Jaringan Mahasiswa Anti Korupsi (Jamak) mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melaporkan dugaan korupsi pada proyek pembangunan kapal baru, Senin kemarin (5/2).
Menurut Ketua Presidium Jamak Yongki Ari Wibowo, proyek Kerja Sama Operasi (KSO) yang melibatkan PT Dok & Perkapalan Koja Bahari, Persero (DKB) dengan PT Krakatau Shipyard (KS) dalam pembangunan kapal baru berpotensi merugikan negara sekitar Rp 2.365.190.000. Berdasarkan berita acara pemeriksaan (BAP) yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2017.
"Potensi kerugian negara tersebut berasal dari pembayaran UUDP kepada PT KS yang berpotensi merugikan pembagian sharing kepada PT DKB jika tidak dikompensasi sebagai biaya fasilitas," bebernya.
Yongki menjelaskan, dalam perjanjian tersebut diputuskan antara lain membentuk kemitraan KSO secara bersama dengan nama KSO DKB-KS, dan menunjuk PT DKB sebagai perusahaan utama kemitraan/KSO dan mewakili serta bertindak untuk dan atas nama KSO. Sedangkan keikutsertaan modal adalah PT DKB sebesar 55 persen dan PT KS 45 persen.
Masing-masing peserta anggota KSO juga akan mengambil bagian sesuai sharing dalam hal pengeluaran, keuntungan dan kerugian dari KSO. Selain itu, anggota KSO juga akan melakukan pengawasan penuh atas semua aspek pelaksanaan dan perjanjian, termasuk hal untuk memeriksa keuangan, perintah pembelian, tanda terima, daftar peralatan dan tenaga kerja, perjanjian subkontrak, surat menyurat dan lain-lain. Namun berdasarkan hasil pemeriksaan BPK diketahui bahwa pembagian biaya dan sharing laba/rugi KSO tidak memiliki dasar perhitungan.
"Pada hasil pemeriksaan dokumen tersebut juga tidak ditemukan dasar perhitungan penerimaan antara kedua belah pihak dari pembangunan kapal baru di KSO," ujarnya.
Ironisnya, terkait pembentukan dan sharing KSO, direktur komersial PT DKB saat itu mengungkapkan bahwa tidak ada dasar perumusan sharing 55 peraen dan 45 persen. Selain itu, KSO juga dibentuk tanpa adanya setoran modal, sedangkan sharing hanya berdasarkan semangat saling melengkapi untuk maju bersama.
Sementara untuk marketing fee sebesar dua persen ke PT KS adalah hasil perundingan antara PT DKB dan PT KS. Kemudian biaya fasilitas sebesar tiga persen per proyek adalah biaya pemakaian lahan galangan dan lokasi peluncuran. Untuk peralatan seperti forklift, crane dan lain-lain disewa sendiri oleh KSO yang biayanya diperhitungkan sebagai bagian biaya fasilitas.
"Dari isi perjanjian yang dilakukan PT DKB dan PT KS dengan keterangan sebagaimana tertera dalam BAP ditemukan adanya perbedaan yang berpotensi menimbulkan kerugian negara. Untuk itu, aparat penegak hukum diminta menindaklanjuti temuan BPK tersebut," tegas Yongki dalam keterangannya.
[nes]