Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, dalam penÂanganan kasus-kasus korupsi, KPK layak mendapatkan apreÂsiasi lantaran mampu membawa kasus-kasus besar ke pengadilan. Sementara Mahkamah Agung (MA) dikecam lantaran menguÂrangi hukuman sejumlah napi korupsi.
Peneliti ICW Donal Fariz mengatakan, pihaknya menÂgapresiasi KPKyang berhasil memproses berbagai macam perkara korupsi. "Kami apresiasi KPK memproses perkara koÂrupsi yang melibatkan anggota DPR sampai pejabat di daerah. Puncak prestasi KPK yakni berhasil membawa kasus e-KTP khususnya SN (Setya Novanto) ke pengadilan," ujarnya di Jakarta.
Dalam perjalanan menjadikan Setya Novanto sebagai tersangka hingga membawa kasus tersebut ke Pengadilan Tipikor, KPK juga melewati beragam tantangan mulai dari kalahnya KPK di praperadilan hingga praperadilan jilid 2 yang kembali dilayangkan Setya Novanto.
Bahkan dalam sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Rabu (13/12) lalu banyak yang meÂnyoroti ‘drama’ Setya Novanto yang mengaku sakit sampai sidang diskor tiga kali.
"KPK sudah sangat sabar. Di balik berbagai macam drama kalahnya KPK, lalu ada prapÂeradilan jilid dua. Tetap prestasi utama dan luar biasanya ditandai masuk serta diprosesnya mega korupsi e-KTP dengan kerugian negara Rp 2,3 triliun," sebut Donal.
Meski demikian, pihaknya mengingatkan kembali kasus teroryang dialami penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Apalagi, Novel merupakan Kasatgas dari kasus e-KTP tersebut. Sudah lebih dari enam bulan kaÂsus penyerangan terhadap Novel belum terungkap.
"Di balik prestasi KPK, harus diingat pula ada kasus disiramnya penyidik KPK, Novel Baswedan yang juga saat bersaÂmaan mencoba menangani kasus e-KTP," imbuhnya. Pihaknya berharap Novel bisa segera pulih dan kembali berkantor di KPK.
Sementara peneliti ICW, Emerson Yuntho, mengecam putusan MA yang mengurangi hukuman bagi terpidana koruÂpsi OC Kaligis dari 10 tahun menjadi 7 tahun penjara di tingkat Peninjauan Kembali (PK). Menurut catatan ICW, PKacapkali menjadi jalan koruptor menuju kebebasan.
"Koruptor zaman now menguÂnakan segala cara untuk menguÂrangi hukuman (penjara), selain mencoba lewat remisi dan pemÂbebasan bersyarat, koruptor juga mencoba peruntungan melalui upaya peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA)," kaÂtanya.
Selain OC Kaligis, ICW memÂberikan contoh Rusli Zainal. Bekas Gubernur Riau itu divoÂnis 14 tahun penjara di tingkat kasasi tapi di tingkat PKdipoÂtong menjadi 10 tahun penjara. Demikian juga dengan Angelina Sondakh yang awalnya divonis 12 tahun penjara di tingkat kasasi. Tapi divonis PKmenjadi 10 tahun penjara.
"Selain itu ada Cahyadi Kumala alias Swie Teng, bos Sentul City, vonis Kasasi 5 tahun, vonis Peninjauan Kembali 2,5 tahun," ujar Emerson.
ICW mempertanyakan komitÂmen MA dalam memberantas korupsi. Di mana korupsi sangat merugikan rakyat, dan menjadi bagian dari kejahatan luar biasa. Apalagi, puluhan terpidana koÂrupsi bebas di tingkat PK.
"Tidak saja berharap penguÂrangan hukuman, koruptor juga berupaya menjadikan peninjauan kembali sebagai jalan menunju kebebasan. Dalam catatan ICW sejak 10 tahun terakhir sudah ada 85 terpidana korupsi yang dbebaskan di tingkat Peninjauan Kembali," tandasnya. ***