Kondisi rupiah yang terus menurun dirasa bakal berlanjut hingga beberapa bulan ke depan. Bank Indonesia (BI) diharapkan segera melakukan intervensi agar rupiah tak terus terpuruk.
Pelemahan kurs rupiah juga terjadi pada kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISÂDOR) yang dirilis Bank Indonesia (BI). Kurs rupiah kemarin, berada di level 13.774 per dolar AS, turun dibandingkan posisi Rabu (7/3) Rp13.763 per dolar AS. Rupiah diperkirakan masih berpotensi melemah meski diharapkan dapat terbatas seiring adanya pelemahan pada dolar AS.
Menurut Analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada, posisi rupiah yang masih berada di area supportnya juga dapat menjadi faktor penahan. Untuk itu, diharapakan pelemahan yang terjadi dapat lebih terbatas agar rupiah dapat menemukan momentum kenaikannya.
"Memang nampaknya rupiah harus tetap dicermati dan wasÂpada jika masih adanya pelemaÂhan lanjutan," kata Reza kepada
Rakyat Merdeka. Pelemahan rupiah terlihat muÂlai terbatas seiring dengan penuÂrunan jumlah cadangan devisa (cadev) yang diperkirakan diÂgunakan BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Begitupun dengan turunnya penempatan valas perbankan di Bank Sentral karena adanya kebutuhan di masyarakat.
Jumlah cadangan devisa FebÂruari 2018 senilai 128,06 miliar dolar AS. Angka tersebut selisih 3,92 miliar dolar AS jika dibandingkan posisi Januari kemarin yang sebesar 131,98 miliar.
Di sisi lain, pemberitaan mengenai mundurnya pejabat ekseÂkutif di pemerintahan Presiden AS Donald Trump akibat kebiÂjakan proteksionisnya, memberÂikan sentimen negatif pada nilai tukar dolar AS yang cenderung turun tipis. Namun demikian, kondisi tersebut tidak banyak berimbas pada pergerakan ruÂpiah yang tetap melemah.
Tak jauh berbeda, ekonom
Institute Development of EcoÂnomic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara memperkirakan, pelemahan rupiah masih akan terus terjadi hingga pada akhir Maret ini. Titik terendah pelemahan rupiah bisa mencapai Rp 14 ribu per dolar AS di tahun ini.
"Bisa tembus Rp 14 ribu. Pelemahan rupiah terjadi karena kebijakan Bank Sentral AS untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan pada tahun ini sebanyak tiga kali," ujarnya kepada
Rakyat Merdeka. Bhima bilang, Gubernur
The Fed baru Jerome Powell mengiÂsyarakatkan suku bunga akan naik dalam waktu dekat. Bahkan bisa sampai tiga kali kenaikannya untuk tahun ini. Powell mengkonfirÂmasi bahwa Fed solid melakukan pengetatan moneter dan normalisasi balance sheet-nya tahun ini.
"Kebijakan Fed ini juga memicu bank sentral negara maju, seperti ECB (European Central Bank) dan BOJ (Bank of Japan) melakukan pengetatan moneter," tutur Bhima.
Sementara dari dalam negeri, faktor seperti inflasi Februari yang rendah di level 0,17 persen dan laporan keuangan beberapa emiten yang positif dianggapÂnya, tidak bisa menahan penÂjualan dari investor asing.
"Aliran modal asing keluar dari pasar modal Indonesia saat ini mencapai Rp 12,2 triliun (
year to date). Untuk industri farmasi dan kimia merupakan dua sektor yang terkena dampak pelemahan rupiah saat ini," katanya.
Bhima menambahkan, indusÂtri yang terkena dampak adalah industri yang kandungan bahan baku impornya cukup besar. Salah satunya industri farmasi, kimia, dan tekstil. "Ketika ruÂpiah lemah, daya saing langsung merosot. Jadi tidak benar kalau pelemahan rupiah pasti untungÂkan ekspor," ujarnya.
Menyoal ini, Gubernur BI Agus DW Martowardojo menyaÂtakan, Bank Sentral senantiasa menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. "Bank Indonesia akan tetap berada di pasar secara teruÂkur untuk mengawal terciptanya stabilitas rupiah, sehingga kepasÂtian dan keyakinan masyarakat terhadap perekonomian nasional tetap terjaga dengan baik," kata Agus dalam keterangan persnya yang diterima
Rakyat Merdeka. Ia menegaskan, BI secara konÂsisten dan berhati-hati merespons dinamika pergerakan nilai tukar rupiah yang sedang berlangsung, untuk memastikan stabilitas makÂroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga. Sehingga keberÂlangsungan pemulihan ekonomi dapat berlanjut.
"Respons BI ditempuh untuk mengelola dan menjaga fluktuasi (volatilitas) nilai tukar rupiah agar tetap sejalan dengan kondisi fundamental makroekonomi doÂmestik, dengan juga memperhaÂtikan dinamika pergerakan mata uang negara lain," ucap Agus.
Dengan perekonomian IndoÂnesia yang semakin terintegrasi dengan sistem keuangan global, dinamika nilai tukar rupiah saat ini merupakan dampak langsung dari kondisi ekonomi global yang terus mengalami pergeseran. Kebijakan moneter global saat ini, khususÂnya di Amerika Serikat, tengah memasuki era peningkatan suku bunga dan rezim kebijakan fiskal yang lebih ekspansif. ***