Kejaksaan Agung meminta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) untuk menelusuri aliran kasus korupsi pembangunan T-Tower.
Dari penelusuran ini, kejakÂsaan bisa mengendus pihak yang menikmati duit pembayaran dari Bank Jabar Banten (BJB) untuk pemesanan ruang kantor di T-Tower. Juga bisa mengungÂkapkan siapa pihak yang berada di belakang PT Comradindo Lintasnusa Perkasa.
"Kita sudah minta bantuan PPATK untuk kasus ini dan saat ini sedang ditelusuri," kata Jaksa Agung Muhammad Prasetyo.
Perkembangan terbaru kasus ini, Kejaksaan Agung telah meÂnetapkan Tri Wiyasa, Direktur Utama Comradindo Lintasnusa Perkasa. Usai pemeriksaan, peÂnyidik gedung bundar Kejaksaan Agung langsung menjebloskan Tri Wiyasa ke rutan.
Dalam proyek T-Tower, Comradindo Lintasnusa Perkasa bukanlah pemilik lokasi dan pelakÂsana pembangunan. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa teknologi informasi itu hanya berÂtindak sebagai agen pemasaran.
Pemilik lokasi dan pelaksana pembangunan T-Tower adalah PT Sadini Arianda. Berdasarkan hasil penelusuran, Comradindo dan Sadini Arianda berkantor di gedung sama: Graha Metro di Jalan Penjernihan I Nomor 8, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.
Kedua perusahaan juga meÂnempati lantai yang sama di gedung milik Titus Soemadi itu. Anak Titus, Flavius Joanna menÂjabat komisaris di Comradindo. Flavius sempat dipanggil diperiksaKejaksaan Agung pada 2 Juli 2013.
Berdasarkan penyidikan Kejaksaan Agung, duit hasil pembayaran dari BJB untuk pemesanan ruang di T-Tower digunakan Comradindo untuk membeli saham Sarini Arianda dan membayar utang Sadini Arianda kepada pihak ketiga.
Penyidik Kejaksaan Agung sudah mengantongi bukti tranÂsaksi itu yakni addendum akte perjanjian jual beli tanggal 31 Agustus 2012 yang dibuat di hadapan notaris.
Transaksi Comradindo denÂgan PT Sadini Arianda mencapai Rp 224,99 miliar. Transaksi itu diduga menggunakan uang hasil pembayaran uang muka pemeÂsanan kantor BJB di T-Tower.
Dalam dakwaan perkaraWawan Indrawan, bekas Pimpinan Divisi Umum BJB, jaksa penuntut umum (JPU) sempat menyinggung transaksi itu.
Bahkan saat pemeriksaan terÂdakwa di persidangan, Wawan sempat dimintai konfirmasi mengenai transaksi Comradindo dengan Sadini Arianda.
Wawan mengungkapkan Comradindo dan Sadini adalah pihak yang sama. Ia pun membeberkan setelah menerima uang muka pembayaran pemesanan kantor BJB di T-Tower Rp217 miliar, Comradindo lalu mentransfer dana itu ke Sadini Arianda.
Hal ini diketahui dari catatan transaksi rekening Comradindo di BJB yang dipakai untuk menerima pembayaran uang muka.
"Masalah uang mau dipakai apa, sudah masuk ke rekening penggunanya (Comradindo), itu haknya mereka, karena yang kami beli ini adalah gedung," kata Wawan di persidangan.
Kasus korupsi ini bermula dari rencana BJB memiliki kantor cabang di Jakarta. Mereka pun membuka penawaran. Sadini Arianda lalu menawarkan lahan di Jalan Gatot Subroto Kavling 93, Pancoran, Jakarta Selatan.
Tawaran ini ditolak.Belakangan, muncul Comradindo yang menawarkan gedung T-Tower dengan status kepemilikan strata titel. Gedung bergaya artÂdeco itu akan dibangun di lokasi tanah yang pernah ditawarkan Sadini Arianda.
Comradindo menawarkan pemasangan logo BJB di gedung yang akan dibangun jika bank milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat melakukan pemesanan 14 dari 27 lantai.
