Seusai Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil rekapitulasi penghitunÂgan suara pilkada serentak, maka titik kritis penyelengÂgaraan pilkada berpindah ke Mahakmah Konstitusi (MK). Hingga Jumat (13/7) pagi lalu, sudah ada 62 permohonan gugaÂtan sengketa pilkada masuk ke MK. Ditemui Rakyat Merdeka di ruang kerjanya, di lantai 14 Gedung MK, Wakil Ketua MK Aswanto yang juga Guru Besar Ilmu Pidana Universitas Hasanuddin menjelaskan upaya lembaganya dalam menangani permohonan gugatan pilkada. Berikut wawancaranya:
Sampai saat ini sudah beraÂpa permohonan gugatan sengÂketa yang masuk ke MK?
Sudah ada 62 permohonan (yang sudah mendapatkan akta permohonan per hari Jum'at (13/7) pagi. Kita membuka perÂmohonan itu melalui dua sistem ya, offline dan online.
Permohonan gugatan itu datangnya dari daerah mana saja?Ya merata ya, ada di Jawa dan luar Jawa.
Soal teknisnya, proses perkara yang masuk itu sudah sampai tahap mana?Jadi sesuai dengan mekanÂisme kita mengenai penanganan sengketa hasil pemilukada. Jadi pertama itu harus diterima dulu penerimaannya atau melalui online, jadi mahkmah akan memeriksa dulu kelengkapan-kelengkapan permohonan itu. Terus kalau dianggap belum lengkap, para pemohon diberiÂkan tiga hari kerja untuk meÂlengkapinya.
Tenggat waktu yang diberikan undang-undang itu adalah tiga hari penetapan KPU. Nanti tingÂgal kita lihat saja, setelah tenggat waktu itu, undang-undang masih memberikan waktu tiga hari lagi untuk melakukan perbaikan. Nah setelah dilakukan perbaiÂkan itu, nanti sesuai dengan apa yang telah kita agendakan, nanti berkas itu akan kita catat dibuku registrasi perkara. Nah sejak perkara itu masuk, maka terhitung 40 hari kerja ke depan harus diputus oleh Mahkamah.
Oh ya, kapan rencananya gugatan sengketa pemilukada mulai disidangkan?Kalau menurut jadwal kita yaitu tanggal 23 Juli kita akan registerkan. Kita segera melakuÂkan pemberitahuan, tentu kepada pemohon, KPU sebagai termoÂhon dan kepada pihak-pihak terkait. Pihak terkait itu biasanya pihak yang menjadi pemenang oleh KPU.
Padahal menurut undang-undang itu adalah pihak yang berkepentingan, tetapi pengalaÂman selama ini yang meminta diri menjadi pihak terkait adalah pihak yang memperoleh suara terbanyak versi putusan KPU. Menurut catatan kita, tanggal 26 Juli mulai sidang.
Perkara sengketa pilkadanÂya kan banyak dan mesti seceÂpatanya diputus, bagaimana MK menyidangkannya? Nanti dalam penanganannya, karena majelis ini dibagi dalam panel 1, 2 dan 3, maka nanti akan ditentukan, perkara mana yang akan ditangani oleh panel mana.
Pengalaman yang lalu pendistribusian itu dilakukan secara merata. Misalnya yang lalu, ada 66 kasus yang kita tangani, maka masing-masing panel menangani 22 kasus.
Apa MK tidak khawatirpembagian perkara bisa memÂpengaruhi independensi haÂkim? Kami punya kesepahaman di MK, kita berusaha untuk menjaga independensi dengancara melihat daerah asal masing-masing. Ini perlu kita petakan, jangan sampai (hakim yang menangani perkara) berasal dari daerah kasus itu. Misalnya di panel saya, maka daerah dari Sulawesi Selatan itu tidak mungÂkin di panel saya. Termasuk Pak Ketua MK yang berasal dari Bima, jadi kalau ada yang dari Bima, ya tidak masuk di panelÂnya beliau.
