Berita

Arief Budiman/Net

Wawancara

WAWANCARA

Arief Budiman: KPU Meyakini Yang Dilakukan KPK Adalah Problem Hukum, Jadi Silakan Jalan Terus

SENIN, 19 MARET 2018 | 10:03 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus membidik calon kepala daerah yang di­duga melakukan praktik korupsi. Baru-baru ini Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan, di­rinya telah menandatangani su­rat perintah penyidikan atau sprindik atas calon kepala daerah yang akan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.

Bisa jadi penerbitan sprindik bagi calon kepala daerah yang baru-baru ini dilakukan KPK ba­ru sebuah langkah awal. Sebab sebelumnya, Agus Rahardjo pernah mengatakan bahwa 90 persen calon kepala daerah petahana di Pilkada 2018 diduga kuat terkait dengan praktik ko­rupsi.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto pernah mengimbau KPK agar menunda terlebih dulu peneta­pan tersangka bagi calon kepala daerah. Namun imbauan ini justru dijawab dengan penerbi­tan sprindik bagi calon kepala daerah. Lantas bagaimana pan­dangan penyelenggara pilkada dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait langkah KPK tersebut? Berikut penutur­an Ketua KPU Arief Budiman.

Apa tanggapan KPU atas keputusan KPK tersebut?
Sampai hari ini kami masih percaya betul penetapan ses­eorang menjadi tersangka itu memang betul-betul dilakukan dengan argumenntasi, dasar, fakta hukum, bukan dengan faktor yang lain. KPU meyakini betul apa yang dilakukan KPK itu adalah problem hukum, bukan problem politik. Maka kami meyakininya, jadi silakan dijalankan terus.

Lalu apakah KPU akan men­gubah peraturan dengan mem­bolehkan pergantian calon guna mengantisipasi adanya calon yang dijadikan tersangka?

Menurut saya regulasi yang ada saat ini sudah cukup, dan menurut saya calon kepala daerah yang jadi tersangka juga tidak perlu diganti. Karena kalau boleh diganti itu tidak memberi pelajaran luar biasa bagi semua stakeholder, penye­lenggara pemilu, peserta pemilu termasuk pemilih.

Maksudnya tidak memberi­kan pelajaran bagaimana?

Maksudnya, kalau tidak boleh diganti parpol akan lebih berha­ti-hati ke depan ketika memi­lih calon yang akan diusung. Sebelum mengusung dia akan berpikir, 'waduh kalau ini kena bagaimana ini kan enggak boleh diganti. Tapi kalau calon yang jadi tersangka bisa diganti, maka parpol tidak akan memperbaiki proses perekrutan calon kepala daerah. Karena dia akan berpikir 'kan nanti kalau OTT bisa di­ganti'. Jadi kami berpikir jangka panjang, supaya semua dapat pembelajaran atas proses dan kejadian itu.

Kalau pelajaran untuk pemilih apa?

Kalau buat masyarakat ya dia juga harus berhati-hati dalam memilih calon yang didukung. Kalau kamu memilih tersangka, tentu hanya soal waktu nanti akan diinkrahkan. Lalu kalau dia dinyatakan bersalah, maka apa yang akan anda pilih, sebet­ulnya tidak bisa melaksanakan harapan-harapan anda, tugas-tugas yang anda bebankan nanti. Ini pelajaran bagi pemilih.

Berdasarkan PKPU, per­gantian calon bisa dilakukan jika tidak memenuhi syarat kesehatan, berhalangan tetap, atau dijatuhi sanksi pidana dan inkrah. Kalau jadi ter­sangka karena kena OTT bisa diartikan sebagai berhalangan tetap enggak?
Tidak. Yang dimaksud ber­halangan tetap itu adalah men­inggal dunia atau tidak dapat menjalankan tugasnya secara permanen yang dibuktikan den­gan surat keterangan dokter. Kondisinya sangat berbeda den­gan kasus penetapan tersangka karena OTT atau pengembangan kasus dugaan korupsi.

Lalu sesuai Undang-Undang Pilkada, partai politik tidak diperbolehkan mengganti calon mereka jika kondisinya baru ditetapkan sebagai tersangka. Kecuali karena hal itu seperti yang dijelaskan dalam PKPU. Sebab, status tersangka itu selalu ada prinsip asas praduga tak bersalah.

Tapi kalau melalui OTT kan tersangkanya langsung ditahan, sehingga otomatis calon itu berhalangan sampai kasusnya inkrah?
Selama ini memang tak per­nah ada yang bebas dari KPK, tapi bukan berarti tidak mung­kin. Misalnya sebagai tersangka mengajukan praperadilan. Lalu menang. Kan semua kemungki­nan bisa terjadi.

Dalam prinsip hukum itu tersangka mempunyai dua ke­mungkinan, dia bisa divonis bersalah dan bisa juga divonis bebas. Makanya KPU hanya memberi dua penjelasan tentang berhalangan tetap itu mening­gal dunia atau secara permanen tidak dapat menjalankan tugas, tapi tetap harus didukung keterangan dari rumah sakit.

