Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah pribadi Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk, Ibnu Hajar. Langkah ini untuk mengumpulkan bukti mengumpulkan bukti kasus jual-beli jabatan di Pemerintah Kabupaten Nganjuk.
Dikawal personel polisi, penyidik KPK menyatroni rumah Ibnu Hajar di Desa Tanjungkalang, Kecamatan Ngronggot. Hingga tadi malam, pihak KPK belum menginformasikan barang bukti yang diperoleh dari penggeledahan rumah Ibnu Hajar.
Dalam kasus jual beli jabaÂtan ini, KPK menetapkan Ibnu Hajar bersama Bupati Nganjuk Taufiqurrahman dan Kepala SMP Negeri 3 Ngronggot, Suwandi sebagai tersangka penerima suap.
Sedangkan tersangka pemberi suap adalah Harjanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Nganjuk; dan Mokhamad Bisri, Kepala Bagian Umum Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nganjuk.
Sejak operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di Jakarta dan Nganjuk, Rabu 25 Oktober 2017, tim penyidik KPK maraton memeriksa saksi-saksi dari kalangan pejabat Pemkab Nganjuk.
Pemeriksaan dilakukan di markas Kepolisian Resor (Polres) Nganjuk. Mereka yang dipanggil adalah Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup, Endi Arso; Kepala Bidang Penataan, Ahmad Zakin; Kepala Bidang Pertamanan, Sudarsih; dan Kepala Bidang Kebersihan, Wisnu.
Hanya Wisnu yang tak meÂmenuhi panggilan pemeriksaan. "Kabid Kebersihan tidak bisa hadir. (Sedang) dinas luar," kata Ahmad Zakin ketika datang ke Polres Nganjuk.
Dua pejabat yang diperiksa KPK membantah memberikan suap kepada Bupati Nganjuk Taufiqurrahman untuk mendapÂatkan posisi. Buktinya, menurut Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Endi Arso, hingga kini dirinya belum naik pangkat. "Dari masa Pak Tris (bekas Bupati Sutrisno-red), jabatan saya masih eselon tiga," akunya.
Harjanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Nganjuk sempat menjalani pemeriksaan selama18 jam di Polres Nganjuk. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Harjanto diboyong ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan lanjutan di gedung KPK.
Pada akhir pekan, tim KPK tetap melakukan pemeriksaan saksi-saksi kasus suap jual beli jabatan. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nganjuk, Kertosono Tien Farida Yani, dan ajudan bupati bernama Oki dipanggil.
Sebagaimana diberitakan koranini, KPK melakukan OTT pada 25 Oktober 2017 di Jakarta dan Nganjuk. Tim KPK menÂciduk 20 orang. Lima belas orang akhirnya dilepas. Termasuk Ita Triwibawati, istri Bupati Nganjuk Taufiqurrahman.
Taufiqurrahman dan istrinya ditangkap di sebuah hotel di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Sejak Selasa 24 Oktober 2017, dia berada di ibukota untuk menghadiri perÂtemuan seluruh kepala daerah dengan Presiden Joko Widodo di Istana.
Selasa malam, istri Taufiqurrahman yang menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Jombang meÂnyusul ke Jakarta bersama ajudan. Pada tengah malam, Ibnu Hajar, Suwandi dan seorang wartawan bernama Bagus juga tiba di ibukota dan menginap di hotel kawasan Gambir.
Rabu pagi, Ibnu Hajar dan Suwandi menuju hotel tempat Bupati Nganjuk menginap. Rombongan lainnya yang terÂdiri dari Saiful Anam, Lurah Sidoarjo yang menjadi bakal calon Wakil Bupati Nganjuk; Johan, Sekretaris Camat Tanjung Anom, dan S, bekas kepala desa; juga menemui Taufiqurrahman di hotel.
Mereka lalu berkumpul di restoran di hotel. Saat itu terÂjadi penyerahan uang. Usai pertemuan, Taufiqurrahman, Ita, ajudan dan Bagus keluar hotel.
Sementara rombongan lainnya tetap di hotel dan menitipkan dua tas berisi uang Rp298 juta kepada Ibnu Hajar. "Saat itu tim mengamankan rombongan (Taufiqurrahman) yang bersiap berangkat. Mereka lalu dibawa ke Gedung KPK untuk diperiksa," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.
