. Gula semut kelapa organik merupakan salah satu komoditas yang lagi tren di pasar internasional.
Atas alasan itu, Kementerian Pertanian secara simbolis melepas satu kontainer gula serbuk kelapa organik. Ekspor komoditi organik ini adalah yang perdana dilakukan dari Soropadan, Temanggung Jawa Tengah.
Satu kontainer pertama, yang berisikan 18,5 ton gula serbuk kelapa organik akan diekspor ke Polandia. Nilai ekspor ke negara tersebut mencapai Rp 518 juta.
Sementara 10 kontainer lain atau sebanyak 185 ton diekspor ke sejumlah negara Eropa antara lain Jerman, Polandia, Yunani, Inggris dan Australia, dengan nilai Rp 5,18 milyar selama satu tahun.
"Di pasar internasional, gula bukan hanya manis saja. Trennya adalah sehat. Konsumen sekarang sudah takut kena penyakit diabetes," kata Staf Ahli bidang Investasi Kementerian Pertanian Hari Priono di sela-sela pelepasan satu kontainer gula semut kelapa organik ekspor di Purbalingga, Jawa Tengah, Rabu (2/5).
Dari pasar, pihak Kementan memperoleh info gula semut ini punya peluang yang sangat baik. Sementara, layanan yang pemerintah berikan juga sudah penuhi standarisasi, mulai dari pupuk yang dijamin tidak menggunakan bahan-bahan kimia yang dilarang.
"Kami memastikan kualitas komoditas ekspor. Jangan pasarnya sudah baik, kita ngasal. Nanti harganya jeblok lagi," lanjutnya.
Untuk menjamin kualitas kebutuhan ekspor tersebut, Hari turut menyerahkan bantuan peralatan dari Direktorat Jenderal Perkebunan berupa metal detector, pongkor, saringan nira dan ayakan gula.
Adapun metal detector yang dilengkapi dengan elektromagnetic tersebut berguna untuk mencegah adanya campuran logam terkandung di dalam gula serbuk tersebut.
Menurut Hari, langkah ekspor oleh petani gula serbuk kelapa organik dengan pihak eksportir CV I-Trade Internasional patut diapresiasi, di tengah menipisnya devisa negara akibat masih tingginya nilai impor saat ini.
"Petani gula semut, adalah pahlawan yang dapat menambah devisa negeri ini. Di saat negara tengah menghadapi tantangan ekonomi yang tidak mudah, dolar Rp13.800, devisa negara yang menipis karena banyak impor. Impor yang tidak dibarengi ekspor akan membebankan pemerintah dan masyarakat, karena barang-barang makin mahal," imbuh Hari.
[ian]