Berita

Jokowi-Panglima-Kapolri/net

Politik

Presiden Jokowi, Biarkanlah Polri Dan TNI Tetap Tidak Berpolitik

JUMAT, 22 DESEMBER 2017 | 10:09 WIB | OLEH: TEUKU GANDAWAN

SALAH satu buah indah dari reformasi adalah menempatkan ABRI dalam hal ini TNI dan Polri untuk tidak terlibat dalam urusan politik praktis negara. Sebuah langkah cemerlang, karena memang tidak sepatutnya PNS, TNI dan Polri ikut campur dalam urusan politik praktis. Mereka harusnya memang hanya bekerja untuk negara karena memang dibiaya oleh negara untuk bekerja, terlepas dari siapa yang memimpin kebijakan taktis atas pembangunan negara dalam rentang berkala lima tahunan.

Karena tidak mungkin setiap kali berganti pemerintahan maka kita harus direpotkan mengganti jutaan aparatur negara hanya karena sikap politiknya yang pro atau kontra atas pemimpin negara yang baru. Mereka harus bekerja sesuai dengan prinsip rencana pembangunan negara secara umum dan bagaimana penekanan perencanaan kepemimpinan nasional setiap lima tahun berikutnya. Bukan kepada apa kepentingan politik pribadi dari sang pemimpin pemerintahan dalam lima tahun ke depan.

Rasanya ini yang salah dan gagal total dipahami oleh Presiden Jokowi, partai pendukungnya dan para simpatisannya. Menjadi pemimpin pemerintahan itu menjadi pihak yang dipercaya rakyat mayoritas dan atas nama rakyat keseluruhan untuk menjalankan amanah agar negara dan bangsa menjadi lebih maju lagi untuk lima tahun ke depan. Bukan dipercaya untuk mengelola dan menganggap semua aset negara dan bangsa bisa dikelola seenaknya, seperti menjadi aset golongan tertentu semaunya sendiri. PNS, TNI dan Polri adalah aset negara Indoensia. Tugas pokoknya adalah mengurus negara.

PNS menjadi pekerja negara untuk urusan semua tata kelola dan tata laksana pemerintahan. TNI bertugas menjaga kedaulatan negara dan bangsa dari semua upaya memecah belah dan upaya menyerang daerah kekuasaan dimana berdirinya NKRI. Sedangkan Polri bertugas mewujudkan hadirnya tertib sipil yang memungkinkan semua rencana pembangunan yang direncanakan pemimpin negara dan dijalankan pekerja negara menjadi selancar mungkin. Peran ketiganya adalah untuk semua pihak dan lapisan masyarakat Indonesia, bukan untuk sebagian tertentunya saja.

Kepemimpinan Polri saat ini menjadi contoh buruk bagaimana proses kaderisasi kepemimpinan dan pelaksanaan tugasnya menjadi tak normal dalam organisasi Polri. Seorang Tito Karnavian mengalami percepatan kenaikan pangkat dan promosi luar biasa yang menyingkirkan para seniornya. Bukan karena para seniornya tak ada yang mumpuni dan bukan juga karena prestasi individu Tito yang begitu luar biasa. Tapi lebih karena Tito Karnavian dipandang dan dianggap lebih bisa memahami dan sangat menurut jika diperintahkan bekerja sesuai kepentingan politik Presiden Jokowi.

Kita bisa mengamati dengan gamblang bagaimana seringnya Presiden Jokowi meminta banyak pihak untuk tidak membuat kegaduhan. Namun Presiden Jokowi tidak pernah sekalipun mengecam kegaduhan yang dibuat Ahok, apalagi mengecam secara langsung kepada Ahok yang menista ayat Quran yang merupakan kitab suci agama Islam, yakni agama yang juga dianut oleh Presiden Jokowi. Kenapa bisa demikian? Tentu tak lain tak bukan karena posisi Ahok yang merupakan salah satu mitra politik kuat Presiden Jokowi sejak saat sama-sama maju sebagai pasangan calon untuk memimpin Jakarta pada 2012.

