HARI berlalu, aktivitas politik terus mengeliat, tidak ketinggalan Hastag #2019GantiPresiden.
Menariknya, hastag ini sudah meningkat levelnya pada tataran kelas menengah keatas. Kalangan mahasiswa dan dosen, politisi, kelompok organisasi, pimpinan birokrasi, ibu-ibu rumah tangga, hingga anak-anak kecil. Khusus mahasiswa magister Komunikasi Politik mendasarkan kajian dan hipotesis masa depan politik Indonesia pada hastag ini.
Pada siang hari Sabtu, 5 Mei 2018 menjumpai sahabat dan teman baru kenal di Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta, mereka masih mahasiswa pasca sarjana, jurusan komunikasi politik. Saya sebagai alumni, ikut berdiskusi bersama mereka. Mahasiswa komunikasi politik, sudah tentu kajiannya pada teori, peristiwa dan perkembangan politik Indonesia.
Asyiknya, ketika mereka rebutan membuat tugas dan judul tesis yang berbasis pada judul "hastag
#2019GantiPresiden." Pisau analisis yang digunakan sebagai pijakan teori argumentasi yakni teori Michael Faucoult tentang Rekonstruksi Wacana dan Bahasa, termasuk soal kritik Faucoult terhadap pertentangan kelas diakibatkan oleh media dan kekerasan simbolik.
Ada juga, teori fenomena komunikasi yang dikembangkan oleh seorang Litle John, kemudian teori komunikasi umum (
Pengantar Ilmu Komunikasi) oleh almarhum Dedy Mulyana, seorang tokoh pemikir dan intelektual pergerakan politik.
Irisan teori sosial lain, untuk perkuat analisisnya, didasarkan pada teori marketing politik, komunikasi massa, komunikasi organisasi, komunikasi teknologi, komunikasi internasional dan komunikasi budaya.
Munculnya fenomena hastag itu tidak berdiri sendiri, ada penilaian publik terhadap kondisi sosial ekonomi politik yang kurang komplit dari rezim sekarang ini.
Bisa dievaluasi dan ditelisik kembali, apa saja yang membuat rakyat merasa dibohongi, terbohongi dan tereksploitasi haknya, misal: kenaikan harga BBM disertai mencabut subsidinya, kenaikan TDL, pelarangan alat tangkap nelayan, TKA, korupsi, dolar selangit, hutang bejibun, senjata illegal, diskriminasi ulama, konflik agama, impor garam, impor bahan sandang pangan papan, hingga diskursus kedaulatan negara. Masih banyak lagi.
Hastag itu bermetamorfosis ditengah jaminan kesejahteraan yang buntu dan janji kerja rezim saat ini tidak terpenuhi. Metafora itu, tak bisa disalahkan. Itu mengalami mutualisme simbiosis antara oposisi dengan rakyat sendiri.
Pada prinsipnya, analisis hastag
#2019GantiPresiden, melempar hipotesis kepada rakyat Indonesia: 1). "Akankah Presiden Berganti?" 2). Mengapa Harus Hastag #2019GantiPresiden?" 3). "Benarkah rakyat Indonesia inginkan hastag #2019GantiPresiden?"
Pada prinsipnya, hipotesis tersebut dibuat benar-benar untuk kajian akademis, bukan untuk mendelegitimasi jabatan presiden.
Kajian Teoritis: Hastag #2019GantiPresidenAnalisanya, menurut Faucault bahwa hastag itu termasuk wacana dari sebuah pertarungan kuasa. Ketika sudah masuk dalam tataran publik speaces, maka hastag itu mengalami reproduksi yang mengisi ruang publik secara dinamis. Kata lain, hastag itu sumber (bahan baku) produksi wacana yang selalu berefek pada sistem kekuasaan politik.
Hastag
#2019GantiPresiden merupakan proposisi teks yang tersebar melalui pesan, email, media sosial, meme, spanduk, bendera, baju dan simbol lainnya. Bahkan, wacana hastag tak bisa dikalahkan walaupun sudah banyak yang membuat pertandingan hastag lain, seperti permainan kata-kata dan pertarungan kepentingan kelompok warga negara.
Hastag tandingan itu bisa dibedakan dalam beberapa level pertama, yakni level Lucu-lucuan, seperti
#2019GantiIstri dan
#2019TambahUangIstri, level ini tersebar melalui media sosial hanya sebagai konsumsi pribadi dan menghibur diri sendiri.
