Tantangan ekonomi global yang semakin kuat dan maraknya negara yang memberlakukan kebijakan proteksionisme harus disikapi oleh negara-negara Asia Pasific. Salah satunya adalah dengan menciptakan model bisnis baru.
Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Komite Nasional IndoÂnesia untuk Pacific Economic Cooperation Council (PECC) Mari Elka Pangestu dalam acara Dialog Global yang digelar oleh PECC dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, kemarin.
"Pusat ekonomi dunia sekaÂrang di Asia-Pasifik, jadi apa yang kita lakukan akan berÂdampak pada bagian dunia lainÂnya," ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, perlu kerja sama mengambil tindakan kolektif dan kerja sama untuk menghadapi tantangan ini, yang bukan bisnis seperti biasa. Melalui dialog ini diharapkan, para peserta yang berasal dari seÂjumlah pakar dari lembaga interÂnational, nasional dan pemangku kepentingan bisa membahas berbagai kebijakan yang diperÂlukan untuk menjawab berbagai tantangan dan ketidakpastian yang saat ini kita hadapi.
"Pertanyaan mendasar adalah apakah kita cukup merubah model bisnis yang ada atau perlu model bisnis baru, baik bagi peÂmerintah, bisnis, maupun dalam kerja sama regional?," kata manÂtan Menteri Perdagangan ini.
Wakil Ketua Dewan Pengawas Yayasan CSIS Jusuf Wanandi mengatakan, saat ini sedang terjadi perubahan dalam tata kelola ekonomi-politik dan tingÂkat ketidakpastian yang tinggi dalam sistem global. "Perubahan dalam struktur ekonomi global, di mana kita melihat isu-isu poliÂtik dan motif yang mempengarÂuhi kebijakan ekonomi termasuk potensi konflik perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia yang akan mempengarÂuhi orang lain terutama Asia Pacific," ujarnya.
Konferensi yang mengambil tema
Global Disorder: The Need for New Regional Architecture and Business Model? ini digelar dari 7-8 Mei 2018. Forum ini diÂhadiri oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Ada beberapa poin yang dibaÂhas dalam konferensi ini. PerÂtama adalah mengenai
ketidakpastian tatanan global terkait sikap Amerika Serikat dan kepemimpinan di sejumlah negara Eropa. Kedua, terkait dampak tranformasi teknologi
artifisial inteleligence (AI) serta teknologi digital. Ketiga, menÂgenai semakin tingginya kebuÂtuhan dunia untuk menerapkan konsep pembangunan berkelanÂjutan. Dan, terakhir adalah menÂgenai peran dan kepemimpinan Asia Pasifik dalam memperkuat sistem ekonomi global.
Sementara dalam sambuÂtannya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, implementasi industri 4.0 diyaÂkini akan mendorong peningkaÂtan pada produktivitas dan daya saing bagi sektor manufaktur nasional yang tergolong padat karya dan berorientasi ekspor. Hal ini karena sesuai arah peta jalan Making Indonesia 4.0, salah satu langkah prioritas nasional yang perlu dijalankan adalah memacu kegiatan peneÂlitian dan pengembangan untuk menghasilkan inovasi.
"Oleh karena itu, inovasi harus didukung dengan lembaga riset yang kuat," katanya.
Menperin menjelaskan, kunÂjungan kerjanya ke Jerman pekan lalu, antara lain guna mempelajari tentang penerapan teknologi dan riset yang dihasilÂkan oleh negara tersebut dalam mendukung revolusi industri generasi keempat. "Jerman kan merupakan salah satu negara yang dikenal sebagai sumber teknologi, dan mereka yang awalnya memperkenalkan inÂdustri 4.0," tuturnya. ***