Pengusaha mengeluhkan masih mahalnya harga energi di dalam negeri, mulai dari listrik hingga gas industri. Pemerintah pun diminta segera menyediakan energi yang murah untuk industri agar produksi dan daya saing dapat meningkat.
Ketua Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) Christine Halim mengungkap, banyak pebisnis skala menengah yang mengeluhkan ketersediaan listrik. "Banyak dari kami tentu saja tidak mampu memakai suÂplai listrik premium yang mahal, sementara listrik butuh banyak untuk penambahan produksi," ujar Christine, kemarin.
Direktur Utama PT Langgeng Jaya Plastindo ini mengataÂkan, selama ini industri plastik daur ulang cukup berprestasi di bidang ekspor. "Kami puÂnya sekitar 280 anggota yang mengekspor mulai dari BanglaÂdesh, Eropa Timur dan China," kata Christine.
Di lain pihak, industri keramik menyoroti wacana penurunan harga gas yang tak kunjung terjadi. Elisa Sinaga, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengharapkan ada solusi agar harga gas bisa mempengaruhi kompetisi industrinya baik di dalam dan luar negeri.
"Sebab saat ini saja impor keramik mulai marak. Setelah bea masuk mereka berkurang Impor berkemungkinan tumÂbuh hingga 40 persen," terang Elisa.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang FilaÂmen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, daÂlam beberapa tahun ini pihaknya merasa minim dukungan dari pemerintah untuk meningkatkan daya saing. "Berapa banyak kebijakan ekonomi dibuat, tidak banyak yang bisa terimplemenÂtasi sehingga tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan daya saing," ujarnya.
Menurut dia, tanpa meningÂkatkan daya saing dan insentif mustahil ekspor bisa bersaing. "Jadi selama pemerintah masih fokus bangun infrastruktur, anÂdalan kita pasar domestik, kalau mau tetap dorong ekspor itu perÂmasalahan energi, transportasi dan lainnya harus diselesaikan dulu," jelas Redma.
Redma menambahkan, merebut pasar lokal juga buÂkan pekerjaan mudah. PasalÂnya Kementerian Perdagangan (Kemendag) justru getol ingin membuka keran mempermudah impor dengan alasan bahan baku untuk Industri Kecil Menengah (IKM) dan meningkatkan ekÂspor. "Alhasil kinerja industri hulu dan antara kian terpojok, bahkan tidak sedikit yang tutup," jelas Redma.
APSyFI berpendapat, penÂgendalian impor sangat pentÂing bagi industri dalam negeri untuk mendapat pasar domestik sebelum melangkah ke pasar ekspor.
"Semester 2 tahun lalu kinerja industri sangat terbantu oleh gebrakan Kementerian KeuanÂgan yang menghentikan impor borongan, penjualan lokal kita langsung melonjak," jelasnya.
Sementara Asosiasi PerteksÂtilan Indonesia (API) berharap, pemerintah konsisten dalam meÂnetapkan kebijakan untuk sektor industri kimia, tekstil dan aneka (IKTA). Dengan kebijakan yang mendukung industri, produk inÂdustri dalam negeri akan mampu bersaing di pasar global.
"Contohnya soal insentif jika ada perluasan usaha, saat ini implementasi dari peraturan tersebut belum terasa," kata Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Luar Negeri AP I Anne Patricia Sutanto.
Pihaknya jugaa menekankan soal pentingnya menerapkan harga gas yang lebih kompetitif. "Pemakaian gas sangat banyak diserap oleh industri hulu kami," ungkap Anne.
Ia mengatakan, untuk pabrikan pakaian jadi (garmen) kebanyaÂkan menggantungkan energi dari listrik. "Kami juga berharap kualitas layanan dan listrik dari PLN lebih baik lagi. Cost kami juga besar di sana, diharapkan jangan ada pengaturan tarif beÂban puncak," beber Anne.
Anne yang juga menjabat sebagai Vice President Director PT Pan Brothers Tbk (PBRX) menyebutkan industri tekstil Indonesia memiliki orientasi ekspor yang besar mulai dari Amerika Serikat (AS) hingga Eropa. "Sekarang kami berusaha mengejar agar free trade agreeÂment bisa sejajar dengan komÂpetitor, Vietnam," imbuhnya.
Direktur Jenderal IKTA KeÂmenperin Achmad Sigit DwiÂwahjono berharap, pengemÂbangan Blok Masela dapat terealisasi secepatnya agar harÂga gas industri bisa bersaing. Sayangnya, sampai saat ini belum mendapatkan titik temu antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan investor.
"Tiga investor tersebut antara lain Sojitz, Elsoro Multi Pratama dan Indorama. ESDM mintanya 5,8 dolar AS per mmbtu, semenÂtara investor seperti Sojitz inginÂnya 4 dolar AS," katanya.
Ia menambahkan, tiap tahunÂnya industri tekstil, khususnya garmen bisa tumbuh 5-6 persen. "Kalau FTA (
Free Trade AgreeÂment) dengan AS dan Eropa jadi tahun ini, pertumbuhannya bisa sampai 7 persen," imbuhnya.
Kementerian Perindustrian mencatat sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) meÂnyumbang produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 150,43 triliun. Nilai ekspor sektor ini mencapai 12,58 miliar dolar AS atau sekitar Rp 168,5 triliun di 2017. ***