Hakim non palu Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang dijatuhi hukuman disiplin secara non prosedural oleh Bawas Mahkamah Agung RI Andy Nurvita kembali mendatangi Komisi Yudisial.
Kali ini Andy bertindak sebagai pelapor yang melaporkan dirinya sendiri sebagai pihak terlapor karena mengganggap telah melakukan pelanggaran kode etik, yakni mangkir menjalankan kebijakan administrasi yang ditetapkan Ditjen Badan Peradilan Umum tanggal 11 Juli 2018 perihal tugas mutasi ke Pengadilan Negeri Mandailing Natal.
Andy meminta KY segera menyidangkan dirinya sebagai pihak terlapor dalam Majelis Kehormatan Hakim (MKH) atas dugaan telah pelanggaran kode etik tersebut.
Dia lebih memilih untuk disidangkan sebagai terlapor dalam MKH daripada menjalankan kebijakan administrasi yang dibuat Tim Promosi Mutasi Hakim Dirjen Badilum MA yang mengharuskannya mutasi ke Pengadilan Negeri Klas II di luar Jawa.
Andy keberatan melaksanakan kebijakan admistrasi Ditjen Badilum. Pasalnya, mutasi tersebut isinya adalah demosi yang memangkas karir yang telah dibangun selama 15 tahun.
"Keputusan mutasi pada 11 Juli 2018 kemarin sangat merugikan karir saya. Karena chasing-nya saja yang mutasi namun isinya seratus persen adalah demosi," ujarnya di Gedung KY, Jakarta, Jumat (27/7).
Andy menjelaskan, jika menerima keputusan mutasi itu maka karirnya kembali ke titik nol. Sebab, dengan pangkat sekarang IIId, dirinya sudah bertugas sebagai hakim fungsional di Pengadilan Negeri Klas IB.
"Keadaan ini menjadi salah satu alasan pendorong bagi saya untuk mangkir dari tugas mutasi terkait, dan kemudian melaporkan diri saya yang telah berbuat mangkir ke KY," ujarnya.
Sebelumnya, pada Juli 2017, MA menjatuhkan hukuman disiplin kepada Andy. Dia dituduh sebagai mafia peradilan saat menjadi ketua majelis hakim dalam perkara penganiayaan anak seorang asisten rumah tangga oleh majikannya hingga mengalami cacat seumur hidup di Bantul, Yogyakarta.
Saat proses persidangan berjalan, tanpa seizin dan sepengetahuan Andy, oknum WKPN Bantul dibantu oknum Kalapas Bantul mengeluarkan terdakwa kasus tersebut dari dalam lapas. Akibatnya, Jaksa penuntut umum tidak bisa menghadirkan terdakwa ke persidangan.
Dampak peristiwa tersebut, kepala lapas Bantul dicopot dari jabatannya oleh Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Yogyakarta. Kemudian, Andy selaku ketua majelis yang bertugas mengadili perkara tersebut ikut dikenai sanksi. Dia dijatuhi hukuman disiplin sebagai hakim non palu oleh Bawas MA di PT Yogyakarta.
Hukuman tersebut dinilai tidak adil oleh Andy. Maka dia mengajukan permohonan keberatan kepada MA. Pasalnya, sebagai ketua majelis, Andy justru membuat Berita Acara Persidangan perkara a quo sebagai bukti otentik yang isinya menerangkan secara jelas tentang kronologis dikeluarkannya terdakwa dari lapas oleh oknum WKPN Bantul tanpa sepengetahuan hakim dan jaksa perkara a quo. Andy merasa dirugikan akibat sanksi tersebut.
"Sebagai ketua najelis dalam perkara a quo hakikatnya saya dan anggota adalah pihak yang sangat dirugikan atas tindakan ilegal oknum WKPN Bantul yang mengeluarkan terdakwa dari lapas. Namun sebagai korban yang dirugikan saya malah yang diberikan punishment berupa hukum non palu oleh MA. Saya diklaim sebagai mafia peradilan atas perbuatan yang tidak saya lakukan dalam amar putusan hukuman disiplin tersebut tanpa melalui proses penjatuhan hukuman disiplin yang prosedural. Saya bukan oknum yang mengeluarkan terdakwa dari lapas malah terzolimi. Sedangkan, oknum WKPN Bantul malah diberi reward oleh MA dengan cara dinaikkan pendapatan dan jabatannya dari WKPN Klas II menjadi WKPN Klas Ib," papar Andy.
Ternyata, kezoliman terhadap Andy belum berakhir. Juli 2018, setelah masa hukuman disiplin MA berakhir, Andy justru dimutasi ke PN Mandailing Natal Klas II oleh MA. Padahal secara kepangkatan semestinya Andy dimutasi ke Pengadilan Negeri Ib. Akibat negatif dari adanya keputusan administrasi MA perihal tugas mutasi tersebut karir Andy harus terpangkas sebanyak 15 tahun dan pendapatannya merosot tajam.
"Keputusan mutasi itu berbau demosi. Kebijakan mutasi berisi demosi yang dibuat oleh bagian administrasi pada MA tersebut hakikatnya merupakan hukuman jilid kedua yang diderakan kepada saya atas kasus yang sama. Asas hukum melarang terhadap subjek hukum termasuk hakim sebagai subjek hukum dijatuhi hukuman dua kali. Semestinya setelah subjek hukum selesai menjalani hukuman seketika itu juga semuanya selesai. Tidak betul bila setelah selesai menjalani hukuman, Terhukum dihukum lagi dengan bentuk dan cara yang baru atas kasus yang sama. Saya dihukum dua kali dalam konteks ini. Penghukuman yang saya alami tersebut menyalahi asas hukum dan oleh karena bertentangan dengan hukum maka saya bersikeras tidak mau menjalani perintah mutasi tersebut," jelasnya.
Untuk itu, Andy melaporkan dirinya sendiri untuk disidangkan di MKH kepada KY. Dengan asumsi telah melakukan pelanggaran tidak menjalankan keputusan mutasi yang dijatuhkan oleh MA.
"Makanya saya ke KY, dan minta di MKH-kan. Walaupun saya juga tahu, bahwa sepanjang usia KY di Indonesia baru terjadi pertama kali ini ada hakim yang melaporkan dirinya sendiri ke KY atas dugaan melakukan suatu pelanggaran sekaligus meminta kepada KY untuk di MKH-kan," ujar Andy.
Dalam surat permohonan kepada KY, Andy menyatakan bahwa kebijakan administrasi Dirjen Badilum melakukan mutasi tersebut adalah salah satu dari sekian banyak perlakuan buruk berkelanjutan yang dia terima setelah mengajukan permohonan judicial review PP 36/2011 ke MA pada 2014.
Permohonan tersebut dikabulkan oleh MA sehingga berimbas secara yuridis mengecilkan kewenangan dari kalangan administratur negara (PNS non hakim/teknis yudisial) di MA dan sebaliknya memperbesar kewenangan hakim/teknis yudisial.
[nes]