Bahkan luar biasanya, Kapolri Tito pernah bertindak bagaikan pengacara Ahok untuk melakukan konferensi pers untuk menjelaskan bahwa Ahok tidak bersalah dan tidak menista agama. Padahal apa yang dilakukan Ahok terang benderang bisa dengan mudah dipahami oleh penyidik bareskrim paling bawah sekalipun sebagai tindakan penistaan. Tapi fakta itu dengan susah payah berusaha dibantah oleh jajaran bareskrim hingga Kapolri Tito. Kenapa bisa demikian? Sederhana saja karena ini perintah politik. Kapolri tidak lagi bekerja sebagai pemimpin tertib sipil semata, tapi menjadi pemimpin kepentingan politik Presiden Jokowi.

Tak cukup sebatas itu, setiap Aksi Bela Islam diadakan untuk terus mengingatkan penegakan hukum atas Ahok, Kapolri Tito segera bereaksi dan menuduh aksi ini adalah aksi politik yang ingin menggulingkan Presiden Jokowi. Logika yang sangat absurd. Menggugat hukum atas penistaan agama yang dilakukan atas Ahok sebagai rencana kudeta. Bahkan ketika #Reuni212 terjadi, kembali tuduhan-tuduhan politik dikeluarkan. Seolah rakyat tidak boleh tidak sepakat dengan kebijakan politik Presiden Jokowi. Padahal semua negara demokrasi membolehkan dan menjunjung tinggi hak berpendapat publik.

Fakta tentang sikap penuh prasangka Kapolri Tito dan Presiden Jokowi menunjukkan mereka memang bersama menyikapi opini publik sebagai lawan politik. Ini sangat menggelikan karena lazimnya lawan politik itu adalah parpol oposisi atau koalisinya, bukan rakyat. Gaya Presiden Jokowi yang menempatkan sebagian rakyat sebagai musuh politik menjadi sesuatu yang sangat menggelikan dalam konteks demokrasi. Seolah negara ini sudah berubah menjadi negara tirani.

Tak cukup sampai di sana, TNI pun kini juga digiring ke arah berpolitik. Pada era orde baru kita sama-sama tahu berjalannya praktik dwi fungsi ABRI, dimana TNI dan Polri masuk dalam kegiatan politik praktis. Praktik ini kerap mendapat kecaman saat itu. Dan sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, orde reformasi telah menghentikan kondisi itu.

Tapi yang terjadi di era Presiden Jokowi pada tahun ini menjadi titik balik hal tersebut. Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang kerap berupaya untuk menempatkan TNI berada di tengah semua pihak dipandang sebagai sikap yang tidak pro pemerintah. Padahal jika Presiden Jokowi paham apa tugas TNI sebagai penjaga persatuan maka dia tidak akan risau dengan semua kebijakan Panglima TNI Gatot. TNI memang harus berada di tengah semua pihak, sebagai pemersatu, penjaga kedaulatan dan menjadi penanggung jawab utama serta akhir agar NKRI senantiasa utuh dalam urusan apapun.

Mengulang sejarah "pengkarbitan" pemegang jabatan kapolri, lagi-lagi Presiden Jokowi melakukan "pengkarbitan" atas jabatan panglima TNI. Saat Tito Karnavian dipromosikan secara sangat cepat, tidak ada kondisi mendesak yang membuat itu hal itu perlu dilakukan. Demikian pula ketika Hadi Tjahjanto dipromosikan menjadi panglima TNI, tidak ada kegentingan apapun. Bahkan yang segera menonjol adalah adanya kepentingan politik.

Panglima TNI Gatot mengeluarkan keputusan mempromosikan dan merotasikan 85 perwira yang tentu sudah melalui proses wanjakti yang juga diisi oleh para perwira tinggi setiap matra TNI. Dasar kebijakan keputusan ini tentu jelas dan tidak main-main. Tidak mungkin hal ini dilakukan secara serampangan. Bahwa pada saat yang hampir bersamaan ternyata Presiden Jokowi tanpa memberitahu Panglima TNI Gatot berkirim surat kepada DPR untuk memberhentikannya tentu itu adalah kesalahan fatal presiden.

Logikanya harusnya adalah presiden wajib memanggil atau memberitahu panglima terlebih dahulu bahwa dia akan menggantikan si pemangku jabatan, sehingga diminta kepada pemangku jabatan untuk segera berhenti dari kemungkinan membuat kebijakan baru apapun kecuali hal-hal yang bersifat rutin. Jadi Panglima TNI Gatot tidak bisa serta merta disalahkan jika membuat kebijakan di saat dia tidak tahu bahwa dia sudah tidak berwenang lagi melakukannya.

Situasi semakin buruk ketika Panglima TNI Hadi Tjahjanto membatalkan sebagian keputusan Panglima TNI Gatot. Benar bahwa secara wewenang dia bisa melakukan itu. Tapi tentunya kita sama-sama tahu bahwa keputusan Panglima TNI Gatot beserta semua dasar pemikirannya sangat diketahui, dipahami dan disetujui oleh Panglima TNI Hadi karena pada saat itu terjadi, beliau dalam posisi sebagai Kepala Staf TNI AU.

Dengan membatalkan sebagian keputusan, ini menunjukkan bahwa dia secara personal seolah telah tidak setuju dengan kebijakan Panglima TNI dan Wanjakti. Sehingga ketika kewenangan diperolehnya, dia mengubahnya sesuai maunya. Secara prinsip ketentaraan ini sesuatu yang sangat tidak patut. Bisa dipandang sebagai pembangkangan terselubung jika itu memang datang dari maunya pribadi Panglima TNI Hadi.

Yang paling tepat adalah beliau memerintahkan agar segera keputusan itu dilaksanakan. Bahwa setelah terlaksana lalu Panglima TNI Hadi selaku panglima baru memandang ada dinamika baru dan perlu segera dilakukan rotasi berikutnya atas rotasi yang baru terjadi, tentu bukan masalah. Beliau bisa berkilah ada aspek yang baru atau ada aspek yang kurang ditonjolkan padahal penting sehingga perlu dilakukan rotasi baru.

Apalagi ketika akhirnya Pangkostrad Edy Rahmayadi secara terbuka menyatakan bahwa permintaan pensiunnya sudah disetujui oleh Panglima TNI Gatot dan dia bersikeras menuntut hal tersebut segera ditindaklanjuti karena dia akan mengajukan diri menjadi sebagai bakal calon gubernur Sumatera Utara. Anehnya hal itu direspon oleh Panglima TNI Hadi sebagai sesuatu yang wajar dan adalah hak dari Pangkostrad Edy. Bayangkan dua jenderal aktif berdialog tak langsung di ruang publik tentang politik praktis.

Situasi ini malah menonjolkan adanya begitu kentalnya sudah terjadi permainan politik praktis. Kebijakan dibatalkan bukan diperkuat dengan perubahan baru, ini menunjukkan adanya intervensi. Dan karena pergantian panglima TNI juga mendadak tanpa urgensi, maka patut diduga Presiden Jokowi berada di belakang semua ini. Hanya Presiden Jokowi yang bisa menyatakan hal-hal tertentu kepada Panglima TNI Hadi.

Tidak mungkin struktur di bawahnya, karena TNI menganut sistem komando. Wanjakti pun bukan forum yang bisa membatalkan keputusan panglima karena ini adalah forum konsultasi, evaluasi dan diskusi, yang hanya mungkin memberikan masukan sebanyak-banyaknya sebelum panglima TNI membuat keputusan.

