SETELAH Peristiwa Malari '74 yang antara lain dilatari oleh rivalitas para jenderal yang merupakan kolega sesama Angkatan '45, Soeharto menyiapkan "suksesi" melalui jalur ajudan yang terdiri dari para perwira muda.
Peristiwa Malari yang juga dilatari oleh sentimen anti Jepang itu rupanya jadi pelajaran penting bagi Soeharto bahwa kekuasaannya yang baru berjalan beberapa tahun ketika itu sangat rawan untuk digoyang dari dalam.
Banyak posisi penting diberikan Soeharto kepada para bekas ajudan.
Try Soetrisno jadi wapres, Wiranto Pangab, Soebagyo HS Kasad, Dibyo Widodo Kapolri, dan seterusnya.
Soeharto membutuhkan orang-orang kepercayaan. Sultan HB IX yang merupakan Raja Jawa dipakai oleh Soeharto untuk melegitimasi kekuasaan, sehingga diberikan jabatan wakil presiden.
Pasca Sultan para wakil presiden pendamping Soeharto merepresentasikan kebhinekaan. Soeharto mengangkat Adam Malik yang urang awak jadi RI 2, Umar Wirahadikusumah yang urang Sunda, Sudharmono, Try Soetrisno, BJ Habibie.
Bung Karno merupakan presiden yang pandai menjaga harmoni. Ia mengangkat dr J Leimen untuk menjalankan fungsi presiden ketika berhalangan. Leimena yang tokoh non Jawa itu mendapat tempat di hati Sukarno.
"Ambillah misalnya Leimena… saat bertemu dengannya aku merasakan rangsangan indera keenam, dan bila gelombang intuisi dari hati nurani yang begitu keras seperti itu menguasai diriku, aku tidak pernah salah. Aku merasakan dia adalah orang yang paling jujur yang pernah kutemui."
Pertalian Sukarno-Hatta juga dilukiskan ibarat siklus yang dalam ungkapan dikatakan sebagai "dwitunggul dan dwitunggal."
Kedua tokoh ini ibarat panji yang saling berbeda tapi memiliki kesamaan tujuan, menentang kolonialisme untuk memerdekakan bangsa.
Sukarno revolusioner, Bung Hatta reformis.
Bung Karno gandrung persatuan, Bung Hatta menganggap persatuan hanya alat.
Bung Karno ingin negara kesatuan, Hatta ingin negara serikat.
Sukarno anak guru, Hatta anak saudagar.
Sukarno sekolah di ITB, Hatta sebelas tahun sekolah dan bermukim di Belanda. Ayahandanya wafat waktu Hatta berusia delapan bulan.
Hatta dilahirkan di tanah Minang, Sumatera, adapun Sukarno berdarah Jawa & Bali.
Dan seperti para pendiri bangsa ini umumnya, kedua-duanya adalah gambaran karakter yang ideal, tipe pejuang terhormat yang amanah. Sukarno merupakan solidarity maker, sedang Hatta administrator yang baik.
Kedua-duanya adalah tokoh pergerakan yang dikehendaki oleh rakyat yang tertindas untuk menjadi pemimpin, sehingga dikatakan sebagai dwitunggul, dan waktu naik ke dalam kekuasaan mereka menjadi dwitunggal.
Joko Widodo merefleksikan tipe kepemimpinan berciri solidarity maker. Blusukan merupakan simbol turunnya pembesar ke lapisan bawah.
Orang Jawa mengatakan Manunggaling Kawulo Gusti. Meski Jawa Joko Widodo sendiri bukanlah Jawasentris.
Siapa tokoh Non Jawa yang patut mendampingi Jokowi, di Pilpres 2019 nanti, untuk posisi calon wakil presiden?
Banyak kalangan menyebut nama Dr Rizal Ramli, yang ada kesamaannya dengan kedua tokoh besar, Sukarno-Hatta.
Rizal orang pergerakan, masuk bui akibat melawan otoritarianisme, kuliah di ITB, di penjara di Sukamiskin tempat dimana Sukarno pernah meringkuk.
Rizal kelahiran Sumatera. Yatim piatu sejak usia delapan tahun.
Orang Minang yang pluralis dan nasionalis. Tumbuh di Tanah Parahiyangan, dikenal luas karena pergaulannya dengan para tokoh Nusantara, dan punya reputasi pergaulan berskala mancanegara.
Dengan kalangan Islam Rizal Ramli dikenal sangat dekat, dengan NU Rizal merupakan murid kesayangan Gus Dur, familiar dengan Muhamadiyah dan kelompok-kelompok lainnya. Sehingga banyak yang mengatakan, Rizal Ramli merupakan tokoh nasionalis yang sangat dipercaya oleh kalangan ini.
Kesamaan Rizal dengan Jokowi antara lain adalah sama-sama lurus, visioner, tidak neko-neko, dan berani dalam membela rakyat. Inilah branding yang sangat penting yang tidak dipunyai sosok lainnya.
Kerinduan masyarakat terhadap sosok dwitunggal Sukarno-Hatta sesungguhnya ada pada sosok Jokowi dan Rizal Ramli.
Mereka bukan hanya merupakan representasi wilayah Jawa dan Non Jawa, kedua-duanya juga terikat oleh kesamaan pandang dan kehendak yang tergambar dalam Tri Sakti dan Nawa Cita yang selama ini disuarakan oleh Presiden Jokowi.
[***]