Larangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seputar pencantuman logo OJK pada layanan keuangan berbasis digital (financial technology/fintech) mengundang protes. Karena larangan tersebut dinilai berlawanan dengan Peraturan OJK (POJK).
Wakil Ketua Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Adrian Gunadi bilang, kelahiran fintech sudah mendapatkan restu dari otoritas keuangan melalui Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 soal Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi InforÂmasi (Peer to Peer/P2P).
Itu berarti, OJK sebagai wasit industri keuangan menyepakati aktivitas usaha fintech adalah legal atau tidak melanggar keÂtentuan. Lagi pula, pasal 35 ayat B POJK tersebut menyebutkan, perusahaan yang terdaftar harus mencantumkan logo OJK.
"Logo itu sejalan dengan POJK 77. Kalau sudah terdaftar, hukumnya harus mencantumkan logo. Dengan melarang pencantuman logo, berarti bertolak belakang dengan landasan hukum yang diterbitkan oleh OJK sendiri," protesnya di Jakarta, kemarin.
Bahkan, lanjut Adrian, penyeÂdia layanan P2P lending seharuÂnya juga mendapat perlindungan oleh asuransi penjaminan. "Hal semacam ini yang dapat didorong OJK," tukasnya.
Adrian kemudian menjelasÂkan, model bisnis dari industri layanan pinjam meminjam uang memiliki segmentasi yang berbeÂda-beda. Fintech layanan pinjam meminjam uang di Indonesia atau
peer to peer lending (P2P), ada yang fokus ke dana talangan konsumen di bawah Rp 3 juta dengan jangka waktu pinjaman kurang dari satu minggu. Ada pula dana talangan yang menÂcapai Rp 2 miliar dengan termin pembayaran sampai 12 bulan.
"Hal tersebut ditawarkan merujuk pada tingkat bunga pinjaÂman bank atau lembaga keuanÂgan lainnya. Tentu karakteristik produk dan pendekatan mitigasi risikonya berbeda untuk masing-masing layanan, sehingga inilah yang menentukan tingkat bunga pinjaman yang ditawarkan denÂgan tetap menekankan pada aksesibilitas dan kecepatan proses," tuturnya.
Adrian bilang, berdasarkan POJK 77/2016 layanan pinjam meminjam uang berbasis teknoloÂgi informasi adalah penyelenggaÂraan layanan jasa keuangan, untuk mempertemukan pemberi pinjaÂman dengan penerima pinjaman secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
"Jadi kami meminta OJK untuk mengawasi secara proporÂsional kegiatan teknologi finanÂsial, khususnya yang bergerak di usaha layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi inforÂmasi," imbaunya.
Tak hanya itu, Adrian juga menekankan, OJK perlu memÂperketat pengawasan terhadap fitur-fitur yang menentukan kesungguhan operasi dan kinerja sebuah usaha layanan pinjam meminjam uang.
"Fitur tersebut terutama meÂnyangkut tata kelola usaha yang baik melalui transparansi transaksi, manajemen risiko yang menekan rasio kredit bermasalah (nonperÂforming loan/NPL)," tuturnya.
Ia juga menilai fungsi kontrol yang baik dari pihak regulaÂtor akan otomatis menyeleksi pelaku usaha yang tidak sungÂguh-sungguh.
"Kegiatan usaha yang diatur dan dilindungi oleh regulasi OJK justru menjaga pelaku fintech dari kemungkinan menyalahguÂnakan dana masyarakat, karena penyaluran dananya dipantau melalui mekanisme perbankan. Potensi kolaborasi fintech dan institusi keuangan lainnya bahÂkan terus meningkat dalam waktu dekat," cetus CEO Investree ini.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso sebelumnya menyatakan, lembaganya saat ini tidak mengawasi kinerja fintech dalam mengelola keuangan. OJK hanya mengawasi dari sisi perÂlindungan konsumen. Masyarakat perlu waspada risikonya, terutama platform pinjaman. "Yang kami ingin dorong adalah bagaimana fintech ini transparan," ujarnya.
Seperti diketahui saat ini, seÂjumlah fintech sengaja mencanÂtumkan logo OJK saat beriklan guna memberikan konsumen rasa aman untuk menempakan dana di fintech.
"Pencantuman logo tersebut, sering kali menimbulkan kesan adanya jaminan keamanan dari OJK. Nanti tidak boleh lagi mereka (fintech) mencantumkan logo OJK. Kalau bangkrut, meÂmang OJK yang akan tanggung jawab? Itu yang akan tanggung jawab pemegang saham dan pemilik dana," tegas dia.
Berinvestasi atau menempatÂkan dana di fintech, menurut Wimboh, ibarat menaruh dana di saham. Risiko kehilangan dana sepenuhnya ditanggung oleh pemilik dana. ***