Berita

Said Salahudin/Net

Politik

Kerumitan Koalisi Parpol: Antara Teman Di Pilpres Dan Lawan Di Pileg

SELASA, 14 AGUSTUS 2018 | 03:34 WIB | OLEH: SAID SALAHUDIN

PEMILU serentak 2019 diperkirakan menjadi kompetisi politik paling rumit bagi partai politik. Sebab, masing-masing parpol akan berlakon ganda pada waktu yang sama.

Pada peran yang pertama, parpol memposisikan dirinya sebagai mitra dari parpol yang lain dalam koalisi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).

Sebagai mitra, maka PDIP, Golkar, PKB, Partai Nasdem, PPP, Partai Hanura, Partai Perindo, dan PSI dituntut untuk saling bekerjasama guna memenangkan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin.


Demikian pula dengan Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, PKS, dan Partai Berkarya yang mau tidak mau harus bergotong-royong jika ingin Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno memenangkan Pilpres.

Dari peran yang pertama itu, relasi yang terbangun diantara partai-partai politik adalah hubungan yang positif. Semangat yang dikedepankan adalah semangat kebersamaan atau kolektivitas.

Sehingga, pada lakon ini partai politik yang satu akan menganggap partai politik yang lain sebagai teman atau sekutu.

Tetapi, pada peran yang kedua, keadaannya lain lagi. Partai-partai politik yang berada dalam satu barisan koalisi Pilpres justru berada pada posisi yang saling berhadapan untuk berebut kursi parlemen di Pemilu legislatif (Pileg).

Sehingga, dalam lakon ini pola hubungan diantara partai-partai politik mengalami perubahan. Masing-masing parpol akan memosisikan teman koalisinya di Pilpres sebagai pesaing atau lawan untuk urusan Pileg.

Semangat yang tumbuh juga bukan lagi spirit kolektivitas, melainkan semangat kompetisi atau rivalitas. Relasi yang terbentuk diantara sesama parpol pun menjadi hubungan yang negatif.

Dengan adanya peran ganda yang tidak selaras, tetapi mau tidak mau harus dilakoni secara bersamaan oleh partai politik itu, maka koalisi yang dibangun oleh kubu petahana maupun kubu penantang dalam Pilpres 2019 berpotensi menyimpan problem soliditas.

Di dalam sistem Pemilu serentak, faktor figur calon Presiden (capres) dan calon Wakil Presiden (cawapres) pada tingkat tertentu dipercaya efektif untuk memengaruhi pemilih potensial agar pada Pemilu legislatif mereka mau memberikan suaranya kepada parpol yang kadernya menjadi capres atau cawapres.

Sehingga dalam konteks ini PDIP dan Gerindra diperkirakan lebih berpeluang untuk memperbanyak perolehan suara legislatif. Sebab, hanya dua parpol itulah yang berhasil mendudukan kadernya sebagai capres.

Lalu bagaimana nasib parpol lain yang ikut mengusung dan mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf dan pasangan Prabowo-Sandi? Disinilah letak kerumitan yang dihadapi oleh parpol-parpol tersebut.

Di satu sisi mereka pasti juga ingin memetik manfaat dari 'presidential effect' yang hampir pasti didapatkan oleh PDIP dan Gerindra. Tetapi karena Jokowi, Ma'ruf, Prabowo, dan Sandi bukan kader mereka, maka agak berat mengarahkan pemilih potensial untuk mencoblos partai-partai itu di Pileg.

Parpol-parpol tersebut hampir dipastikan akan kalah bersaing dengan PDIP dan Gerindra dalam urusan mengklaim kedekatan dengan para capres-cawapres.

Sebab, selama masa kampanye nanti PDIP dan Gerindra diduga akan membangun persepsi di masyarakat bahwa Jokowi adalah PDIP dan Prabowo adalah Gerindra.

Oleh sebab itu, kalau partai-partai pengusung dan pendukung yang lain itu terlalu bersemangat mengkampanyekan Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi, muncul kekhawatiran pemilih potensial nantinya justru akan memberikan suara legislatifnya kepada PDIP atau Gerindra.

Jadi, partai-partai pengusung dan pendukung para capres-cawapres selain PDIP dan Gerindra kemungkinan hanya dapat mengandalkan pemilih loyal mereka masing-masing dengan dukungan figur para caleg.

Dengan demikian maka di dalam koalisi Pilpres yang dibangun oleh kubu petahana maupun kubu penantang sebenarnya tersimpan potensi masalah terkait soliditas dari parpol-parpol pendukungnya.

Masalah menjadi semakin pelik ketika di dalam koalisi Pilpres antar-parpol dituntut membangun kemitraan, kerjasama, dan mengedepankan semangat kolektivitas, tetapi pada saat yang sama mereka justru akan saling bersaing dan menjadi rival untuk kepentingan Pileg.

Inilah konsekuensi dari sistem Pemilu serentak yang diembel-embeli dengan ketentuan 'presidential threshold'. Parpol dipaksa untuk berkoalisi dan terpaksa berperan ganda. Sehingga hubungan yang terbangun diantara parpol koalisi adalah sebagai teman di Pilpres, sekaligus menjadi lawan di Pileg. [***]

Penulis adalah pemerhati politik, pemilu dan kenegaraan

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya