Berita

Nasaruddin Umar/Net

Mengenal Inklusi Visme Islam Indonesia (54)

Keramahan Budaya Maritim

SELASA, 27 MARET 2018 | 08:32 WIB | OLEH: NASARUDDIN UMAR

INKLUSIFISME Islam Indonesia tidak bisa dipisah­kan dengan Indonesia yang dikenal sebagai budaya maritim (maritim culture). Dalam budaya maritim, masyarakatnya lebih terbu­ka, egaliter, dan terbiasa hidup dengan perbedaan. Dalam filosofi masyarakat maritim, pantai ada­lah lahan terbuka untuk siapa pun kecuali yang sudah diberikan tanda kepemilikan oleh orang atau tokoh adat. Siapa pun bisa menambatkan perahunya. Mungkin mereka membutuhkan air tawar (air minum) yang dalam masyarakat pantai air tawar itu milik bersama yang tak bisa dimonopoli seseorang seperti sungai atau da­nau. Dengan demikian, budaya maritim lebih terbuka menerima kehadiran orang lain dan mereka memmperoleh nikmat dan rezeki den­gan keterbukaan itu. Ciri khas masyarakat ber­budaya pantai ramah dan baik sangka. Inilah yang membedakan dengan masyarakat dara­tan (continental culture), yang masyarakatnya lebih tertutup dan cenderung resisten dengan pendatang.

Jika kita menganalisis lokus turunnya agama-agama, hampir semua agama diturunkan di da­lam masyarakat yang berkultur daratan, seper­ti Hindu, Budha, Khonghucu, Yahudi, Nasrani, dan tidak terkecuali Islam. Sudah barang tentu kitab-kitab suci agama-agama tersebut dipaha­mi berdasarkan alam bawah sadar masyarakat yang berkultur maritim. Persoalannya ialah se­mua agama diturunkan untuk manusia secara keseluruhan tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, warna kulit, kewarganegaraan, termasuk kultur. Setiap etnik memiliki hak-hak kultural (cultural right). Jika pada masyarakat konti­nental memiliki cultural right untuk menafsirkan kitab suci maka masyarakat yang berbudaya kelautan juga memiliki hak-haknya untuk me­nafsirkan kitab suci menurut kondisi obyektif­nya masing-masing.

Secara sosio-antropologis kita bisa memeta­kan perbedaan cara pandang (world views) dan kosmologi antara masyarakat continental dan masyarakat maritime. Masyarakat continental sering dicirikan dengan sebuah masyarakat yang memiliki lapis-lapis masyarakat (so­cial stratifications) yang beragam. Anggota masyarakatnya memiliki kelas-kelas sosial (so­cial structure) yang bertingkat-tingkat. Semakin tinggi kelas suatu kelompok semakin banyak mereka memiliki hak-hak privacy dan privilege. Elit-elit masyarakat continental dalam lintasan sejarah sering dicirikan sebagai 'tuan tanah', memiliki peluang politik lebih besar untuk men­guasai masyarakat, dan sering dijadikan seba­gai referensi di dalam masyarakat dalam ber­bagai negeri.


Agaknya inilah rahasianya, mengapa Tu­han menurunkan hampir semua agama di da­lam masyarakat continental, terutama agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Yahudi Kristen, Khonghucu, dan Islam. Demikian pula semua Nabi dan Rasul-Nya diturunkan di neg­eri continental. Tidak pernah dikenal ada Nabi atau Rasul turun di negeri maritim. Mungkin rahasianya antara lain, justru tantangan dunia kemanusiaan itu pada umumnya datang dari masyarakat continental. Sikap ketidakadilan, diskriminasi, dan penindasan lebih banyak me­lekat pada masyarakat continental ketimbang masyarakat maritim.

Dalam masyarakat maritim seperti di ka­wasan Nusantara, Tuhan tidak perlu menurunk­an wahyu, Nabi, dan atau Rasul di sana kar­ena basic karakternya sudah lebih soft. Cukup Ia mengutus Wali Songo maka masyarakat Nu­santara sudah bisa menjadi muslim/muslimah yang baik. Begitu mudah Wali Songo mengis­lamkan wilayah Nusantara. Tidak perlu mela­lui peperangan dan ketegangan. Kemudahan penduduk memeluk agama Islam karena nilai-nilai Islam dianggap bukan 'benda asing' tetapi sudah inherent di dalam diri dan kepribadian bangsanya. Dengan demikian, wajar jika Islam yang berkembang di Indonesia menampilkan wajah damai dan inklusif.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

Kapolda Metro Buka UKW: Lawan Hoaks, Jaga Jakarta

Selasa, 16 Desember 2025 | 22:11

Aktivis 98 Gandeng PB IDI Salurkan Donasi untuk Korban Banjir Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:53

BPK Bongkar Pemborosan Rp12,59 Triliun di Pupuk Indonesia, Penegak Hukum Diminta Usut

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:51

Legislator PDIP: Cerita Revolusi Tidak Hanya Tentang Peluru dan Mesiu

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:40

Mobil Mitra SPPG Kini Hanya Boleh Sampai Luar Pagar Sekolah

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:22

Jangan Jadikan Bencana Alam Ajang Rivalitas dan Bullying Politik

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:19

Prabowo Janji Tuntaskan Trans Papua hingga Hadirkan 2.500 SPPG

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Trio RRT Harus Berani Masuk Penjara sebagai Risiko Perjuangan

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Yaqut Cholil Qoumas Bungkam Usai 8,5 Jam Dicecar KPK

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:47

Prabowo Prediksi Indonesia Duduki Ekonomi ke-4 Dunia dalam 15 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:45

Selengkapnya