Meski demikian, usulan men­gubah PKPU guna mengganti calon kepala daerah memang memungkinkan jika melihat tahapan pilkada yang masih berjalan. Sekarang ini waktu­nya masih cukup panjang untuk menuju hari pemungutan suara. Saya pikir logis usulan itu dia­jukan untuk digantikan. Hanya saja, kami khawatir jika usulan itu diakomodasi, justru akan merugikan calon pengganti dan masyarakat sebagai pemilih itu sendiri.

Kenapa begitu?
Karena yang lain sudah kam­panye, sosialiasi diri selama kurang lebih tujuh hingga de­lapan bulan. Sementara publik hanya tahu tidak lebih dari 30 hari calon pengganti itu. Tentu publik tak mendapatkan infor­masi yang cukup.

Tetap saja banyak yang tidak setuju kalau calon yang sudah jadi tersangka masih dibolehkan bersaing. Apakah tidak ada saran alternatif dari Anda?
Kalau mau lebih ketat, tegas dan keras dan demi pembelajaran dan penghukuman ke depannya, maka perlu sanksi diskualifikasi calon yang menjadi tersangka. Dengan adanya sanksi diskuali­fikasi, maka partai yang men­gusungkan paslon akan lebih berhati-hati dan selektif dalam memilih calon.

Sebab partai akan rugi jika mengusung paslon yang ber­masalah, karena bisa menyebab­kan mereka kehilangan kesem­patan ikut pilkada. Lalu kini juga bisa melindungi pemilih karena pemilih tidak akan memilih calon kepala daerah yang bermasalah. Tapi sanksi diskualifikasi ini sekadar usulan. Usulan ini masih perlu dikaji lebih dalam sebelum diterapkan.

Kenapa begitu?
Kalau nanti diskualifikasi berarti parpol tidak mempu­nyai calon lagi. Apakah ini adil atau tidak, baik untuk parpol atau pemilihnya. Jadi, memang perlu dipertimbangkan betul. Karena dampaknya kan banyak dan tidak boleh sampai mer­ugikan calon dan masyarakat. Misalnya soal lawan calon kepala daerah juga perlu dipertim­bangkan.

Bagaimana kalau calon tung­gal? Calon tunggal yang didis­kualifikasi membuat masyarakat tak memiliki pilihan. Lalu KPU juga harus mempertimbangkan asas praduga tak bersalah. Sebab selama belum ada keputusan inkrah, masih ada kemungkinan tersangka tersebut tak terbukti melakukan kesalahan. KPU harus memastikan hak calon kepala daerah tersebut untuk dipilih terpenuhi. ***

Populer

Fenomena Seragam Militer di Ormas

Minggu, 16 Februari 2025 | 04:50

Asian Paints Hengkang dari Indonesia dengan Kerugian Rp158 Miliar

Sabtu, 15 Februari 2025 | 09:54

PT Lumbung Kencana Sakti Diduga Tunggangi Demo Warga Kapuk Muara

Selasa, 18 Februari 2025 | 03:39

Temuan Gemah: Pengembang PIK 2 Beli Tanah Warga Jauh di Atas NJOP

Jumat, 14 Februari 2025 | 21:40

Pengiriman 13 Tabung Raksasa dari Semarang ke Banjarnegara Bikin Heboh Pengendara

Senin, 17 Februari 2025 | 06:32

Dugaan Tunggangi Aksi Warga Kapuk Muara, Mabes Polri Diminta Periksa PT Lumbung Kencana Sakti

Selasa, 18 Februari 2025 | 17:59

Makan Bergizi Gratis Ibarat Es Teh

Jumat, 14 Februari 2025 | 07:44

UPDATE

Pemerintah Diminta Tempuh Dialog Tanggapi Tagar Indonesia Gelap

Senin, 24 Februari 2025 | 17:31

Rekan Indonesia Tolak Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Senin, 24 Februari 2025 | 17:24

Ini Dokumen Ekstradisi Paulus Tannos yang Dikirim ke Pemerintah Singapura

Senin, 24 Februari 2025 | 17:23

Pilkada Tasikmalaya Diulang, Asep-Cecep Puji Keberanian Hakim MK

Senin, 24 Februari 2025 | 17:15

Tetap Menteri Investasi, Rosan Rangkap Jabatan jadi Bos Danantara

Senin, 24 Februari 2025 | 17:06

Doa Buat Almarhum Renville Menggema saat Pembukaan Kongres Demokrat

Senin, 24 Februari 2025 | 16:58

Hampir Semua Kepala Daerah PDIP Ikut Retret Kecuali Gubernur Bali

Senin, 24 Februari 2025 | 16:50

Kemenag Beberkan Lima Poin Penting Perbaikan UU Haji

Senin, 24 Februari 2025 | 16:38

Kita Sayang Prabowo: Audit Forensik Depkeu dan BUMN, FDI akan Masuk Demi Masa Depan Indonesia

Senin, 24 Februari 2025 | 16:27

Wamen Christina: Kita Doakan Danantara Berjalan Lancar

Senin, 24 Februari 2025 | 16:16

Selengkapnya