Berita

Syukri M Yusuf/Net

Wawancara

WAWANCARA

Syukri M Yusuf: Secara Legalitas, Aceh Punya Legalitas Terapkan Hukum Pancung Tapi Kita Lakukan Penelitian Dulu

SENIN, 19 MARET 2018 | 10:54 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh dikabarkan tengah menggodok wacana penerapan hukum pancung atau qisas di bumi serambi Mekkah. Wacana ini dilatari keinginan Pemprov Aceh untuk mencegah kejahatan pembunuhan. Sedianya wacana hukum pancung ini akan direal­isasikan jika mendapat respons positif dari masyarakat. Apakah betul begitu? Kepada Rakyat Merdeka, berikut penjelasan Kabid Bina Hukum Syariat Islam dan Hak Asasi Manusia Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, Syukri MYusuf, terkait wacana hukuman pancung di Aceh.

Aceh kabarnya berencana menerapkan hukum pancung apa benar begitu?
Berita itu tidak betul. Tolong sampaikan, wacananya itu untuk melakukan penelitian, menan­yakan, atau meminta pendapat masyarakat. Ini beda sekali den­gan wacana untuk menerapkan hukum pancung.


Penelitian itu dilakukan karena Aceh memiliki legalitas un­tuk penerapan syariat Islam secara kaffah. Ketentuan itu ada di Pasal 125 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Jadi ke­wenangan untuk menerapkan syariat islam meliputi hukum ji­nayat, yang salah satu materinya hukum qisas. Namun demikian, kami tidak serta merta melaku­kan hukum qisas. Padahal kami sudah punya hukum jinayat, tapi materi qisas itu tidak ada. Kalau kami betul-betul sudah melakukan itu, dari dulu su­dah kami bikin hukum qisas. Tapi kami sengaja tidak buat. Karena kami mengerti (penera­pan syariat Islam) harus melalui proses, harus melalui meka­nisme penelitian dulu. Kalau dimungkinkan penelitian tahun ini kami lakukan penelitiannya. Itu sudah wacananya.

Lalu bagaimana ceritanya sampai ada berita Aceh berwa­cana menerapkan hukuman pancung?
Ini muncul dalam sebuah fo­rum tentang tindak pidana dan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Waktu itu di antara penanggap ada yang menyatakan hukum syariat itu terlalu lemah, sehingga ada pemerkosaan ter­hadap anak, pelecehan terhadap anak yang hanya dituntut tiga kali cambuk. Itu lemah sekali katanya.

Jadi dia menyarankan un­tuk kembali saja ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), jangan lagi gunakan hukum syariat. Lalu dalam me­nanggapi saya jelaskan, hukum syariat yang hanya beberapa kali cambukan itu tujuan penerapan­nya kami hanya mau mem­perkenalkan kepada masyarakat. Prinsip edukasi itu lebih tinggi dalam pelaksanaan hukum syar­iat. Tapi kemudian itu sudah disesuaikan dengan qanun yang baru Nomor 6 Tahun 2014. Di sana ada hukuman 100-200 kali cambuk untuk kasus tertentu.

Nah, 200 cambuk itu kalau betul-betul dilakukan berat itu. Kalau serius dilakukan, bisa mati orang dicambuk sebanyak itu. Jadi bukannya hukum syar­iat ini lemah. Apalagi kan ada konversinya. Satu kali cambuk konversinya itu sebulan penjara, dan 10 gram emas murni. Jadi kalau 200 kali cambuk, maka konversinya dengan penjara itu 200 bulan, dan denda 2.000 gram emas.

Apakah hukuman penjara dan denda itu ringan? Kan tidak. Lalu saya sampaikan bahwa hukuman syariat bukan itu saja, syariat masih punya hukuman lain yang salah satunya qisas buat pembunuhan. Kemudian ada hukum potong tangan buat pencurian, rajam bagi pezina, tapi semua itu belum kami terap­kan. Walaupun secara legalitas Aceh punya kewenangan untuk melakukannya. Jadi saya kata­kan berat sekali hukum syariat kalau mau benar-benar dilaku­kan. Nah, di situ saya masuk, jika kita ingin melakukannya harus penelitian dulu. Dan ta­hun ini dimungkinkan bagi kami untuk penelitian. Jadi yang saya maksud itu wacana untuk penelitian, bukan wacana untuk menerapkan.

Berarti wacana untuk pen­erapan hukuman pancung ini belum ada ya?

Sama sekali belum ada. Itu baru wacana penelitian. Karena semua kebijakan di Aceh ini melalui penelitian terlebih da­hulu. Pertama kami siapkan anggarannya, lalu kami siapkan timnya yang berasal dari berba­gai kalangan, baru laksanakan penelitiannya. Kami melakukan hal itu karena harus melihat ba­gaimana tanggapan mashayakat. Jangan-jangan mereka malah tidak mau. Tapi ini anggaran penelitian saja belum ada, su­dah heboh. Padahal jauh sekali antara wacana untuk melakukan penelitian, dengan wacana penerapan hukum pancung. Perlu diluruskan itu.

