Berita

Foto/Net

X-Files

Penyidikan Distop, Kejagung Pilih Ajukan Gugatan Perdata

Kasus Menara BCA Grand Indonesia
SELASA, 27 FEBRUARI 2018 | 11:40 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Kejaksaan Agung memutuskan menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi pembangunan Menara BCA dan apartemen Kempinski di Kompleks Grand Indonesia. Kasus ini akan diselesaikan lewat jalur perdata.

Pihak yang digugat adalah PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) dan PT Grand Indonesia (GI). Kejaksaan Agung akan bertin­dak sebagai pengacara negara mewakili Kementerian BUMN dan PT Hotel Indonesia NA tour (HIN) selaku pemilik lahan Grand Indonesia.

Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung, Loeke Larasati Agoestina membenarkan rencana menggu­gat CKBI-GI. Namun jajarannya masih menghitung nilai ganti rugi yang akan dituntut kepada peru­sahaan Grup Djarum itu. "Masih diverifikasi. Jadi, saya belum tahu. Tim masih bekerja," katanya.

Sebelumnya, penyidik gedung bundar Kejaksaan Agung gagal membuktikan adanya tindak pi­dana dalam kasus pembangunan Grand Indonesia itu. Penyidikan akhirnya dihentikan.

"Sekarang kewenangannya ada di Kementerian BUMN. Kita hanya menindaklanjuti apa yang diinginkan Kementerian BUMN," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Muhammad Rum.

Menurut dia, bila Kementerian BUMN ingin memperkarakan kerjasama penggunaan lahan Hotel Indonesia Natour oleh CKBI-GI, bisa dilakukan lewat jalur perdata.

Kejagung, kata Rum, akan mengajukan gugatan perdata jika Kementerian BUMN mem­berikan surat kuasa khusus kepada Jaksa Agung selaku pengacara negara. Gugatan ini bakal ditangani jajaran Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.

Ditanya mengenai peluang menang untuk menagih dana dari CKBI-GI lewat jalur per­data, Rum tak ingin berandai-andai. Menurut dia, upaya ter­baik yang bisa dilakukan adalah lewat gugatan.

Jaksa Agung M Prasetyo men­egaskan kasus Menara BCA dan apartemen Kempinski Grand Indonesia bukan ranah pidana. "Kita menyimpulkan itu sebagai perdata," katanya.

Menurut dia, ada peluang un­tuk menangkan gugatan perdata dalam menagih dana penggunaan lahan HIN oleh CKBI-GI. Salah satu buktinya adalah ketidak­sesuaian pembangunan dengan kerja sama yang disepakati.

CKBImelalui anak perusa­haan PT Grand Indonesia (GI) menambah dua bangunan baru tanpa memberitahu HIN selaku pemilik lahan. Dua bangunan itu adalah Menara BCA dan aparte­men Kempinski.

Sesuai obyek yang tertuang dalam kesepakatan kerjasama, lahan HIN akan digunakan untuk pengembangan Hotel Indonesia, pembangunan pusat perbelanjaan Grand Indonesia (West Mall) dan East Mall, serta tempat parkir.

Akibat penambahan dua ban­gunan di luar kontrak itu neg­ara dirugikan hingga Rp 1,29 triliun. Pada 23 Februari 2016, kasus ini ditingkatkan ke pe­nyidikan dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Prin-10/F.2/ Fd.1/02/2016.

Kasus ini berawal setelah CKBI menjadi pemenang lelang pengelolaan Hotel Indonesia dan dilaksanakan perjanjian ker­jasama dengan Hotel Indonesia Natour (HIN) dengan sistem Built, Operate, and Transfer (BOT) atau membangun, men­gelola, dan menyerahkan.

Dalam kerja sama ini, CKBI bisa menggunakan lahan milik HIN untuk pengembangan Hotel Indonesia, dua pusat perbelan­jaan dan tempat parkir.

CKBI ternyata menambah dua bangunan yang diduga di luar kontrak kerja sama. Kedua ban­gunan itu adalah Menara BCA dan apartemen Kempinski.

CKBI lalu menyerahkan pelak­sanaan kerja sama BOT kepada anak perusahaannya, PT Grand Indonesia (GI). Untuk membi­ayai pembangunan, PT GImen­gagunkan Hak Guna Bangunan (HGB) Grand Indonesia ke lembaga keuangan.

Kejaksaan Agung telah me­meriksa Direktur Utama PT HIN periode 1999-2009 AM Suseto. Saat diperiksa yang kedua kali, Suseto mengakui adanya kesalahan prosedur da­lam pembangunan Menara BCA dan apartemen Kempinski. Ia menganggap pembangunan dua gedung itu ilegal.

"Saksi mengaku pembangu­nannya di luar kontrak kerja sama," kata Arminsyah, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung saat itu.

Kilas Balik
Komisaris Hotel Indonesia Natour Ungkap Kejanggalan Kontrak BOT


 Ada beberapa fakta yang jang­gal dalam kontrak kerja sama Build, Operate, Transfer (BOT) antara PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dengan PT Cipta Karya Bersama Indonesia (CKBI)-PT Grand Indonesia (GI).

Komisaris PT HIN, Michael Umbas, menyebutkan kejang­galan-kejanggalan itu ia temu­kan sejak menduduki jaba­tan petinggi di BUMN itu, November 2015.

Ia menjelaskan, dalam kontrak BOT yang ditandatangani 13 Mei 2004, disepakati empat obyek fisik bangunan di atas tanah negara HGB yang diterbitkan atas nama PT GI yakni hotel bintang 5 (42.815 m2), pusat perbelanjaan I(80.000 m2), pusat perbelanjaan II (90.000 m2) dan fasilitas parkir (175.000m2).

Namun, dalam berita acara penyelesaian pekerjaan tertang­gal 11 Maret 2009, ternyata ada tambahan bangunan yakni gedung perkantoran Menara BCA dan apartemen Kempinski, yang tidak tercantum dalam per­janjian BOT dan belum diper­hitungkan besaran kompensasi ke PT HIN.

Menurut Michael Umbas, kondisi ini menyebabkan PT HIN kehilangan memperoleh kompensasi yang lebih besar dari penambahan dua bangunan yang dikomersilkan tersebut.

Pembangunan dua gedung itu memiliki nilai ekonomis yang cukup besar sehingga setara den­gan rencana obyek BOT lainnya yang disepakati. Penambahan dua gedung ini mestinya dia­jukan sejak awal perencanaan dan tercantum dalam objek BOT. "Hal ini jelas tidak sesuai perencanaan awal yang disetu­jui kementerian BUMN," kata Umbas.

Selain itu, PT GI juga tidak kooperatif dan transparan dalam menyampaikan laporan pemeli­haraan. Tidak memberi rincian nilai biaya pemeliharaan.

Seharusnya alokasi biaya pe­meliharaan sebesar 4 persen dari nilai pendapatan pengelolaan obyek BOT, namun PT GI tidak pernah transparan terkait nilai keuntungannya. "Ini berpotensi kerugian bagi PT HIN yang akan menerima obyek BOT di kemu­dian hari," sebut Umbas.

"Masih ada sejumlah hal lain yang juga kami temukan dan sedang didalami, seperti besaran nilai kompensasi, pengalihan sepihak penerima BOT dari PT CKBI ke PT GI, terjadi penga­gunan HGB ke bank, serta yang cukup serius, terkait opsi per­panjangan BOT 20 tahun pada tahun 2010 dengan kompensasi tidak maksimal dan dilakukan jauh sebelum masa kontrak 30 tahun berakhir," jelas Umbas.

Menurut dia, fakta-fakta itu jelas memberi dampak kerugian yang besar bagi PT HIN selaku korporasi. Sebagai komisaris yang baru ditugaskan di PT HIN, Michael Umbas menilai harus ada langkah-langkah penyela­matan aset negara sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

"Kami berpendapat, dalam hal ini tentu negara selaku pemilik BUMN PT HIN tidak boleh kalah. Sehingga tidak boleh lagi ada upaya pembiaran dan peng­abaian terhadap hal-hal yang menyebabkan potensi kerugian negara secara berulang-ulang dan terjadi secara kasat mata," pungkasnya.

Pihak PT GImembantah melakukan korupsi BOT dengan PT Hotel Indonesia Natour (HIN) saat membangun empat gedung di sekitar Hotel Indonesia pada 13 Mei 2004. "Kerja sama antara HIN dengan Grand Indonesia te­lah melalui proses yang sah dan transparan," kata kuasa hukum PT GI, Juniver Girsang.

Menurut Juniver, perjanjian itu telah ditandatangani berbagai pihak. Karena itu ia menampik adanya tudingan kerugian neg­ara, saat PT GI membangun dua gedung baru di luar dari empat gedung yang disepakati. "Tudingan bahwa pelaksanaan BOT ini merugikan negara Rp 1,2 triliun akibat pembangunan Menara BCA dan apartemen Kempinski tidak benar," kata Juniver. ***

Populer

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Duit Sitaan Korupsi di Kejagung Tak Pernah Utuh Kembali ke Rakyat

Senin, 10 Maret 2025 | 12:58

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

UPDATE

Minta Maaf, Dirut Pertamina: Ini Tanggung Jawab Saya

Rabu, 12 Maret 2025 | 13:37

Perempuan Bangsa PKB Bantu Korban Banjir di Bekasi

Rabu, 12 Maret 2025 | 13:33

Perang Tarif Kian Panas, Volkswagen PHK Ribuan Karyawan

Rabu, 12 Maret 2025 | 13:25

Kabar Baik, Paus Fransiskus Tidak Lagi Terkena Serangan Pneumonia Ganda

Rabu, 12 Maret 2025 | 13:23

Pertamina: Harga Avtur Turun, Diskon Pelita Air, Promo Hotel

Rabu, 12 Maret 2025 | 13:23

Rumah Diobok-obok KPK: Apakah Ini Ujung Karier Ridwan Kamil?

Rabu, 12 Maret 2025 | 13:12

Tenaga Ahli Heri Gunawan Hingga Pegawai Bank BJB Dipanggil KPK

Rabu, 12 Maret 2025 | 13:06

KPK: Ridwan Kamil Masih Berstatus Saksi

Rabu, 12 Maret 2025 | 12:47

Raja Adil: Disembah atau Disanggah?

Rabu, 12 Maret 2025 | 12:45

Buntut Efisiensi Trump, Departemen Pendidikan PHK 1.300 Staf

Rabu, 12 Maret 2025 | 12:41

Selengkapnya