Level kedua, yakni level insidental seperti #2019TetapJokowi dan
#AkuTetapKerja. Mengapa insidental karena kelompok kehabisan hastag perlawanan. Bahkan mereka tidak menemukan kata dan kalimat yang pas untuk melawan. Level ini juga berubah model desain hastagnya, sesuai kondisi dan tempat untuk
counter opinion.
Bahkan lebih parah, ketika Car Free Day pada ahad 29 April 2018 telah terjadi pertarungan gagasan, ide dan kelerasan simbolik secara sistematis. Belakangan, publik anggap kekerasan simbolik dilakukan oleh hastag
#2019GantiPresiden, namun setelah diusut, ternyata insiden itu diatur (
by design) oleh kelompok pro siatem kuasa.
Sedemikian rupa cara untuk menggerus opini publik viralisasinya hastag #2
019GantiPresiden. Sala satu fakta terungkap, yakni ketika gelang yang dipakai antara korban dengan pelaku memakai gelang yang sama.
Sementara level ketiga, yakni level transfer
knowledge untuk hastag
#Jokowi212, para pendukung mantan Gubernur DKI Jakarta berusaha menarik simpati para alumni dan pendukung aksi Bela Islam 212.
Menurut Muhammad Taufik Rahman (2018), bahwa hastag propaganda jenis transfer pengetahuan. Pemegang kuasa kita kenal tidak sejalan dengan kelompok ABI 212. Kalau ada simbol 212 dilekatkan pada Jokowi, kemungkinannya hanya ada satu, dibuat untuk meraih simpati kelompok 212.
Level keempat, yakni level tersistematis dan konektivitas strategi gerakan, seperti
#2019GantiPresiden. Hastag ini merupakan wacana yang mewakili validitas aspirasi dan perasaan rakyat yang terbentuk dalam opini, konsep, dan pandangan hidup (harapan) sehingga mempengaruhi cara berpikir atau bertindak.
Besok pada ahad 6 Mei 2018, para level komunitas
#2019GantiPresiden ini akan berkumpul di Patung Kuda untuk menyatakan pikiran, ide, dan deklarasi dalam bentuk kampanye politik untuk mengganti presiden pada 2019 mendatang. Hal ini benar-benar dilakukan di atas ruang publik berdasarkan nilai - nilai demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia.
Konteks sistem bernegara, sikap ekspresi hastag ini bukanlah sebuah kategori makar dan melawan rezim, karena penyebutan angka 2019 itu termasuk dalam suatu rencana pada tahun - tahun akan datang.
Menurut peneliti UGM, Muhammad Taufik Rahman (2018), katakan hastag bisa dilihat sebagai bentuk reaksi spontan masyarakat terhadap suatu isu, tetapi bisa juga dilihat sebagai bentuk propaganda. Karena momentumnya bertepatan dengan tahun politik 2018-2019. Hastag
#2019GantiPresiden merupakan bentuk aspirasi dari kelompok penantang pemegang kuasa dengan cara memperkuat pesan kepada kepada masyarakat melalui hastag ganti presiden.
Menurut Bambang Gunawan dalam tulisannya yang dimuat Kolom detik pada, senin 30 April 2018, yang berjudul "
Propaganda Politik Melalui Hashtag Media Sosial," bahwa teknologi informasi selalu memberikan umpan balik atau feedback secara positif maupun negatif terhadap aspek kehidupan manusia.
Media sosial sudah menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat untuk bersosialisasi, bertukar pikiran, dan ungkapkan pendapatnya.
Lanjutnya, hashtag dipopulerkan oleh Twitter mempunyai peran besar dalam meramaikannya percakapan dan menjadi trending topic pada media sosial. Tagar digunakan untuk mengindeks kata kunci atau topik di Twitter, dan memungkinkan pengguna untuk mengikuti topik yang diminati dengan mudah.
Awal kemunculan tagar lebih digunakan untuk menggabungkan suatu topik pembicaraan agar mudah dimonitor oleh pengguna. Untuk membuat tagar yang membuat orang tertarik biasanya adalah kata yang mudah diingat dan hanya bisa satu kata, tidak bisa menggunakan spasi atau tanda baca yang lain.
Menurut Jowett & O'Donnell, 1995; Taylor, 2004;
Poulakidakos & Arminakis, 2014; Markova, Bambang Gunawan, 2018), katakan bahwa saat ini tagar menjadi simbol untuk menggerakkan pengguna media sosial, dan seringkali digunakan oleh para politisi untuk mempengaruhi persepsi pengguna media sosial khususnya follower-nya.
