Berita

Publika

Saatnya Media Bongkar Pencitraan

MINGGU, 18 FEBRUARI 2018 | 06:46 WIB

SALAH satu tugas media adalah membongkar pencitraan, bukan malah melulu menjadi agen pencitraan. Itulah yang seharusnya terjadi di negeri ini. Terlebih media mainstream (arus utama).   

Sayangnya, yang terjadi sebaliknya. Beberapa media  arus utama malah sibuk  menjadi rezim pencitraan itu sendiri. Media, sadar atau tidak malah (maaf) “melacurkan” diri sekadar menjadi media partisan. Tentu saja, publik tak ingin media memainkan peran seperti ini.

Apa akibatnya ketika media malah berperan sebagai partisan? Kita akan melihat potensi media sekadar menjadi sarana pembenaran penguasa, tidak hadir fungsi kontrol di dalamnya.


Kritik tak hadir, yang ada hanya puja pujian. Pada titik ini, media terjebak untuk malah menjadi semacam humas pemerintah? Tentu saja pemandangan ini menjadi wajah buruk media kita.

Media, seperti kata Eriyanto (2007) dalam “Analisis Framing”, terjebak melakukan framing untuk membentuk konstruksi yang manipulatif.

Pencitraan yang Membosankan

Di level kekuasaan, saya melihat, semakin mendekati tahun politik, pencitraan yang dihadirkan semakin membosankan. Hanya seputar “kulit”, tak ada “isi”. Contoh nyatanya bagaimana media heboh memberitakan Jokowi yang menginap di hotel murah, saat berkunjung ke tempat tertentu memayungi dirinya sendiri saat gerimis datang, berkunjung ke daerah hanya minta suguhan tahu tempe.

Singkat kata, pencitraan yang ingin ditampilkan masih seputar sosoknya yang dinilainya sederhana dan merakyat. Yang menjadi persoalan, sang tokoh sudah berkuasa Bung, bukan kampanye lagi. Pencitraan demikian, sungguh membosankan. Sederhana dan merakyat itu penting. Tapi terus menerus dikesankan sederhana dan merakyat, sementara kebijakan politiknya banyak yang bertolak belakang, tentu saja  sangat membosankan.

Pencitraan yang paling menonjol, yang mungkin boleh dikatakan “isi” misalnya soal infrastruktur. Tapi, tetap saja, hal ini tidak konsisten dengan janji dan jargon kampanye yang mengusung “Revolusi Mental”.

Jelas, sesuai jargonnya, meminjam istilah Rocky Gerung (Dosen Filsafat UI), kita membutuhkan “Jalan Pikiran” daripada “Jalan Tol”. Pembangunan fisik yang digembar-gemborkan bahkan sangat kontraproduktif dengan janji kampanye yang menekankan pada pembangunan mental atau Sumber Daya Manusia (SDM). Sayangnya, media seolah tutup mata dengan beragam pencitraan demikian.

Pukulan Balik

Para perancang pencitraan presiden mungkin bekerja siang malam. Mencitrakan tuan presiden yang sederhana dan merakyat. Tapi, kalau sampai “Overdosis”, yang terjadi justru sebaliknya. Bisa menjadi pukulan balik.

Apa gunanya citra merakyat dan sederhana. Suka blusukan di sawah, sementara beras masih impor, BBM terus naik, listrik terus naik, sementara daya beli masyarakat tak pernah ada usaha perbaikan menjadi lebih baik?

Dalam kajian media, kondisi demikian bisa dijelaskan lewat konsep Simulakra.  Konsep lawas tapi masih cukup relevan. Diperkenalkan oleh Jean Baudrilard dalam Simulations (1983), dikatakan bahwa simulakra, ia semacam mesin yang memproduksi segala yang palsu, menyimpang dari rujukan dengan menciptakan tanda sebagai topeng, tabir, kamuflase atau fatamorgana. Menggiring dunia politik ke arah “Penopengan realitas”.  

Memperbarui konsepnya, Baudrillard dalam “Simulacra and Simulations” (1994) menyebut simulasi bukan lagi cermin atau representasi, tetapi pembangkitan melalui model real tanpa asal usul atau realitas.

Inilah yang terjadi saat ini. Pertanyaannya, apakah pencitraan Jokowi dengan model demikian akan berhasil? Jawabannya adalah tidak. Pencitraan demikian akan runtuh, asalkan muncul narasi yang kuat dan meyakinkan  sebagai kontra (tandingan).

Di level ini, tugas media yang kritis, bukan media yang partisan menjadi sangat penting. Media, alih-alih menjadi humas pemerintah, seharusnya bertugas membongkar topeng dan pencitraan yang sudah sangat jauh dari realitas. Itulah tugas media.

Tahun politik seharusnya menjadi momentum media membongkar pencitraan.  Tujuannya, menghadirkan publik yang kritis, membangun kesadaran warga (pemilih) untuk tak lagi tertipu dengan janji dan citra palsu. Di ranah kajian media Islam, inilah tugas profetik media yang perlu terus digairahkan.[***]


Yons Achmad

Kolumnis. Pengamat media. Founder Kanet Indonesia

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya