Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia 7-day reverse repo rate (repo rate) menjadi 4,5 persen membuat upaya kredit tumbuh dobel digit makin jauh dari kenyataan.
Karena kenaikan repo rate, suÂdah pasti akan segera direspons perbankan dengan menaikkan suku bunga kredit. Ini berbuntut pada permintaan kredit, calon debitur akan berpikir ulang untuk ngutang ke bank.
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima YuÂdhistira, kenaikan bunga acuan BI bisa berdampak terhadap naiknya bunga kredit perbankan dalam 2-3 bulan ke depan.
Saat ini rata-rata bunga kredit perbankan tercatat 11,20 persen per Maret 2018. Jadi, dengan suku bunga acuan BI yang sudah naik 25 bps ini, maka bunga kredit perbankan makin mahal, bisa naik menjadi kisaran 11,45 persen.
"Ditambah, Bank Sentral tidak menutup kemungkinan kemÂbali menaikkan bunga acuannya hingga 50 bps lagi hingga akhir tahun ini. Tentu, bunga kredit perbankan juga bakal ikut terÂdongkrak lagi," katanya kepada Rakyat Merdeka.
Kondisi tersebut, lanjut Bhima, bakal menahan laju pertumbuhan kredit perbankan, di mana tahun ini dipatok dobel digit atau berkisar 10-12 persen. Dengan bunga kredit 11,2 persen saja, pertumbuhan kredit perbankan hanya tercatat 8,5 persen per Maret 2018.
"Semakin tinggi bunga kredit, maka tekanan ke pertumbuhan kredit makin besar. Target pertumÂbuhan kredit tahun ini diperkiraÂkan hanya 8-9 persen saja, sulit untuk dobel digit," ucapnya.
Bhima kemudian mencermati, di tengah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, secara langsung akan berdampak ke daya beli masyarakat. Tingkat konÂsumsi yang lemah, juga berefek kepada pelaku usaha yang mengaÂlami penurunan permintaan.
Di sisi lain, suku bunga kredit yang tinggi juga memicu pelaku usaha enggan melakukan pinjaÂman atau bahkan melunasi utangÂnya. Hal ini dikhawatirkan akan mengerek kredit bermasalah (
non performing loan/NPL) bank.
Pelaku usaha dengan kondisi permintaan yang melambat, lanjut Bhima, akan sulit melunasi pinjaman yang mahal.
Cost of fund atau biaya pinjaman jadi memÂbengkak dan menggerus pendapaÂtan usaha. Otomatis risiko kredit macetnya akan naik.
"NPL per Maret masih 2,75 persen, meskipun menurun tapi ada indikator, agar bank lebih haÂti-hati salurkan kredit," ujarnya.
Sementara untuk kredit konsumÂsi, seperti kredit kendaraan bermoÂtor dan properti pun nasibnya akan sama. Ada tren masyarakat untuk menahan belanja, lantaran bunga kredit yang mahal. Ia mengibaratÂkan seperti lingkaran, kalau satu proses bisnisnya melambat, maka akan merembet ke sektor lain muÂlai dari industri pengolahan, bahan baku dan ritel.
"Tekanan untuk menaikkan bunga kredit bank, juga perlu dicermati. Hal ini seiring dengan perpindahan deposan ke pembelian surat utang, dengan alasan bunganya lebih menarik," imbuh Bhima.
Bunga deposito rata-rata saat ini tercatat hanya sebesar 5,8 persen, sedangkan bunga surat utang pemerintah dengan tenor yang sama bisa mencapai 6,8-7,2 persen. Perpindahan dana ini dikhawatirkan bisa menguras likuiditas perbankan.
"Untuk menahan dana deposito tidak pindah ke obligasi, maka bank akan menaikkan bunga deposito. Rentetannya nanti ke bunga kredit juga. Efek bergandanya bisa ke target perÂtumbuhan kredit tahun ini yang hanya 8-9 persen dan sulit untuk double digit," jelasnya lagi.
Menanggapi ini, Direktur Keuangan PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Vera Eve Lim mengaku tak khawatir. Pihaknya optimistis pertumbuhan kredit pada kuartal II-2018 bisa lebih baik. Hal ini salah satunya tercermin dari realisasi pada kuartal pertama tahun ini.
"Pertumbuhan kredit pada kuartal II-2018 cukup bagus. Secara year to date (ytd) sudah jauh lebih positif. Tahun ini BCA memperkirakan pertumbuhan kredit bisa lebih positif atau menÂcapai 15 persenan," ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengaÂtakan, langkah BI yang menaikkan bunga acuan sebesar 25 bps bukan tanpa alasan. Nilai tukar rupiah yang tengah tertekan terÂhadap dolar AS menjadi alasan utama BI agar mata uang rupiah tidak melemah terlalu dalam.
Kendati demikian, sentimen positif pasar terhadap kebijakan moneter BI ini hanya bersifat sementara. Pasca bunga acuan dinaikkan, rupiah justru sempat melemah hingga mendekati level Rp 14.200 per dolar AS.
"Bank Sentral juga siap menerapkan langkah kebijakan moneter yang lebih ketat, termasuk penyesuaian kembali suku bunga acuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah," katanya. ***