Terang benderang saat ini, entah sadar entah tidak sadar, Presiden Jokowi telah menggiring Panglima TNI dan Kapolri ke dalam kepentingan politiknya. Sesuatu yang selama ini dipandang sebagai salah satu "dosa besar" Presiden Soeharto ketika berkuasa. Reformasi yang telah berhasil menghentikan Dwi Fungsi ABRI (baca: TNI dan Polri) kini mengalami titik balik paling dramatis karena kembali dilahirkan dalam wujud yang serupa tapi tak sama. Memang TNI dan Polri tidak hadir di DPR, DPD atau MPR, tapi kekuatan dan wewenangnya diajak masuk sebagai alat kepentingan politik dari presiden yang berkuasa.

Tulisan ini mungkin terlalu panjang dan melelahkan membacanya, tapi percayalah kita akan jauh lebih lelah luar biasa jika membiarkan TNI dan Polri menjadi alat kekuasaan politik, dua lembaga negara yang harusnya sebagai alat negara yang berdiri di tengah semua pihak. Biarlah Polri menjaga tertib sipil nasional tanpa harus berpihak, biarkan mereka bekerja sesuai dengan amanat UU Polri. Biarlah TNI menjaga kedaulatan negara ini dan hanya melihat pihak luarlah yang perlu diwaspadai, bukan pihak dalam negeri dalam hal ini rakyat Indonesia. Biarkan TNI bekerja sesuai dengan UU TNI. Presiden Jokowi, biarkanlah Polri dan TNI tetap tidak berpolitik. [***]

Teuku Gandawan
Direktur Eksekutif Strategi Indonesia

Populer

Fenomena Seragam Militer di Ormas

Minggu, 16 Februari 2025 | 04:50

Asian Paints Hengkang dari Indonesia dengan Kerugian Rp158 Miliar

Sabtu, 15 Februari 2025 | 09:54

Bos Sinarmas Indra Widjaja Mangkir

Kamis, 13 Februari 2025 | 07:44

Temuan Gemah: Pengembang PIK 2 Beli Tanah Warga Jauh di Atas NJOP

Jumat, 14 Februari 2025 | 21:40

PT Lumbung Kencana Sakti Diduga Tunggangi Demo Warga Kapuk Muara

Selasa, 18 Februari 2025 | 03:39

Pengiriman 13 Tabung Raksasa dari Semarang ke Banjarnegara Bikin Heboh Pengendara

Senin, 17 Februari 2025 | 06:32

Dugaan Tunggangi Aksi Warga Kapuk Muara, Mabes Polri Diminta Periksa PT Lumbung Kencana Sakti

Selasa, 18 Februari 2025 | 17:59

UPDATE

KPK Ngeles Soal Periksa Keluarga Jokowi

Jumat, 21 Februari 2025 | 19:34

Indonesia Tak Boleh Terus Gelap!

Jumat, 21 Februari 2025 | 19:33

Kepada Ketua DPRD, Tagana Kota Bogor Sampaikan Kebutuhan Ambulans

Jumat, 21 Februari 2025 | 19:20

Kepala Daerah yang Tak Ikut Retret Perlu Dikenakan Sanksi

Jumat, 21 Februari 2025 | 19:19

DPP Golkar Didesak Batalkan SK Pengangkatan Ketua DPRD Binjai

Jumat, 21 Februari 2025 | 19:15

Tantangan Anak Muda Bukan Hanya Cita-cita, Tetapi Ancaman Penyalahgunaan Narkoba

Jumat, 21 Februari 2025 | 19:02

Bareskrim Ungkap Jaringan Judol Internasional Beromzet Ratusan Miliar

Jumat, 21 Februari 2025 | 18:54

HIPMI Yakin Kaltara Bisa Maju di Bawah Kepemimpinan Zainal-Ingkong

Jumat, 21 Februari 2025 | 18:49

Nusron Pecat 6 Pegawai Pertanahan Bekasi

Jumat, 21 Februari 2025 | 18:44

GAK LPT Desak Presiden Terbitkan Perppu Cabut UU KPK

Jumat, 21 Februari 2025 | 18:32

Selengkapnya