Berita

Publika

Siapa Pemilik Fahri?

JUMAT, 15 DESEMBER 2017 | 09:36 WIB

MENJADI politisi adalah menjadi binatang politik (political animal) demikian kata para filosof. Mengapa? Karena, yang membedakan binatang dengan manusia, salah satu yang utama, adalah politik. Binatang tak berpolitik, sementara manusia justru sebaliknya. Karena itulah lahir istilah binatang politik.

Memang bunyinya terdengar sangat menjijikan, tapi saya rasa, setelah kita paham maksud atau raison de'tre-nya, cukup masuk akal terminologi tersebut disematkan kepada para politisi. Setidaknya secara ideal teoritik, melalui jalur politik, mereka memperjuangkan hal-hal yang mereka anggap mulia dan menjadi tujuan besar semua lapisan masyarakat yang diwakilinya, seperti keadilan, kesejahteraan, ataupun kebahagiaan bersama.

Dalam beberapa kajian, karena faktor perkembangan politik yang kian pragmatis,  politik didefenisikan secara agak negatif pragmatis. Sebut saja pengertian politik dari Harold Laswell, misalnya.Beliau memberi makna praktis pada politik hanya sebatas soal "siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana (who gets what, when,  and how). Sebagian lagi, generasi awal behavioralisme, seperti David Easton memaknai politik dalam kerangka yang cukup fungsional. Beliau menyebut politik sebagai segala upaya untuk mendistribusikan nilai-nilai (kesejahteraan, keadilan, kemaslahatan, dan lain-lain).
 

 
Entah bagimana cara kita memandangnya, jika kita tanya kepada politisi di partai atau parlemen misalnya, politik bagi mereka adalah tentang bagimana agar partainya menang pada pemilihan selanjutnya dan meletakan sebanyak-banyaknya wakil di kursi parlemen. Dan manisnya, mereka justru berhasil menjadikan politisi andalannya sebagai presiden atau menteri-menteri dalam kabinet. Lantas, setelah itu,  apakah mereka akan melakukan pendistribusian nilai-nilai tersebut? Saya kira, hal tersebut akan jadi topik lainya, jika mereka masih ingat.

Berbeda kasus misalnya saat kita tanya pada para politisi di Palestina atau para politisi pejuang di era prakemerdekaan Indonesia. Bagi mereka, politik adalah jalan menuju pembebasan. Bebas dari penjajahan, bebas dari kolonialisme dan aneksasi negara lain atas negara mereka. Begitu pula jika kita tanya kepada politisi-politisi Papua pro Indonesia. Bagi mereka, politik adalah membesarkan Indonesia di negeri Papua, agar kehadiran negara republik Indonesia dirasakan oleh segenap masyarakat sana.

Pada kedua contoh terkahir, sangat jelas terlihat siapa dan apa yang sedang mereka perjuangkan. Kemudian pertanyaannya, bagaimana dengan politisi-politisi senayan?  Setelah mereka berjuang habis-habisan untuk pindah kantor ke senayan, lantas apa yang mereka lakukan untuk pemilihnya. Sejatinya, terdapat cantelan yang terputus antara wakil rakyat dengan yang mereka wakili. Mereka dipilih di daerah pemilihan masing-masing,  tapi mereka bekerja di fraksi dan komisi. Kita mungkin agak susah menemukan cantelan representasi di sana. Mereka stand for atau act for konstituen,  tapi perannya tak banyak punya keterkaitan fungsional dengan konstituen.
 
Contoh paling anyar adalah Fahri Hamzah yang bersengketa dengan Partai PKS.  Pertanyaanya, jika PKS mencopot status kader Fahri di PKS yang mengakibatkan Fahri harus pula lengser di DPR, lantas apa kapasitas Fahri di DPR? Mewakili PKS atau mewakili ratusan ribu pencoblosnya di NTB? Apa landasan fundamentalmya PKS bisa mencabut hak representasi Fahri? PKS mengutak-atik representasi Fahri sebagai anggota Fraksi yang merupakan perwakilan partai. Sementara, Fahri berargumen soal representasi ratusan suara yang telah mencoblosnya. Dalam prakteknya, Fahri memang mendapat mandat dari pemilih untuk mewaliki segala kepentingan daerah pemilihanya, setidaknya segala kepentingan para pemilihnya di NTB.

Karena, pada tataran teknis saat pemilihan berlangsung, ada dua kemungkinan keterpilihan beliau. Pertama adalah karena nomor urut. Kedua adalah murni pilihan pemilih, di mana suara Fahri lebih dari cukup untuk dirinya sendiri jika beliau berada pada nomor urut satu. Dan jika berada pada nomor urut di atas satu, semisal dua atau tiga dan seterusnya, maka suara Fahri yang memang sangat besar tersebut dipergunakan terlebih dahulu untuk memenuhi suara calon di atasnya. Itu bisa terjadi jika suara yang diterima Fahri di bawah kebutuhan satu kursi. Lain soal jika suara yang diterimanya melimpah, jauh di atas kebutuhan. Otomatis Fahri mendulang sendiri suara untuk kursi yang beliau duduki di DPR.

Kemungkinan dan kalkulasi kasarnya, jika Fahri berada pada nomor urut pertama,   suara yang beliau raih boleh jadi tidak sepenuhnya milik sendiri,  tapi mendapat tambahan dari nomor urut di bawahnya. Tapi jika nomor urut beliau ada di bawah,  dan tetap melenggang ke DPR, berarti suara Fahri memang sangat banyak. Arti lainnya, untuk daerah pemilihan beliau, peran Fahri jauh lebih besar dalam menggiring dirinya ke senayan, ketimbang peran Partai.Karena asumsi itu lah, saya menjuga, Fahri sangat ngotot melawan. Asumsinya, terdapat ratusan ribu pemilihnya di daerah pemilihan tersebut, yang boleh jadi sebagian malah tidak mencoblos partainya, tapi hanya mencoblos calon, yakni Fahri.

Secara politik, tentu pendapat Fahri sulit untuk dibantah. Sistem pemilihan yang mengharuskan coblos partai dan coblos calon memang melahirkan representasi yang ambigu. Di satu sisi, ada peluang pemilih untuk mencoblos salah satu. Semisal tak suka partainya, tapi suka calonya. Sehingga pilihan hanya jatuh pada calon. Ataupun sebaliknya, suka dengan partainya sehingga tak mau pusing dengan calonnya.  Walhasil, suara akan mengalir berdasarkan sistem nomor urut tadi. Suka di sini diartikan sebagai percaya dan menganggap apapun yang akan diputuskan partai nantinya sebagai keputusan yang mewakili suara pencoblos.

Namun PKS tentu punya pendapat lain. Pemilih yang mencoblos Fahri akan dianggap sebagai pemilih yang juga mempercayai PKS. Karena Fahri adalah (awalnya) adalah kader PKS yang menjadi calon legislator untuk daerah pemilihannya, maka PKS menganggap segala keputusan partai terhadap Fahri adalah representasi pemilih Fahri itu sendiri. Pasalnya, pemilih Fahri dianggap equivalen dengan memilih PKS sebagai partai tempat Fahri bernaung. Di sinilah dilematikanya.

Di satu sisi,  katakan lah pemilih Fahri di daerah pemilihannya benar-benar terdorong mencoblos karena ke-Fahri-an Fahri,  bukan karena ke-PKS-an beliau. Tapi di senayan, setiap wakil rakyat atau anggota DPR hanya boleh mencalonkan diri via Partai alias tidak bisa atas nama sendiri. Sekalipun semua pemilih tersebut benar-benar termotivasi dan terdorong untuk mengantarkan Fahri (per se) ke senayan, tanpa PKS, ternyata Fahri tak bisa sampai ke Senayan. Namun, Fahri nampaknya cukup cerdik untuk menyikapi. Hasil putusan pengadilan yang beliau perjuangakn membuatnya sulit didepak dari PKS.

Dan sejauh ini, Fahri sudah cukup bijak dengan menggunakan putusan pengadilan sebagai landasan perjuangannya. Sekalipun barangkali beliau sangat paham dan bisa saja berteriak-teriak bahwa beliau harus berjuang untuk tetap ada di senayan atas nama masyarakat pemilihnya di NTT, yang memang terbukti sangat banyak. Tapi jalan yang tepat adalah patuh pada hukum dan putusan pengadilan. Jika PKS tak mengakui Fahri lagi sebagai kadernya, sebaiknya itu dilakukan untuk pemilihan mendatang. Pada pemilihan 2014 lalu, Fahri adalah kader PKS yang menjadi wakil rakyat untuk lima tahun. Artinya, secara moral dan rasional, Fahri akan tetap menjadi wakil rakyat dari PKS sampai 2019, selama Fahri tidak melakukan hal-hal yang membatalkan statusnnya sebagai anggota DPR, seperti jadi terdakwa kasus korupsi,  terdakwa kasus ini itu yang sudah berkekuatan hukuk tetap.

Nah, pertanyaan pentingnya sebenarnya siapa yang lebih berhak secara moral dan hukum untuk mewakili rakyat pemilih di dapil Fahri tersebut? Partai atau calon? Karena jika kita merujuk kepada fundamental demokrasi, maka kita akan berbicara tentang kedaulatan pemilih yang diwakilkan kepada wakilnya di DPR.  Teori representasinya mengatakan, "Generally a representative is regarded as one who stands for or acts for an (absent) other. They may do so by being a delegate-acting on the express wishes of the representative-or a trustee, acting in the perceived best interests of the represented.”

Oleh karena itu, satu pertanyaan perlu dijawab, yakni apakah Fahri dipilih oleh rakyat pemilihnya karena dirinya atau karena PKS? Jika tak mau repot membuka lagi hasil coblosan pada Pemilu tempo hari, maka Fahri dan PKS lah yang betul-betul bisa menjawabnya. Namun indikator awalnya sudah terlihat bahwa Fahri memang mendulang suara jauh di atas kebutuhan minimal satu kursi DPR. Artinya, faktor ke-Fahri-an beliau memang sangat tinggi.[***]


Ronny P Sasmita
Penulis adalah Pegiat Kajian Ekonomi Politik di Economic Action Indonesia /EconAct; HI Fisip Universitas Padjadjaran; dan Paska Sarjana Hubungan Internasional Universitas Indonesia

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

UPDATE

Pesan Ketum Muhammadiyah: Fokus Tangani Bencana, Jangan Politis!

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:13

Amanat Presiden Prabowo di Upacara Hari Bela Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:12

Waspada Banjir Susulan, Pemerintah Lakukan Modifikasi Cuaca di Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:05

Audit Lingkungan Mendesak Usai Bencana di Tiga Provinsi

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:04

IHSG Menguat, Rupiah Dibuka ke Rp16.714 Pagi Ini

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:59

TikTok Akhirnya Menyerah Jual Aset ke Amerika Serikat

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:48

KPK Sita Ratusan Juta Rupiah dalam OTT Kepala Kejari HSU

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:28

Bursa Asia Menguat saat Perhatian Investor Tertuju pada BOJ

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:19

OTT Kalsel: Kajari HSU dan Kasi Intel Digiring ke Gedung KPK

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:05

Mentan Amran: Stok Pangan Melimpah, Tak Ada Alasan Harga Melangit!

Jumat, 19 Desember 2025 | 08:54

Selengkapnya