Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait penggunaan hak angket DPR. Dalam putusanÂnya, MK menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masuk dalam objek hak angket DPR, karena termasuk bagian dari eksekutif.
Putusan MK itu diketuk setÂelah pendapat sembilan hakim MK terbelah. Lima hakim meÂnyatakan menolak permohoÂnan pemohon dan menyatakan hak angket KPK yang dibentuk DPR adalah sah. Kelima haÂkim itu adalah hakim Anwar Usman, Aswanto, Wahiduddin Adams Manahan MP Sitompul, serta Ketua MK Arief Hidayat. Sementara, empat hakim konÂstitusi lainnya menyatakan disÂsenting opinion atau memiliki pendapat berbeda. Mereka adaÂlah; Hakim Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra dan Suhartoyo.
Kalangan aktivis antikoruÂpsi berpendapat putusan MK sebagai bukti adanya dugaan main mata antara Ketua MK Arief Hidayat dengan sejumlah anggota DPR pendukung hak angket, sesaat sebelum Hakim Arief mengikuti proses uji keÂlayakan dan kepatutan terkait pencalonannya kembali sebagai hakim konstitusi di DPR.
Dalam pertemuan itu Arief diduga memberikan janji kepada sejumlah anggota dewan jika dia terpilih lagi sebagai ketua MK, maka dia akan meloloskan uji materiil terkait hak angket KPK. Dalam pemeriksaan oleh Dewan Etik, Hakim Arief terÂbukti pernah bertemu dengan sejumlah pimpinan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, hingga akhirnya dia diber sanksi ringan oleh Dewan Etik.
Sebelum keputusan uji materi terkait hak angket ini banyak kalangan meminta Hakim Arief mundur dari MK. Lantas apa tanggapan KPK terkait dengan putusan MKtersebut? Berikut pernyataan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang kepada
Rakyat Merdeka :
Tanggapan Anda soal kepuÂtusan MK yang menolak perÂmohonan uji materiil yang diajukan pegawai KPK? Hidup itu memilih dan dipiÂlih, dengan voting score 4:5 (perbandingan jumlah hakim MKsaat memutus uji materiil hak angket KPK) tersebut, itu sistem pengambilan keputusan yang dimiliki negara ini.
Sehingga score seperti itu tidak untuk diperdebatkan di publik, hanya nanti akan kita lihat apakah hal itu akan menÂdorong perubahan menuju yang kita harapkan atau tidak secara umum kita lihat saja nanti. Tapi pastinya kita selalu berharap agar negeri ini semakin bersih. Tapi apakah dengan itu kita tidak bisa mengisi gap impian dan kenyataan? Bisa jadi ...
thats parts of the life? Banyak pihak yang menÂgaitkan keputusan MK itu dengan kasus pertemuan Ketua MK Arief Hidayat denÂgan sejumlah anggota Komisi III DPR pendukung hak angÂket. Apa tanggapan KPK? Biarkanlah isu itu milik pubÂlik dan KPKtidak dalam posisi memperdebatkan itu di ruang publik. Itu bukan tugas KPK, karÂena KPK digaji untuk membawa koruptor ke pengadilan dengan prudent, independen, firm dan berani. Siapapun mereka.
Tapi menurut Anda sendiri apakah KPK ini masuk menÂjadi bagian dari eksekutif atau tidak sih? Kita harus belajar trias poliÂtika lagi ini kayaknya, dan ini bukan soal pilihan. Ini soal tata administrasi negara yang sudah kita pahami sejak awal KPK didirikan itu tidak diperÂdebatkan. Tapi mengapa debat itu muncul tiba-tiba, seolah seperti petir dilakukan sekarang. Apakah karena kita belum deÂwasa mengintegrasikan pikiran filosofi dan pilihan tadi dan seolah terseret dalam perkemÂbangan kelompok kepentingan, sehingga seolah ini apa kata seseorang atau kelompok. Saya enggak mau masuk di situ karena ini soal yang sederhana saja tapi terkesan dibuat rumit.
Lantas dari keputusan MK ini apa yang akan diperbuat KPK? Kalau mau buat KPK menÂjawab impian semua rakyat Indonesia agar perform dan ceÂpat membawa rakyat Indonesia sejahtera sebagaimana tujuan awal KPK, tentunya KPK bisa di-
check and balance di Komisi III DPR . Jadi ini sebenarnya bukan soal eksekutif, legislatif dan Yudikatifnya. Ini soal check and balancenya. Law maker itu legislatif. Tapi apakah semua undang-undang yang dibuat legislatif bisa jadi, tanpa campur tangan eksekutif ? Demikian juga dengan yudikatif mereka melakuÂkan
share the value, sehingga tidak dominan satu atas yang lainnya. Itulah rohnya
check and balance. Jangan tanya value apa yang harus di-share? Kita sudah tahu semua atau kita harus duduk dulu? Mari kita duduk dengan egaliter dan melakukan konsenÂsus dari awal lebih dulu, bukan dengan gerakan petir. Seolah negeri ini mau kiamat. Jangan takut! Itu kata kuncinya.
Soal lain. Belakangan makin banyak kepala daerah terjarÂing operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Banyak kepala daerah nekat melakuÂkan korupsi hanya untuk memenuhi mahar politik. Tanggapan Anda? Untuk kasus itu, memang menurut penelitian yang telah dilakukan oleh KPK, hal terseÂbut ada hubungannya. Namun sejauh apa pengaruhnya, secara metode riset perlu didalami, seberapa kuat pengaruh mahar itu? Karena bisa jadi juga ini bukan soal mahar, tapi soal inÂtegritas yang tidak setia.
Itu dapat kita lihat dari fakta-fakta dari proses sehingga perisÂtiwa pidana korupsi itu terjadi. Lebih kepada soal integritas yang tidak sustain, tidak konsisÂten, rapuh, lemah, tidak punya pendiriian, gaya hidup dan lain-lain. ***