Berita

Ilustrasi/Net

Hukum

DPR Jangan Lemahkan KPK

MINGGU, 03 JUNI 2018 | 16:57 WIB | LAPORAN: ADE MULYANA

DPR diminta untuk tidak melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

Kengototan DPR memasukkan pasal pemberantasan korupsi mengindikasikan legislatif hendak membonsai bahkan melumpuhkan komisi anti rasuah.

Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) RBA Jakarta Pusat TM Mangunsong mengatakan KPK adalah anak kandung reformasi.


Menurutnya, pemberantasan korupsi itu amanat reformasi, MPR kemudian melahirkan Ketetapan No XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan kemudian pemerintah dan DPR pun melahirkan UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan juga UU No 30/2002 tentang KPK, sehingga KPK ini merupakan pengejawantahan Tap MPR yang merupakan amanat reformasi.

"DPR, jangan lemahkan KPK melalui RUU KUHP. Bila kemudian KPK dilemahkan, berarti DPR dan pemerintah mengkhianati cita-cita reformasi," kata Mangunsong dalam keterangannya, Minggu (3/6).

Managing Partner Law Firm TM Mangunsong & Partner ini sependapat dengan KPK yang mengirim surat kepada Presiden RI dan DPR, namun pemerintah kemudian lepas tangan ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan surat KPK itu salah alamat, karena yang melakukan pembahasan RUU KUHP adalah DPR. Menurutnya, masih adanya sejumlah pasal tipikor dalam RUU KUHP akan membahayakan upaya pemberantasan korupsi.

"Pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan serius dan luar biasa atau extraordinary crimeseperti korupsi sebaiknya tidak diatur dalam RUU KUHP, karena sudah diatur dalam UU Tipikor yang merupakan lex specialis (norma khusus), yakni UU No 31/1999 yang kemudian diperbarui dengan UU No 20/2001. Kalau diatur dalam RUU KUHP, bisa overlapping (tumpang-tindih)," paparnya.

Mangunsong mencatat beberapa poin kritis dari rumusan delik korupsi dalam RUU KUHP yang berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi oleh KPK. Setidaknya ada empat akibat yang dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi dan kewenangan KPK jika RUU KUHP tetap disahkan pada Agustus mendatang.

Pertama, jelas Mangunsong, memangkas kewenangan penindakan dan penuntutan KPK. Pemerintah dan DPR, katanya, kerap berdalih bahwa jika RUU KUHP disahkan tidak akan mengganggu kerja KPK, namun kenyataannya justru dapat sebaliknya.

"Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam UU KPK tidak lagi berlaku jika RUU KUHP disahkan," terangnya.

KPK, lanjutnya, tidak lagi berwenang menangani kasus korupsi yang diatur dalam KUHP.

"Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, karena tidak dapat melakukan penindakan dan penuntutan," cetusnya sambil menambahkan kewenangan KPK tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU KPK yang secara spesifik menyebutkan KPK berwenang menindak tipikor yang diatur dalam UU Tipikor.


"Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus tipikor nantinya akan beralih kepada Kejaksaan dan Kepolisian karena kedua institusi ini dapat menangani kasus korupsi yang diatur selain dalam UU Tipikor," tambahnya.


Selain KPK, kata Mangunsong, Pengadilan Tipikor juga berpotensi mati suri jika delik korupsi masuk RUU KUHP. Pasal 6 UU No 46/2009 tentang Pengadilan Tipikor pada intinya menyebutkan Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili perkara tipikor sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.

"Jika tipikor diatur dalam KUHP maka kasusnya tidak dapat diadili oleh Pengadilan Tipikor dan hanya dapat diadili di Pengadilan Umum," urainya.

Mangunsong berpendapat, bila RUU KUHP disahkan akan menguntungkan koruptor karena ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam RUU KUHP lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam UU Tipikor.

"Lebih ironis lagi, koruptor yang diproses secara hukum bahkan dihukum bersalah tidak diwajibkan membayar uang pengganti kepada negara karena RUU KUHP tidak mengatur hukuman membayar uang pengganti," tegasnya.[dem]

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya