Sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengabaikan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah preseden buruk bagi sistem penegakan hukum tanah air.
Pengabaian itu, kata pakar hukum tata negara dari Universitas Padjajaran, I Gde Pantja Astawa adalah saat KPK meminta BPK untuk mengaudit kembali hasil audit yang ditelah diterbitkan dalam kasus ini.
Menurutnya, kasus penerbitan SKL BLBI ini sebenarnya sudah selesai jika mengacu dengan temuan BPK tahun 2006 lalu.
"Di tahun 2006, BPK sudah merilis LHP (laporan hasil pemeriksa), di situ dikatakan tidak ada kerugian negara. Jadi dari sisi mana dikatakan merugikan keuangan negara," kata kepada wartawan, Jumat (19/1).
Dalam hal ini, Pantja mengkritisi adanya audit BPK kelima kali yang dijadikan patokan KPK bahwa ada potensi kerugian negara dari SKL BLBI dari Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Padahal, sambungnya, empat kali sebelumnya BPK bersama pihak pemerintah dan swasta sebagai auditor independen, sudah mengaudit hal sama. Bahkan, di salah satu audit keempat, audit menyebutkan adanya kelebihan bayar oleh pihak BDNI.
Menurut Pantja, KPK tidak bisa menafikan keberadaan BPK sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara. Tindakan pengabaian KPK terhadap audit-audit BPK sebelumnya, dinilai Pantja dapat menghilangkan kepercayaan publik pada BPK.
Apalagi, ini bukan kali pertama KPK mengabaikan hasil audit BPK. Sebelumnya, dalam kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh pemprov DKI, KPK juga abai. Kala itu, KPK bahkan yang meminta BPK untuk melakukan audit investigatif.
"Namun ketika kemudian hasil temuannya menyebut ada kerugian negara, KPK justru mengatakan tidak ada kerugian negara. Ini jadi aneh, padahal KPK sendiri yang meminta," tutupnya.
[dem]