full span). Metode ini mempertimbangkan faktor risiko kegempaan di lokaÂsi proyek yang tergolong tinggi, sehingga akan sangat riskan bila proses pelaksanaan dikerjakan sepenuhnya di site.
"Metode ini adalah mengerjaÂkan proses pemasangan secepat mungkin untuk mengurangi risiko gempa yang terjadi," ujar Tumiyana.
Hal itu dilakukan, kata Tumiyana, karena faktor risiko gempa, sehingga pekerjaan pengelasan baja bentang utama secara segmental dilakukan di Pasuruan oleh PT Bromo Steel Indonesia, anak usaha dari PT Boma Bisma Indra.
"Final assembly menjadi rangka jembatan utuh dan loadout dilakukan di workshop PT PAL Indonesia di Surabaya, yang memiliki fasilitas memadai dan diÂlengkapi pelabuhan," jelasnya.
Tumiyana menambahkan, proyek Jembatan Holtekamp merupakan contoh sinergi BUMN dengan Konsorsium PT PP, PT Hutama Karya dan PT Nindya Karya sebagai kontraktor utama.
Dikatakan Tumiyana, proses pengangkatan dan pemasangan center span di pembangunan Jembatan Holtekamp Jayapura sempat terhenti terkait adanya moratorium atau penghentian sementara pekerjaan konstrukÂsi layang (elevated). Dengan adanya instruksi tersebut, beÂberapa proyek harus dihentikan sementara termasuk Jembatan Holtekamp.
Menurut Direktur Jembatan Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Iwan Jakarsih, Jembatan Holtekamp telah dibangun sejak 1990, namun terus mengalami perubahan deÂsain, menyesuaikan dengan diÂnamika sekaligus perkembangan teknologi. "Pada 2015, pemÂbangunan Jembatan Holtekamp dengan desain baja lengkung dimulai," ujar Iwan.
Iwan menjelaskan, ada teknologi penggunaan pendulum yang dapat mengurangi dampak gempa. Apalagi, wilayah Papua merupakan salah satu yang rawan gempa.
"7 Skala Richter bisa diserap pendulum hingga 50 persen. Ini baru pertama kali penempatanÂnya di Indonesia," ujar dia.
Terpisah, Wali Kota Jayapura, Benhur Tomi Mano mengatakan, Jembatan Holtekamp akan diberi nama Youtefa. Pemberian nama tersebut, kata dia, sejalan dengan visi dan misi Pemerintah Kota Jayapura dalam pembangunan yang berkearifan lokal.
"Para Ondoafi (kepala kampung)juga telah menghÂadap Presiden Jokowi dalam pemberiannama jembatan ini," ucap Benhur.
Menurut Benhur, mempertahÂankan nilai budaya, khususnya dalam penggunaan bahasa lokal menjadi sangat tepat. Apalagi, masyarakat yang tinggal di Kota Jayapura merupakan masyarakat heterogen.
Dengan pemilihan nama Youtefa atas kesepakatan bersama antara Ondoafi ini, diharapkan tak lagi jadi perdebatan diantara masyarakat seÂtempat. "Memahami adat berlaku dan pemberian nama yang teÂlah disepakati, para Ondoafi Tobati-Enggros menjamin tak ada lagi pemalangan," pungkasnya. ***