Berita

KH. Abdu; Moqsith Ghazali/Humas BNPT

Pertahanan

Ramadhan Mendidik Umat Untuk Menahan Terorisme

SELASA, 29 MEI 2018 | 07:51 WIB | LAPORAN:

Bulan Ramadhan ini tidak saja menahan haus dan lapar, namun harus digunakan pula untuk tidak melakukan amarah terhadap siapapun termasuk melakukan aksi kejahatan seperti terorisme.

"Alih-alih untuk bertindak melakukan kejahatan terorisme, marah saja di bulan Ramadhan ini juga tidak boleh. Jadi bisa saja ada orang yang tidak makan, tidak minum, tapi jika dia melakukan tindakan distrutif sekalipun tidak makan dan tidak minum, maka tidak dapat pahala dari puasanya," ujar Wakil Sekretaris Komisi Kerukunan Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Abdul Moqsith Ghazali di Jakarta.
 

KH. Abdul Moqsith mengatakan, Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa banyak orang yang berpuasa yang diperoleh baginya hanya lapar dan haus, yaitu orang yang berpuasa yang tidak sanggup menahan diri dari melakukan kejahatan-kejahatan.  "Kejahatan yang dimaksud yaitu baik kejahatan individual, maupun kejahatan yang sifatnya masif seperti tindakan terorisme. Jadi tidak boleh itu (aksi terorisme)."

Menurutnya, di bulan Ramadhan ini, umat Islam juga dilatih untuk membangun keberpihakan kepada orang lain yang tidak berpuasa, seperti orang fakir, orang miskin dan lain-lain. Karena Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa barangsiapa yang memberi makan kepada orang yang sedang berpuasa, maka pahalanya cukup besar nanti di surga.

"Selain itu di dalam bulan Ramadhan kita juga diwajibkan untuk melakukan zakat fitrah yang akan diberikan kepada orang-orang, terutama fakir miskin yakni orang yang secara ekonomi berada pada level terbawah, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya," urainya.

Tak hanya itu, lanjut kiai Abdul, bulan Ramadhan atau bukan, masyarakat pengguna media sosial juga tidak diperbolehkan untuk menyebarkan hasutan, fitnah dan ujaran kebencian (hate speech), karena hal tersebut dapat merusak persatuan dan perdamaian bangsa.

"Di dalam dunia modern apalagi di dalam dunia yang makin canggih di mana teknologi makin maju, gerakan terorisme dengan mempengaruhi percakapan publik, membentuk opini publik di tengah masyarakat, hal itu mengalami pelipatgandaan pengaruh melalui media sosial. Karena gratis mereka jadi mudah  bergerak," kata pria yang juga dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Kiai Moqsith mencontohkan, jika dahulu ada jaringan kelompok NII, DI/TII dan sebagainya, tapi mereka tidak dapat berkembang menjadi besar karena pada saat itu tidak ditopang oleh fasilitas seperti media sosial.

Tantangan yang ada sekarang adalah bagaimana membatasi ruang gerak radikalisme itu karena mereka menggunakan telegram, media sosial, televisi dan sebagainya.

"Jika seperti itu kondisinya, maka harus diperbaiki dari berbagai aspek. Misalnya ustad-ustad yang diduga memiliki paham, cara pandang keagamaan yang radikal, maka media besar seperti TV harus membangun kesadaran bersama untuk tidak mengajak atau melibatkan ustad yang terafiliasi dengan paham radikal," ujarnya.

Namun menurutnya, kalau media TV tidak punya kesadaran itu, hal itu akan menyumbang cukup besar terhadap tumbuh dan berkembangnya terorisme di Indonesia. Karena pengaruh TV di Indonesia masih lebih tinggi ketimbang media sosial.

"Media TV harus menghujani kesadaran masyarakat terhadap toleransi, terhadap hidup ber-Bhinneka Tunggal Ika. Karena media TV masih menjadi rangking pertama dalam mempengaruhi opini publik," ujar peraih Doktoral bidang Tafsir Alqur'an di UIN Jakarta ini. 

Sedangkan menghalau propaganda radikalisme dan terorisme melalui media sosial menurutnya tidak mudah. Namun ada UU ITE yang dapat dipakai karena radikalisme itu awal mulanya adalah ujaran kebencian.

"Begitu ada ujaran kebencian, ada penegakan hukum. Karena jangan sampai ujaran kebencian yang di dalamnya ada ideologi terorisme, berujung pada tindakan terorisme," kata Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail  Pengurus Besar Nahdatul Ulama ini.

Menurutnya, UU ITE harus dipergunakan seefektif mungkin, terutama untuk membuat efek jera bagi orang-orang yang ingin menyebarkan ujaran kebencian di mana-mana. Selain itu Kementerian Komunikasi dan Informatika juga harus dapat menghentikan pergerakan kelompok radikal di media sosial. [wid]

Populer

Jokowi Kumpulkan Kapolda Hingga Kapolres Jelang Apel Akbar Pasukan Berani Mati, Ada Apa?

Kamis, 12 September 2024 | 11:08

Jagoan PDIP di Pilkada 2024 Berpeluang Batal, Jika….

Minggu, 08 September 2024 | 09:30

Slank sudah Kembali ke Jalan yang Benar

Sabtu, 07 September 2024 | 00:24

Petunjuk Fufufafa Mengarah ke Gibran Makin Bertebaran

Kamis, 12 September 2024 | 19:48

Soal Video Winson Reynaldi, Pemuda Katolik: Maafkan Saja, Dia Tidak Tahu Apa yang Dia Perbuat!

Senin, 09 September 2024 | 22:18

AHY Tuntaskan Ujian Doktoral dengan Nilai Hampir Sempurna

Kamis, 12 September 2024 | 17:12

Ini Kisah di Balik Fufufafa Dikaitkan dengan Gibran

Rabu, 11 September 2024 | 01:15

UPDATE

Tawarkan Kerja di KAI, Oknum Polisi Diduga Tipu Warga Hingga Puluhan Juta

Sabtu, 14 September 2024 | 01:30

Anak Usaha Telkom Luncurkan Programmatic Advertising Berbasis Data Telco

Sabtu, 14 September 2024 | 00:59

Aktivis Buruh Dorong Zaken Kabinet Pemerintahan Prabowo-Gibran

Sabtu, 14 September 2024 | 00:48

Politik Sabar Prabowo

Sabtu, 14 September 2024 | 00:20

Tantangan Bangsa Makin Berat, Lawan Politik Jangan Ganggu Prabowo

Jumat, 13 September 2024 | 23:56

Pengawasan Internal yang Lemah Membuka Celah Percaloan Casis Bintara

Jumat, 13 September 2024 | 23:26

Anak Abah Coblos 3 Paslon Bentuk Kemarahan Tak Beralasan

Jumat, 13 September 2024 | 23:19

Prabowo Kunker ke Vietnam

Jumat, 13 September 2024 | 22:50

Sempat Berbeda Pendapat, Ulama Sepakat Fadhil Rahmi jadi Pendamping Bustami

Jumat, 13 September 2024 | 22:14

Anugerah Kebudayaan 2024 Siap Digelar untuk Penggerak Kebudayaan

Jumat, 13 September 2024 | 22:12

Selengkapnya