MK kabarnya akan melibatÂkan Bawaslu dalam penyeleÂsaian sengketa pilkada. Apa alasannya?Betul. Bahwa sering kali yang menjadi perdebatan itu kan yang ada di pasal 158 tentang batas presentase untuk mengajukan. Misalnya kan untuk kabupaten/kota itu bisa mengajukan ke MK kalau selisih hasilnya tidak lebih dari 2 persen. Kemudian kalau sampai 500 ribu itu 1,5 persen, kalau 500 ribu sampai 1 juta itu selisihnya tidak lebih dari satu persen, di atas satu juta diatas 0,5 persen. Di tingkat provinsi juga punya norma sendiri. Artinya, sekalipun batas norma itu sudah menentukan batasan presentase, tetapi mahkamah berdasarkan penanganan kasus dari Papua, yang ada empat wilayah itu, mahkamah tidak menggunakan Pasal 158 itu.
Lho memangnya kenapa? Karena kami menganggap ada banyak hal yang kami luruskan itu, mestinya Pasal 158 tidak diterapkan pada kasus itu. Karena kalau enggak salah itu terjadi di Yapen. Di daerah itu rekapitulasi tingkat distriknya sudah selesai, namun tiba-tiba muncul rekomendasi dari Panwas agar salah satu peserta dan kebetulan yang meraih suara terÂbanyak itu didiskualifikasi. Nah KPU terus mendiskualifikasi. Kemudian yang didiskualifikasi melaporkan ke Bawaslu agar membatalkan rekomendasi Panwas Kabupaten/Kota, dan KPU secara berjenjang untuk memasukan pasangan calon yang diÂmaksud. Namun KPU kabupaten/kota tidak melakukan rekomenÂdasi dari Bawaslu, sehingga yang memperoleh sura kedua menjadi pemenang. Nah itu ketika sampai di sini, maka kami tidak bisa menggunakan Pasal 158, karena kasus ini belum tuntas.
MK sempat gonjang-ganÂjing ketika Ketua MK saat itu Akil Mochtar ditangkap KPK karena tersangkut kasus suap terkait penanganan sengketa pilkada. Apa yang dilakukan MK agar tak terjadi lagi?Sebenarnya kami juga menyaÂdari dalam penanganan sengketa pemilukada ini banyak oknum dari luar, saya selalu memakai istilah memanah di atas pelana. Maksudnya itu, ketika kasus sudah masuk di mahkamah, ada oknum yang menjual nama haÂkim. Namun sebenarnya dia itu tidak melakukan upaya, tinggal dia berdoa saja, mudah-mudahan yang dia ambil duitnya itu menÂjadi pemenang. Nah itu yang dinamakan memanah di atas pelana. Kami sejak awal menÂcoba memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terjadi pada penanganan sebelumnya.
Apa saja pembenahannya? Pembenahan yang kita lakuÂkan sejak awal, yaitu kita menÂgundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk masuk. 'Tolong deh KPK masuk, agar setiap saat terhindar dari apa yang pernah menimpa mantan ketua kita'.
Tentu kami melihat celah-celah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, itu yang kita coba tutup. Misalnya pada penangan pemilukada tahun ini semaksimal mungkin untuk meminimalisir kontak langsung dari seluruh pihak dengan komÂponen yang ada di MK, maka kita buka jalur online. Tetapi kalau misalnya mereka kesuliÂtan, kami juga buka jalur offline. Kami berusaha semaksimal mungkin menghindari kontak secara langsung. Kalau pun itu kontak secara langsung, itu tidak secara tersembunyi. Karena di MK ini, yang tidak ada CCTV-nya hanya di kamar mandi. Di sini ada semua CCTV-nya. Sehingga kita sangat berusaha melakukan perbaikan terhadap apa yang dirasa kurang.
Selain itu apa lagi?Di tempat tinggal para hakim, saat pemilukada pengamananÂnya dilipatgandakan. Bukan sekadar untuk mengamankan paÂra hakim, tetapi siapa saja yang berkomunikasi dengan para haÂkim saat penanganan sengeketa pilkada. Semua ini kita lakukan agar kepercayaan masyarakat bisa kembali. ***