Jadi meski hasil penelitian­nya setuju dengan hukum pancung, belum tentu jadi diterapkan juga ya?
Iya. Karena prosesnya juga masih panjang sebelum diterap­kan. Jadi sebetulnya masih ter­lalu prematur untuk dihebohkan. Kami belum berbuat apa-apa, tapi sudah heboh, sudah ribut dengan perbuatan yang enggak ada. Padahal kami belum mengerja­kan apa-apa juga. Ini yang saya kira perlu diluruskan.

Tapi kalau respon dari masyarakat terkait munculnya isu hukum pancung ini ba­gaimana?
Kalau kami lihat banyak yang menginginkan diterapkannya hukum ini. Bahkan ada tokoh masyarakat yang menyatakan, saya tidak mau mati dulu ka­lau belum lihat pelaksanaan hukum qisas itu. Tapi respon dari masyarakat yang kami terima itu tidak bisa dijadikan sebuah hasil, tidak bisa kami pegang. Begitu juga pendapat dari ormas-ormas.

Kenapa mereka minta qi­sas?

Karena Aceh punya legalitas untuk itu, Aceh bisa berbuat. Jadi kita berbicara dalam kerangka konstitusi, kerangka legalitas formal yang dimiliki Aceh, lex specialist Undang-Undang Aceh itu memberi kewenangan penerapan syariat secara kaf­fah. Tapi kami harus lihat dulu berbagai faktor, (penerapan hu­kuman pancung) tidak semudah membalikan telapak tangan. Jika itu memungkinkan, ya penelitian dulu. Jadi bukannya kami mewa­canakan hukum pancung.

Penelitian ini rencananya akan melibatkan siapa saja?

Kami selama ini selalu me­libatkan peneliti dari berbagai kampus, misalnya dari UIN atau kampus lainnya.

Penelitian ini tidak melibat­kan pemerintah pusat?

Tidak. Penelitian itu kami serahkan kepada tim peneliti. Kalau hasilnya sudah ada baru kami lakulan konsultasi ke pe­merintah pusat. Tapi kalau masih dalam tataran penelitian itu belum.

Kalau berdasarkan hukum islam, pancung ini hanya dit­erapkan dalam kasus pem­bunuhan ya?
Jangan bicara soal hukum pancung dululah. Kami belum bicarakan soal hukum pancung. Yang kami bicarakan baru wa­cana penelitian.

Jadi tidak tahu nanti penera­pannya seperti apa. Penelitiannya saja belum ada. Jadi jangan dikait-kaitkan dulu dengan hukum pancung. Saya bilang wacana untuk melakukan pene­litian. Apa hasilnya bukan saya yang menentukan, bukan juga pemerintah. Karena itu hasil dari sebuah penelitian. Dan itu kan masih lama, karena masih wacana. ***

Populer

Fenomena Seragam Militer di Ormas

Minggu, 16 Februari 2025 | 04:50

Asian Paints Hengkang dari Indonesia dengan Kerugian Rp158 Miliar

Sabtu, 15 Februari 2025 | 09:54

PT Lumbung Kencana Sakti Diduga Tunggangi Demo Warga Kapuk Muara

Selasa, 18 Februari 2025 | 03:39

Temuan Gemah: Pengembang PIK 2 Beli Tanah Warga Jauh di Atas NJOP

Jumat, 14 Februari 2025 | 21:40

Pengiriman 13 Tabung Raksasa dari Semarang ke Banjarnegara Bikin Heboh Pengendara

Senin, 17 Februari 2025 | 06:32

Dugaan Tunggangi Aksi Warga Kapuk Muara, Mabes Polri Diminta Periksa PT Lumbung Kencana Sakti

Selasa, 18 Februari 2025 | 17:59

Makan Bergizi Gratis Ibarat Es Teh

Jumat, 14 Februari 2025 | 07:44

UPDATE

Pemerintah Diminta Tempuh Dialog Tanggapi Tagar Indonesia Gelap

Senin, 24 Februari 2025 | 17:31

Rekan Indonesia Tolak Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Senin, 24 Februari 2025 | 17:24

Ini Dokumen Ekstradisi Paulus Tannos yang Dikirim ke Pemerintah Singapura

Senin, 24 Februari 2025 | 17:23

Pilkada Tasikmalaya Diulang, Asep-Cecep Puji Keberanian Hakim MK

Senin, 24 Februari 2025 | 17:15

Tetap Menteri Investasi, Rosan Rangkap Jabatan jadi Bos Danantara

Senin, 24 Februari 2025 | 17:06

Doa Buat Almarhum Renville Menggema saat Pembukaan Kongres Demokrat

Senin, 24 Februari 2025 | 16:58

Hampir Semua Kepala Daerah PDIP Ikut Retret Kecuali Gubernur Bali

Senin, 24 Februari 2025 | 16:50

Kemenag Beberkan Lima Poin Penting Perbaikan UU Haji

Senin, 24 Februari 2025 | 16:38

Kita Sayang Prabowo: Audit Forensik Depkeu dan BUMN, FDI akan Masuk Demi Masa Depan Indonesia

Senin, 24 Februari 2025 | 16:27

Wamen Christina: Kita Doakan Danantara Berjalan Lancar

Senin, 24 Februari 2025 | 16:16

Selengkapnya