Lima orang yang masih di hotel juga dicokok dan dibawa ke KPK untuk diperiksa. Rabu sore, tim KPK menangkap Mokhammad Bisri yang sedang ada kegiatan di Jalan Sudirman, Jakarta.
Di hari yang sama, di Nganjuk tim KPKmenciduk delapan orang. Salah satunya, Harjanto. Mereka dibawa ke markas Polres Nganjuk untuk menjalani peÂmeriksaan.
Kilas Balik
Bupati Klaten: Jual Beli Jabatan Sudah Berjalan Bertahun-tahun
Bupati Klaten nonaktif Sri Hartini menyebut praktik suap pada pengisian jabatan di kaÂbupatennya merupakan tradisi yang telah berjalan selama berÂtahun-tahun. Sri menyebut uang suap itu dengan istilah 'uang syukuran'.
"Itu untuk jabatan sudah ada dari dulu-dulu, termasuk sebelum saya menjabat bupati. Biasanya sebutannya adalah uang syukuran," ujar Sri Hartini di Pengadilan Tipikor Semarang, Jawa Tengah, Rabu, 26 April 2017.
Sidang tersebut digelar untuk kasus dugaan korupsi dan suap pengisian jabatan di Klaten denÂgan terdakwa Kepala Bidang Sekolah Menengah Pertama Dinas Pendidikan Klaten, Suramlan.
Sri Hartini mengaku tidak mengetahui pejabat yang menÂciptakan tradisi suap tersebut. Ia membantah selama ini menentuÂkan nominal uang syukuran yang harus diberikan anak buahnya yang ingin naik pangkat atau jabatan. "Saya hanya mengikuti saja. Waktu menjadi wakil buÂpati lalu, saya malah tidak tahu banyak," dalihnya.
Sri Hartini mengungkapÂkan jual beli jabatan di Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten selama ini diatur Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Klaten, Bambang Teguh Setyo. Sri mengaku dua kali menerima uang syukuran dari Bambang dengan jumlah total Rp 270 juta.
"Waktu itu Saudara Bambang menyampaikan kalau dari Suramlan memberi 200 juta. Sedangkan sisanya, berasal dari setoran beberapa yang akan menjabat posisi kepala seksi," ungkap Sri Hartini.
Sri Hartini mengaku belum menggunakan uang setoran dari pejabat Pemkab Klaten. "Semua yang diberikan ke saya, saya tidak menghitung dan saya (langsung) masukkan di karÂdus," aku Hartini, saat diperiksa di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (16/8/2017).
Hartini mengaku, sebagian uang yang diterimanya dari pejabat Pemkab Klaten dicatat dalam sebuah buku tulis. Namun sebagian lagi, tidak ia catat.
Buku yang berisi tulisan tanÂgan itu saat ini telah disita jaksa KPK sebagai salah satu barang bukti. Berdasar fakta sidang, upetiyang disetorkan dari merekayang hendak promosi jabatan jumlahÂnya berbeda-beda, mulai dari Rp 20 juta hingga Rp 200 juta.
Pemberian uang dikoordinasikan melalui pihak perantara. "Hanya sebagian yang dicatat dibuku. Saya belum menggunakan uang syukuran itu," tambahnya.
Uang syukuran terakhir yang disita KPK sebesar Rp 170 juta saat operasi tangkap tangan di rumah dinas Sri Hartini. Uang syukuran ditujukan untuk proÂmosi empat pegawai di Dinas Pendidikan Klaten.
Dalam kasus ini, Sri Hartini didakwa menerima suap dan gratiÂfikasi tak lama setelah ia dilantik sebagai bupati. Total suap dan gratifikasi selama 8 bulan ia menÂjabat mencapai Rp 12,1 miliar.
Sri Hartini dilantik bersama wakilnya Sri Mulyani pada 17 Februari 2016. Tiga bulan setelah menjabat, atau sejak Mei 2016, Hartini didakwa menjalankan kegiatan jual beli jabatan.
Sri Hartini didakwa dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 12 huruf a, dan Pasal 12 huruf b Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ***