PT Garuda Indonesia (Perseroan) Tbk mencatatkan kerugian sepanjang Tahun 2017 senilai 213,4 juta dolar Amerika Serikat (AS) setara Rp 2,88 triliun. Garuda beralasan, kerugian tersebut tidak terlepas dari langkah perseroan mengikuti program pengampunan pajak (tax amnesty) dan bayar denda. Oh My God (OMG)...
Kondisi ini berbanding terbaÂlik dengan capaian perseroan di tahun sebelumnya yang masih mampu meraup laba sebesar 9,4 juta dolar AS atau sekitar Rp 126,9 miliar.
Direktur Utama Garuda InÂdonesia Pahala N Mansury mengklaim, perhitungan catatan kerugian tersebut karena adanya biaya extra ordinary items (biaya khusus) seperti tax amnesty dan denda sebesar 145.8 juta dolar AS yang merupakan long term policy manajemen dalam menyeÂhatkan kondisi finansial perusaÂhaan secara jangka panjang.
"Cost khusus ini apa? Ada yang terkait tax amnesty, dan juga karena terkena kasus hukum di Australia. Ada denda pengadilan, maka total kerugian (
net loss) yang dibukukan Garuda IndoÂnesia pada tahun kinerja 2017 sebesar 213,4 juta dolar AS," jelas Pahala di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, partisipasi pada program tax amnesty tersebut merupakan komitmen perusaÂhaan untuk menyelesaikan perÂmasalahan pajak yang tertunda sampai tahun 2015.
Dia mengakui, pada kuartal IV-2017, pihaknya hanya mampu mengantongi laba bersih sebesar 8,5 juta dolar AS atau turun 83,9 persen dari capaian laba bersih pada kuartal IV-2016 sebesar 53 juta dolar AS.
Perolehan keuntungan tersebut tak mampu menutupi kerugian di kuartal-kuartal sebelumnya. Yang mana, pada kuartal I-2017 perseroan rugi 99,1 juta dolar AS, kuartal II-2017 rugi 184,7 juta dolar AS. Padahal di kuartal III-2017, perseroan mampu menÂgantongi laba bersih senilai 61,9 juta dolar AS.
"Memang untuk laba di kuarÂtal IV-2017 lebih rendah dari laba kuartal IV-2016 lantaran melakukan efisiensi dari karyÂawan," katanya.
Belum lagi, beban total penÂgeluaran perseroan juga mengaÂlami peningkatan 13 persen dari 3,7 miliar dolar ASmenjadi 4,25 miliar dolar AS.
Ia menyebutkan, kenaikan penÂgeluaran yang paling besar berasal dari biaya bahan bakar yang naik 25 persen dari 924 juta dolar AS menjadi 1,15 miliar dolar AS.
"Biaya fuel naik cukup sigÂnifikan. Tapi, di luar biaya fuel masih bisa kita tekan. Di luar itu pendapatan kami juga terÂpengaruh dari adanya disrupsi seperti erupsi Gunung Agung yang ikut mempengaruhi jumlah penumpang," terang Pahala.
Dia menambahkan, sepanjang 2017 perseroan mampu menÂgangkut penumpang secara grup sebanyak 36,2 juta penumpan. Terdiri dari penumpang Garuda Indonesia sebanyak 24 juta, naik sedikit dari tahun sebelumnya 23,9 juta penumpang. Sementara, penumpang PT Citilink IndoneÂsia selaku anak usaha naik, naik dari 11,1 juta menjadi 12,3 juta penumpang.
Dari sisi pendapatan operaÂsi, perusahaan pelat merah ini mengalami kenaikan sebesar 8,1 persen dari 3,86 miliar dolar AS menjadi 4,17 miliar dolar AS.
"Pendapatan itu paling besar masih disumbang dari penerbanÂgan berdjawal sebesar 3,4 miliar dolar AS. Kalau dari lini layanan penerbangan tidak berjadwal sebesar 301.5 juta dolar AS atau naik 56,9 persen," imbuhnya.
Selain itu, sektor pendapatan lainnya (pendapatan di luar bisÂnis penerbangan &
subsidiaries revenue) turut naik 20,9 persen dengan pembukuan pendapatan 473.8 juta dolar AS.
Pahala berharap, tahun ini perseroan masih bisa mencatatÂkan perbaikan kinerja. Salah satu caranya, dengan me-
review kembali rute-rute penerbangan yang telah dilayani selama ini.
"Kami akan lihat kembali rute mana yang masih memberikan kontribusi kurang maksimal. Tapi bukan berarti ditutup, bisa juga kita cari kerja sama dengan pihak lain," tandasnya.
Kesalahan ManajemenPengamat penerbangan Alvin Lie menilai, kerugian yang dialaÂmi maskapai pelat merah ini perlu dilihat baik dari aspek industri penerbangan itu sendiri, tren perÂsaingan bisnisnya, maupun aspek internal seperti konsolidasi yang terjalin dengan awak pesawat, ataupun pekerja terkait lainnya.
Apalagi, menurut Alvin, jajaÂran direksi yang menjabat saat ini terhitung baru, sehingga masih membutuhkan masa tranÂsisi dalam kepengurusan manÂagemennya.
"Kalau ruginya karena ada tax amnesty, masih maklum. Tapi kalau yang terkena denda itu kan berarti ada kesalahan manajemen. Yang terpenting, bukan untung ruginya, tapi bagaimana langkah perbaikan yang telah dilakukan bisa meningkatkan pendapatan," kata Alvin saat dihubungi
Rakyat Merdeka. ***