Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
KEADILAN sosial bagi seÂluruh rakyat Indonesia tentu acuannya juga adalah konÂsep keadilan yang berkeinÂdonesiaan. Jika di sejumÂlah tempat ada kelompok radikal berusaha mengemÂbangkan "konsep keadilan", maka tidak boleh mereka memaksakan konsep keaÂdilannya di dalam masyarakat Indonesia. Islam yang berkembang dan terus akan dikembangÂkan di Indonesia ialah Islam inklusif. Bukan IsÂlam ekslusif yang di sana-sini menimbulkan kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan, di dalam masyarakat. Indonesia sudah sejak awal mengembangkan Islam inklusif. Para founding father terdiri atas orang-orang yang arif dan memahami substansi ajaran, serta dialektika perjuangan Nabi. Pemahaman Islam secara inklusif selalu berusaha menampilkan Islam seÂbagai ajaran agama yang penuh dengan kasih sayang (rahmah), toleransi (tasamuh), keadilan ('adalah), menekankan aspek pertemuan, titik temu, dan perjumpaan (kalimah sawa'); bukanÂnya menampilakan kekerasan (tasyaddud), terÂorisme (irhab), dan praktek keagamaan yang melampaui batas (guluw). Pola Islam inklusiÂfisme ramah terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial. Islam yang bisa tegak di atas atau di samping nilai-nilai lokal-kultural, Islam yang memberi ruang terhadap kearifan lokal. Bahkan Islam yang mampu menjadi wadah peleburan (melting pot) terhadap pluralitas nilai dan norma yang hidup di dalam masyarakat. Kehadiran Islam tidak mesti menyingkirkan nilai-nilai lokal setempat. Meskipun Islam sarat dengan nilai-nilai universal, tetapi konsep uniÂversalitasnya tidak tertutup, melainkan terbuÂka.
Para panganjur Islam di Indonesia mengiÂkuti pola dakwah Nabi Muhammad Saw mamÂbangun peradaban Islam bukan memulai dari nol, tetapi bagaimana melestarikan yang sudah baik dan mengembangkan yang masih sederÂhana, dan mengkreasikan sesuatu yang belum ada. Ini dipertegas dalam hadis Nabi: Innama bu’itstu li utammi makarim al-akhlaq (SesungÂguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia). Tamma berarti menyempurnakan yang sudah ada dan akhlaq ialah sebuah kreasi positif. Nilai-nilai lokal tidak perlu terancam denÂgan kehadiran Islam. Ketegangan konseptual terjadi mana kala nilai-nilia universal difahami secara kaku di satu sisi, sementara di sisi lain berhadapan dengan fanatisme buta penganut nilai-nilai lokal. Pemandangan seperti ini serÂing terjadi tetapi biasanya dapat diselesaikan dengan kearifan tokoh penganjur kedua beÂlah pihak. Titik temu atau jalan tengah biasanÂya diambil melalui persepakatan adat-istiadat setempat. Dalam Islam hal ini dimungkinkan karena penerapan nilai-nilai Islam tidak serta-merta harus dilakukan sekaligus. Tuhan Yang Maha Kuasa pun memberi waktu 23 tahun unÂtuk turunnya keseluruhan ayat Al-Qur'an. PenÂerapan nilai-nilai Islam dikenal perinsip tadarruj, yaitu penerapan nilai-nilai secara berangsur, taÂhap demi tahap. Selain itu juga dikenal denÂgan sedikit demi sedikit (taqlil al-taklif) hingga pada saatnya menjelma menjadi nilai-nilai yang utuh.
Keutuhan nilai-nilai universalitas Islam dicaÂpai melalui sinergi antara nilai-nilai lokal denÂgan ajaran dasar Islam. Dengan demikian, Islam dirasakan sebagai kelanjutan sebuah traÂdisi yang sudah mapan di dalam masyarakat. Bukannya menghadirkan sesuatu yang serba baru melalui penyingkiran nilai-nilai lokal. Bisa dibayangkan, bagaimana nilai-nilai lokal MiÂnangkabau yang matriarchal bisa menyatu denÂgan nilai-nilai Islam yang cenderung patriarchal. Penyatuan kedua sistem budaya ini ternyata melahirkan sintesa kebudayaan yang indah, yang sering dilukiskan sebagai: Adat bersendi Syara', Syara' bersendi Kitabullah. Bukan hanÂya Sumatera Barat yang menggunakan motto ini tetapi juga daerah lain seperti Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku. Sayed HusÂsen Nasser dalam Ideal and Realities of Islam melukiskan dengan indah sinkronisasi antara nilai-nilai Islam yang bersifat universal dan buÂdaya dan peradaban lokal. Satu sama lain tidak saling mengorbankan, tetapi saling mengisi dan sangat menguntungkan untuk dunia kemanuÂsiaan. Menurutnya, antara keduanya tidak perlu diperhadap-hadapkan karena nilai-nilai univerÂsal Islam bersifat terbuka, dalam arti feleksibel dan dapat mengakomodir berbagai nilai-nilai lokal. Bukti keterbukaan itu, Islam dapat diterÂima dari Timbektu, ujung barat Afrika sampai Merauke, ujung Timur Indonesia.
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Senin, 08 Desember 2025 | 19:12
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08
Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44
Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46
UPDATE
Selasa, 16 Desember 2025 | 22:11
Selasa, 16 Desember 2025 | 21:53
Selasa, 16 Desember 2025 | 21:51
Selasa, 16 Desember 2025 | 21:40
Selasa, 16 Desember 2025 | 21:22
Selasa, 16 Desember 2025 | 21:19
Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54
Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54
Selasa, 16 Desember 2025 | 20:47
Selasa, 16 Desember 2025 | 20:45