Sistem komunikasi tertentu mengirimkan informasi yang dikelola dengan hati-hati untuk mempengaruhi opini publik. Tindakan semacam itu, yang pada dasarnya didorong oleh kepentingan pribadi antara media yang umum dan politisi, dapat mengarah pada propaganda yang dibuat (lebih intens) menggunakan faktor sentimental, dan berusaha membujuk untuk melayani tujuan propagandis dengan sebarluaskan ideologi atau doktrin tertentu.
Mengapa dan Benarkah #2019GantiPresiden?Jawaban terhadap pertanyaan "Mengapa dan Benarkah
#2019GantiPresiden?" Ya, tentu jawaban objektifnya "Benar terjadi pergantian presiden tahun 2019," tak ada yang bisa bantah jawaban itu.
Mencari jawaban terhadap pertanyaan itu tentu berdasarkan analisis yang margin of errornya 0,1 persen. Untuk mengetahui publik berkeinginan ganti presiden, yakni: pertama, masa jabatan presiden Indonesia hanya lima tahun, maka setiap periode inilah mesti ada suksesi politik untuk merebut kursi presiden Indonesia. Makna suksesi (Pemilu) ini adalah mengganti presiden Republik Indonesia karena melalui pemilihan yang di ikuti oleh kontestan.
Kedua, hastag #2019GantiPresiden merupakan ekspresi
elektoral election dari rakyat yang hidup dalam alam demokrasi dengan unsur kebebasan menyatakan pendapat dan salurkan hasrat politik. Jadi hastag
#2019GantiPresiden itu bukan sesuatu yang harus ditakuti. Bahkan, hastag ini pertanda simbol kebebasan berdemokrasi secara terbuka dam fairness.
Ketiga, justru sebaliknya hastag
#2019AkuTetapKerja dan
#Jokowi212 merupakan pesan politik yang mewakili perasaan totaliter dan bertolak belakang dengan ruang demokrasi. Seharusnya pemimpin politik harus posisikan diri secara independen dan tidak merespon sesuatu yang diperebutkan, karena seorang presiden sudah duduk nyaman dan enak kursi singgasana.
Apalagi menggunakan hastag
#Jokowi212 menandakan sebuah kelemahan memori power leadership seorang presiden karena seolah tidak mendapat kepercayaan dari rakyatnya sehingga harus merangkul dan mengajak kembali.
Keempat, hastag
#Jokowi2Periode, ini juga menandakan bahwa perasaannya akan merasa kalah dalam pertarungan pilpres sehingga harus bertahan dua periode tanpa melalui pemilu. Bahkan, issue dan usaha agar Jokowi tetap bertarung dengan kotak kosong.
Hal ini berarti kepemimpinan Jokowi sangat lemah dan tidak memiliki magnetik lagi untuk menarik rakyat dalam membangun persatuan. Bayangkan saja, untuk bertahan dua periode harus melawan kotak kosong. Ini bisa disimpulkan Jokowi pemimpin Totaliter dan tak inginkan ruang demokrasi.
Melalui empat indikator diatas, maka 2019 ganti presiden merupakan keniscayaan. Tentunya, makna bisa jadi tidak lanjut pada periode kedua. Bisa juga, lanjut pada periode kedepan tahun 2019. Tentu bersyarat, yakni harus melewati pemilu (pilpres) sebagai kontestasi untuk persaingan mengganti presiden Republik Indonesia.
Yang tidak menarik dari rezim kuasa saat ini ketika mengontrol hastag melalui: 1). tekanan kekuasaan, misalnya menggunakan aparat keamanan untuk menekan produksi baju: 2). Walikota Bogor dan Walikota Medan melarang Memakai kaos atau kegiatan politik di acara santai seperti Care Free Day. 3). Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara mengeluarkan maklumat untuk tidak memakai simbol kaos ganti presiden.
Sebenarnya, cara-cara seperti kepanikan sehingga sistem kuasa sebagai penerima pesan politik harus meresponnya dengan cara-cara tidak demokratis. Karena sesuangguhnya kata Faucaoult bahwa pemegang kekuasaan cenderung merusak sistem demokrasi dan monopoli ruang privat (aspirasi) publik.
Rakyat akan memilih presiden baru ketika pemilu digelar. Ya, untuk urusan berapa besar rakyat memilih presiden baru, maka Komisi Pemilihan Umum yang menentukan karena itu merupakan tupoksi dan kinerja mereka.
Begitu juga seberapa besar rakyat ingin memilih presiden baru, tentu lagi-lagi diserahkan pada personalitas, keorganisasian dan kekuatan politik sang calon presiden.
[***]
Rusdianto SamawaDirektur Eksekutif Global Base Review (GBR)