Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan hakim Pengadilan Negeri Tangerang Wahyu Widya Nurfitri dan Panitera Pengganti Tuti Atika sebagai tersangka suap. Dua-duanya ditahan.
Keduanya diduga menerima suap terkait perkara perdata yang tengah disidangkan di PN Tangerang. "KPK menemukan bukti permulaan yang cukup unÂtuk menaikkan status penanganÂan perkara dari penyelidikan ke penyidikan dengan menetapkan empat orang sebagai tersangka," kata Wakil Ketua KPK Basarian Panjaitan.
Dua tersangka lainnya Agus Wiratno dan HM Saipuddin, pemberi suap. Keduanya berprofesi pengacara. Pemberian suap diduga untuk mengubah putusan hakim.
Awalnya, Agus mendapat inÂformasi dari Panitera Pengganti Tuti Atika bahwa gugatannya bakal ditolak. Rencananya sidang putusan digelar 27 Februari 2018. Namun sidang ditunda lantaran Tuti pergi umroh.
Sidang putusan kemudian dijadwalkan 8 Maret 2018. Atas persetujuan Saipuddin, Agusmenemui Tuti lagi sehari sebelum sidang putusan. Kali ini Saipuddin membawa uang suap Rp 7,5 juta.
Setelah menerima uang itu, Tuti menyerahkannya ke Hakim Wahyu Widya Nurfitri. "Namun, uang tersebut dinilai kurang sehingga akhirnya disepakati nilainya menjadi Rp 30 juta," kata Basaria.
Namun sidang putusan 8 Maret 2018, Agus belum juga menyerahkan uang Rp 22,5 juta untuk menggenapi komitmen Rp 30 juta. Sidang kembali ditunda. Kali ini dengan alasan hakim sedang ke luar kota.
Sidang putusan dijadwalkan 13 Maret 2018. KPK mencurigai penundaan sidang putusan ini merupakan modus agar pengacara memberikan uang.
Senin, 12 Maret 2018 Agus datang ke PN Tangerang. Ia membawa uang Rp 22,5 juta. Usai menyerahkan uang kepada Tuti, Agus dicocok tim KPK di halaman pengadilan.
Selanjutnya, Agus digiring menuju ke ruang kerja Tuti. Tuti sempat berteriak histeris ketika disatroni tim KPK.
Tuti dan hakim Widya ditetapÂkan sebagai tersangka penerima suap. Keduanya dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Sedangkan Agus dan Saipuddin tersangka pemberi suap. Keduanya diduga melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Tadi malam, keempat terÂsangka dijebloskan ke tahanan. Menurut Basaria, uang suap murni berasal dari Agus dan Saipuddin. "Advokat ini berusaÂha untuk memenangkan perkaraÂnya," katanya.
Berdasarkan perjanjian dengan kliennya, Agus dan Saipuddin akan mendapat komisi 40 persen dari nilai sengketa jika perkara menang.
Penyelidikan dilakukan lanÂtaran KPK kerap menerima laporan mengenai hakim Widya. "Informasi yang kami terima dari masyarakat, bukan satu kali, sudah berulang kali terhadap orang yang bersangkutan," sebut Basaria. Laporan itu ditinÂdaklanjuti. "Tapi memang waktu itu belum ditemukan (bukti) oleh KPK," katanya.
Setelah kasus ini terbongkar, KPK bisa mengembangkan peÂnyidikan mengenai dugaan penÂerimaan suap lainnya. "Ini masih mungkin. Nanti tergantung dari penyidik," kata Basaria.
Mahkamah Agung (MA) meÂmutuskan memberhentikan seÂmentara Wahyu Widya Nurfitri sebagai hakim.
"Siapa pun yang kena OTT langsung kita SK-kan berhentiÂkan sementara dibayar 50 persen gaji pokok sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap. Jika terbukti, setelah putusan kekuaÂtan hukum tetap langsung kita berhentikan tetap. Namun kalau nggak terbukti, kita rehabilitasi," kata Ketua Muda MA Bidang Pengawasan Sunarto di KPK.
