Kejaksaan Agung menggeledah kantor pusat Bank Mandiri di Jakarta dan kantor cabang di Bandung, Jawa Barat. Upaya ini untuk mengumpulkan bukti tambahan kasus korupsi pemberian kredit kepada PT Tirta Amarta Bottling (TAB).
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung, Warih Sadono membenarkan telah menggeledah bank pelat merah itu. "Ini dalam rangkaian penyidiÂkan kasus PTTAB," katanya.
Sebelumnya, tim penyidik geÂdung bundar Kejaksaan Agung menggeledah kantor Tirta Amarta Bottling, perusahaan yang memproduksi air minum kemasan itu di Bandung.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Adi Togarisman berharap dari pengumpulan bukti tambahan ini bisa menelusuri keterlibatan pihak lain. "Penelusuran pihak lainnya seÂdang dilakukan. Kita kumpulkan bukti-buktinya," katanya.
Bekas Jaksa Agung Muda Intelijen itu mengungkapkan sejumlah bukti yang diperoleh dari penggeledahan masih diteÂlaah. "Masih dipilah-pilah oleh penyidik. Dokumen-dokumen mana saja yang bisa dijadikan sebagai alat bukti tambahan," kata Adi
Dalam pengusutan perkaraini, penyidik telah menetapkanemÂpat tersangka. Tiga dari kalangan Bank Mandiri Cabang Bandung yakni Surya Baruna Semenguk (
Manager Commercial Banking), Frans Eduard Zandra (
Relationship Manager) dan Teguh Kartika Wibowo (
Senior Credit Risk Manager).
Satu lagi dari pihak debitur, yakni Direktur Tirta Amarta Bottling Rony Tedy. Rony telah dijebloskan ke Rutan Kejaksaan Agung sejak 24 Januari 2018 lalu. Adapun tiga pejabat Bank Mandiri belum ditahan. Adi mengatakan ketiga tersangka itu diduga menyalahgunakan weÂwenang. "Prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit diabaiÂkan tersangka," katanya.
Akibatnya, kredit yang diberikan kepada Tirta Amarta Bottling macet dan menyebabkan kerugian Rp 1,4 triliun.
Penyidik tengah menelusuri dugaan ketiga pejabat Bank Mandiri itu melakukan kesengajaandan berkolusi dengan debitur agar meloloskan permohonan tambahan kredit. "Ini masih kita kembangkan perkaraÂnya. Bagaimana konspirasi pembobolan dilaksanakan oleh para tersangka," kata Adi.
Untuk itu, penyidik akan mendalami lagi proses proses pengajuan kredit, analisa, hingga turunnya persetujuan pemberian pinjaman kepada Tirta Amarta Bottling.
Menurut Adi, penyidik menduga penyimpangan terjadidalam setiap proses itu. Sebelum memberikan kredit, Bank Mandiri tentu mempertimbangÂkan berbagai faktor. Di antaranya kelayakan debitur, risiko pembeÂrian kredit hingga penghitungan aset perusahaan yang dijadikan sebagai jaminan kredit.
Jika mencermati besarnya pinÂjaman yang dikucurkan kepada Tirta Amarta Bottling, diduga ada konsultasi dan persetujuan dari kantor pusat. "Kemungkinan tidak diproses di tingkat cabang saja," kata Adi.
Namun dia tak bersedia meÂnyebutkan siapa pihak di kantor pusat yang memberikan persetuÂjuan kredit itu. Adi berdalih penyidikan masih dikembangÂkan. "Kita lihat nanti hasilnya," katanya.
Sejauh ini, penyidik sudah mendapatkan bukti-bukti peÂnyimpangan penggunaan dana pinjaman yang diterima Tirta Amarta Bottling.
Kilas Balik
Debitur Rekayasa Laporan Keuangan Dan Gelembungkan Nilai Agunan
Kejaksaan Agung mengusut peran sejumlah pejabat Bank Mandiri Cabang Bandung dalam pemberian kredit kepada PT Tirta Amarta Bottling (TAB) Company. Perusahaan yang memproduksi air minum keÂmasan itu memiliki kredit macet mencapai Rp 1,4 triliun.
