Federasi Industri Kimia Indonesia (FIKI) meminta pemerintah campur tangan dalam penetapan harga gas bumi. Jika harganya diserahkan ke mekanisme pasar, industri nasional sulit bersaing menghadapi negara tetangga di pasar global. Sebab itu Perpres 40/2016 kudu segera diterapkan untuk mendongkrak daya siang industri.
Direktur Eksekutif FIKI, Suhat Miyarso mengatakan, industri nasional tidak akan maju kalau pemerintah tidak campur tangan. Dia berharap, pemerintah konkret mendukung dan berpihak kepada industri. Selain meningkatkan daya saing, negara akan diuntungkan atas penerimaan pajak.
"Harus ada campur tangan peÂmerintah dalam penetapan harga gas bumi, dan harganya terjangÂkau," ujarnya dalam Outlook Industri Kimia Indonesia 2018 bertema Prospek Ketersediaan Gas Bumi dalam Rangka MenÂingkatkan Daya Saing Industri Kimia di Jakarta, kemarin.
Suhat menyebut pemanfaatan gas bumi sebagai bahan baku industri kimia sangat vital. Begitu pula peran gas bumi sebagai energi dalam industri pupuk, petrokimia, keramik, kaca, semen, logam, glassÂware, dan sarung tangan karet.
Suhat mencontohkan, industri pupuk belum bisa meningkatkan daya saing meski mendapat harga gas 6 dolar AS per
Million Metric British Thermal Unit (MMBTU). Idealnya, harga gas untuk indusÂtri berkisar 3,5-4 dolar AS per MMBTU untuk dapat untung.
Dia meminta pemerintah sungguh-sungguh menjalankan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, dan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 jika ingin meningkatkan daya saing industri.
Hingga kini, baru industri puÂpuk dan baja yang mendapat harÂga 6 dolar AS per MMBTU sesuai Perpres 40/2016. Sedangkan inÂdustri lainnya, seperti petrokimia, semen, keramik, kaca, glassware, logam dan sarung tangan karet masih membeli gas bumi dengan harga bervariasi, antara 9-10 dolar AS per MMBTU.
"Harga yang masih tinggi, industri nasional kesulitan bersaÂing dengan industri sejenis dari Malaysia, Singapura dan ThaiÂland. Industri di negara tersebut memperoleh harga gas sekitar 4 hingga 5 dolar AS," keluhnya.
Suhat meminta lumbung minÂyak baik di Tangguh, Masela, atau di laut dalam lainnya segera dieksploitasi. Hasilnya dimanÂfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan industri lokal, bukan justru diekspor.
Dirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) KemenÂterian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono terus beruÂpaya menaikkan penggunaan gas bumi untuk industri. Selain lebih bersih, nilai tambah yang didapat juga tinggi.
Sigit menjelaskan peran gas bumi dalam industri. Di industri petrokimia, gas bumi berperan sebagai bahan baku dan bahan baÂkar. Sebagai bahan bakar, industri petrokimia butuh 1.000
Million Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD) dari total kebutuhan industri 2.300 MMSCFD.
"Pemanfaatannya bisa mencaÂpai 50 persen dari produksi gas nasional. Ini kita tingkatkan lagi sampai 60 persen, sisanya untuk ekspor," ujar Sigit.
Dia mengatakan, harga gas untuk industri tertentu hanya 6 dolar per MMBTU. Namun saat ini harganya bervariasi. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur bisa mencapai 7-8 dolar per MMBTU, sedangkan di Sumatera, berkisar 9-12 dolar AS per MMBTU.
Sigit mengatakan, sesuai PerÂpres 40/2016 harga gas di
wellÂhead hanya 6 dolar AS per MMBÂTU. Sedangkan di plain gate, tidak lebih dari 6 dolar plus 1 atau 1,5 dolar per MMBTU.
Sigit mengungkapkan, keÂmenterian terkait terus berupaya mengefisiensikan harga gas, muÂlai dari hulu, hilir, hingga sekÂtor industri. Di hulu, sudah ada yang menjual 2-4 dolar AS per MMBTU. Kementerian ESDM juga sudah menyiapkan regulasi untuk membuat harga lebih terÂjangkau.
Dia berharap harga gas bisa tuÂrun tahun ini. Jika tidak, industri lokal akan kehilangan momenÂtum. Selain itu, industri yang menyerap gas memiliki daya saÂing kuat di pasar global. "Industri keramik kita itu nomor empat di dunia, tapi sekarang turun jadi nomor tujuh. Itu disebabkan ngÂgak bisa kompetitif, karena harga gasnya tinggi," tuturnya.
Sigit membeberkan tidak sedikit industri lokal gulung tikar karena harga gas, seperti industri pupuk di Aceh tidak lagi beroperasi karena gasnya tidak ada. Industri sarung tangan karet banyak yang nggak punya gas akhirnya pindah ke Malaysia dan Thailand. Padahal sebelumnya, Indonesia pemain nomor wahid di dunia.
"Sekarang sudah ada empat pabrik keramik tutup. Pabriknya diberhenÂtikan karena harga gasnya tidak bisa meng-
cover daya saing. Secara keseluruhan industri menurun, kaÂlau dari utilisasi, keramik turun 10 persen," pungkasnya. ***