Selain itu, MA akan meÂmanggil Ketua PN Tangerang atas penangkapan hakim dan panitera ini. "Jadi ini berjenÂjang, kalau ini hakim tingkat pertama maka yang kami periksa tadi pagi adalah ketua pengadilanÂnya. Karena melibatkan panitera pengganti, yang tadi kami periksa paniteranya. Atasan langsungnya itu, pengawasan cukup bagaimana sewajarnya dan memang sudah ada pembinaan sudah rutin hampir dua minggu sekali," beber Sunarto.
MA, kata Sunarto, sudah melakukan upaya pencegahan korupsi. Namun masih ada okÂnum yang berani terima suap.
"Kita kembali pada karakter. Mereka tipe yang tidak ada rasa takut yang ada rasa malu sama wartawan. Kalau belum takut sama Tuhan, paling tidak takut sama wartawanlah. Malu sama wartawan sehingga mereka kalauada kasus gini yang tidak pakai kacamata jadi pakai, yang tidak flu pakai masker. Takut diekspos, kalau takut sama Tuhan akan berjalan aman," katanya geram.
Kilas Balik
Panitera PN Jakut Pasrah Dihukum Penjara 7 Tahun
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menÂjatuhkan vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Rohadi, Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Rohadi menyataÂkan bisa menerima putusan ini.
"Saya bersalah dan saya menerimanya Yang Mulia," kata Rohadi menanggapi putusan yang diketuk ketua majelis haÂkim Sumpeno.
Rohadi juga menegaskan tidak akan mengajukan banding. Lantaran itu, dia memohon agar putusan ini segera dieksekusi. "Saya tidak peduli tinggi renÂdahnya putusan. Saya tidak akan melakukan perlawanan apa-apa lagi. Tolong jangan dibuat seolah saya tidak menerima (putusan)," kata Rohadi.
Berbeda dengan Rohadi, jaksa penuntut umum (JPU) KPK meÂnyatakan pikir-pikir. Jaksa henÂdak mempelajari dulu putusan ini sebelum mengambil sikap menerima atau banding.
Putusan ini memang lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yang meminta Rohadi dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider lima bulan kurungan.
Dalam pertimbangan putuÂsannya, majelis hakim menilai Rohadi telah menciderai jabaÂtannya sebagai panitera dengan menerima suap dari pihak berp erkara.
"Hal yang meringankan, terÂdakwa belum pernah dihukum,berlaku sopan di persidangan,menyesali perbuatannya, serta masih mempunyai tanggungan keluarga," kata hakim Sumpeno.
Majelis hakim menilai, Rohadi terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap untuk mengurus penunjukan majelis hakim yang akan meÂnangani perkara Saipul Jamil di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Serta agar hakim tidak menjatuhkan hukum yang berat terhadap pedangdut itu dalam perkara pelecehan seksual.
Perbuatan Rohadi menerima suap, menurut majelis hakim, telah memenuhi unsur Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi, yang didakwakan kepadanya.
Dalam perkara ini, Rohadi didakwa menerima suap Rp 50 juta terkait penunjukan majelis hakim yang akan menangani perkara Saipul Jamil. Kemudian menerima Rp 250 juta agar Saipul divonis ringan.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam putusanÂnya juga menyatakan, menyita uang Rp 700 juta yang ditemuÂkan di mobil Rohadi ketika ditangkap KPK.
"Menimbang permohonan jaksa penuntut umum yang ingin mempergunakan uang tersebut sebagai barang bukti dalam kasus pencucian uang oleh terÂdakwa. Maka sudah selayaknya permohonan jaksa dikabulkan," ujar hakim anggota M Idris.
Rohadi berdalih uang itu merupakan pinjaman dari angÂgota DPR Sareh Wiryono untuk keperluan rumah sakit yang didirikannya di Indramayu, Jawa Barat.
Namun jaksa KPK menilai, Rohadi tidak bisa membuktikan asal-asal uang karena tidak ada kuintansi penerimaan dan perÂjanjian pinjam-meminjam.
Jaksa mencurigai uang itu didapat dari pengurusan perkaÂra dan akan dijadikan barang bukti dalam perkara gratifikasi dan pencucian uang Rohadi. Lantaran itu, jaksa meminta agar disita. ***