"Penanganan perkara masih dilanjutkan," tandas Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, M Rum.
Penyidikan kasus ini tak berhenti setelah Rony Tedy, Direktur PT TAB ditetapkan sebagaiterÂsangka. Penyidik gedung bundar Kejaksaan Agung masih menelusuri keterlibatan pihak lain.
Sejumlah pejabat Bank Mandiri Cabang Bandung bakal diperiksa. Mulai dari pejabat yang menangani permohonan kredit PT TAB hingga yang memberikan persetujuan penÂgucuran dana. Termasuk peran analis dalam proses penelaahan permohonan kredit PTTAB. "Tanggung jawab para analis akan diklarifikasi," kata Rum.
Beberapa pejabat Bank Mandiri Cabang Bandung yang lebih dulu diperiksa adalah Deru Widyarto (
Wholesale Credit Risk Head) dan Ferisa Kawun (
Senior Credit Risk Manager).
Keduanya diperiksa pada Rabu, 11 Oktober 2017. Mereka mengakui adanya upaya restrukÂturisasi kredit PT TAB yang berÂstatus kolektibilitas V atau macet sejak 21 Agustus 2016.
Dari pemeriksaan para saksi itu, penyidik akan menyimpulÂkan siapa pihak lain yang juga terlibat dalam kasus ini. "Nanti hasilnya akan disampaikan. Tunggu saja," ujar Rum.
Kasus ini ditingkatkan ke penyidikan pada 11 September 2017 lalu dengan diterbitkannyaSurat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Nomor: Print-64/F.2/Fd.1/09/2017.
Sebulan melakukan penyidikan, Direktur Penyidikan pada JAM Pidsus menerbitkan surat perintah penyidikan khusus nomor: Print-80/F.2/Fd.1/10/2017. Dalam surat perintah tertanggal 19 Oktober itu menetapkan Rony Tedy, Direktur PT TAB sebagai tersangka.
Sejak awal Oktober, Kejaksaan Agung sudah meminta agar Rony Tedy dicegah ke luar negeri. Pencegahan ini untuk memÂpermudah penyidik memanggil yang bersangkutan.
Kasus kredit macet bermuÂla pada 15 Juni 2015, ketika Direktur Direktur PT TAB menÂgajukan perpanjangan dan tamÂbahan fasilitas kredit kepada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Commercial Banking Center Bandung berdasarkan surat noÂmor: 08/TABco/VI/2015
Perpanjangan seluruh fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) sebesar Rp880,6 miliar, perpanjangan dan tambahan plafon LC sebesar Rp40 miliar sehingga total plafon LC menjadi Rp 50 miliar. Serta fasiliÂtas Kredit Investasi (KI) sebesar Rp 250 miliar selama 72 bulan.
Dalam dokumen pendukung permohonan perpanjangan dan tambahan fasilitas kredit terdapat data aset PTTAB yang tidak beÂnar. Nilai asetnya digelembungkan. "Modusnya, dengan cara memberikan nilai aset yang dijaminkan," sebut Rum.
Sehingga berdasarkan nota analisa pemutus kredit Nomor CMG.BD1/0110/2015 tanggal 30 Juni 2015, seolah-olah konÂdisi keuangan debitur PT TAB menunjukkan perkembangan. Akhirnya perusahaan itu bisa memperoleh perpanjangan dan tambahan fasilitas kredit pada 2015 sebesar Rp1,170 triliun.
Selain itu, debitur PT TAB juga telah menggunakan uang fasilitas kredit sebesar Rp73 miliar untuk keperluan lain. Padahal, sesuai perjanjian dari pinjaman Bank Mandiri itu digunakan untuk kepentingan KMK dan KI.
"Akibatnya telah merugikan keuangan negara Rp 1,4 triliun yang terdiri dari pokok, bunga dan denda," kata Rum. ***