Tanpa izin dari direksi, Wawan melakukan negosiasi dengan Tri Wiyasa selaku Direktur Comradindo mengenai pemeÂsanan ruang kantor di T-Tower. Disepakati harganya Rp 494 miliar. Setelah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, jumlahnya menjadi Rp 543,4 miliar.
Disepakati pula, BJB akan melakukan pembayaran uang muka 40 persen yakni Rp 217,23 miliaratas pemesanan itu. Sisanya akan dilunasi dengan cara dicicil selama 12 bulan. Cicilan per bulannya Rp 27,17 miliar.
Tanpa seizin direksi, Wawan menerbitkan memo pembayaran uang muka pada 12 November 2012. Hal yang sama dilakukan untuk pembayaran cicilan bulan pertama hingga bulan ketiga.
Belakangan diketahui tanah yang akan dibangun gedung T-Tower masih bermasalah. Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) transaksi itu telah merugikan negara sebesar Rp271,7 miliar. Wawan pun didakwa melakukan korupsi.
Kilas Balik
Direktur Comradindo Ditetapkan Tersangka
Putusan Kasasi Keluar
Mahkamah Agung (MA) menganulir vonis bebas Wawan Indrawan, bekas Kepala Divisi Umum Bank Jabar Banten (BJB). Wawan diputus bersalah melakuÂkan korupsi pembangunanBJB Tower di Jalan Gatot Subroto Kavling 93 Jakarta dan dihukum 8 tahun penjara.
Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung memutus Wawan tak bersalah dalam perkara yang merugikan negara Rp217 miliar.
Atas putusan itu, kejaksaan memutuskan mengajukan banding. "MA kabulkan permohonan kasasi kita. Terdakwa dihukum 8 tahun penjara. Putusan MA diketuk dua pekan lalu," kata Sarjono Turin, jaksa penuntut umum (JPU) kasus ini. Turin kini Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta .
Meski MA menganulir vonis bebas Wawan, namun hukumannya yang dijatuhkan masih renÂdah dari tuntutan jaksa.
Jaksa meminta Wawan dihukum 12 tahun, dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Wawan dianggap terbukti meÂlanggar Pasal 3 juncto Pasal 14 Undang Undang 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Mengacu pada putusan kasasi Wawan, Kejaksaan Agung pun melanjutkan penyidikan kasus ini. Tri Wiyasa, Direktur Comradindo Lintasnusa Perkasa ditetapkan sebagai tersangka.
Adik Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Tri Wicaksana itu pun langsung ditahan usai menjalani pemeriksaan di gedung bundar.
"Kami periksa dan dievaluasi melalui gelar perkara. Kita langsung menetapkan tersangka," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung, Adi Toegarisman.
Rabu pekan lalu, Tri Wiyasa digiring ke Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung. Untuk tahap pertama, adik Wakil Ketua DPRD DKI Tri Wicaksana itu ditahan selama 20 hari. Adi menegaskan telah mengantongi bukti kuat untuk menetapkan Tri Wiyasa sebagai tersangka. Salah satunya putusan perkara kasasi Wawan Indrawan, bekas Kepala Divisi Umum BJB.
Dalam putusan kasasi yang suÂdah berkekuatan hukum tetap itu, Mahkamah Agung (MA) menyaÂtakan Wawan terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dan dihukum 8 tahun penjara.
"Merujuk putusan kasasi terhÂadap terpidana Wawan, penyidik meyakini bahwa penyidikan dugaan korupsi ini sudah benar. Kami tidak diam dan memeriksa kembali proses persidangan terÂpidana Wawan hingga berkeyaÂkinan bahwa tersangka terlibat dalam kasus itu," kata Adi.
Mengenai penahanan terÂsangka, bekas Jaksa Agung Muda Intelijen itu beralasan untuk mempercepat proses peÂnyidikan, dan mencegah pelaku melarikan diri.
Penyidikan terhadap Tri Wiyasa sempat terhenti lantaran Kejaksaan Agung kalah di sidang praperadilan pada 2016 lalu. Tri Wiyasa menggugat penetapan dirinya sebagai tersangÂka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Alhasil, pengadilan membatalkan status tersangka Tri Wiyasa. ***