Jaksa Agung terus membanding-bandingkan korpsnya dengan KPK. Dalam rapat gabungan DPR dengan Polri dan KPK, kemarin, Prasetyo ingin korps adhyaksa punya kewenangan yang sama dengan KPK.
Dalam rapat bertema evaluasi 15 Tahun penanganan perkara korupsi itu, Jaksa Agung mengungkapkan sejumlah kendala institusinya memberantas tindak pidana korupsi. Di antaranya, terkait keterbatasan kewenangan dan anggaran.
"Semua perlu izin pengadilan untuk penggeledahan dan pemeriksaan, punya alat sadap tapi dibatasi penggunaannya," tutur Prasetyo di depan anggota Komisi III DPR.
Prasetyo pun menyebut, kejaksaan bisa bekerja lebih baik daripada aparatur penegak hukum lainnya bila diberikan kewenangan dan hak yang sama. "Kami, Kejaksaan, dalam hal ini (memberantas korupsi) bisa lebih baik dari penegak hukum lainnya bila diberi kesetaraan kewenangan," tegasnya.
Selain itu, keterbatasan anggaran kejaksaan juga menjadi kendala Kejaksaan Agung, Untuk pemenuhan sarana dan prasarana. Rata-rata kebutuhan anggaran mencapai Rp4,7 triliun setiap tahun. Untuk satu perkara dibutuhkan Rp150 juta dimana operasional penuntutan tergantung pada jarak dan wilayah. "51 persen untuk gaji pegawai, kita punya 10 ribu jaksa dan 3 ribu staf administrasi. Betapa kecilnya anggaran kejaksaan," ujar Prasetyo.
Sekalipun begitu, Prasetyo mengakui, Kejagung menggantungkan harapan pada KPK yang memiliki kepercayaan masyarakat karena dukungan wewenang koordinasi dan supervisi.
"Hanya saja, supervisi rasanya kurang bahkan belum pernah ada. Sesuai surat Jampidsus, ada 10 perkara yang disupervisi dan koordinasi oleh KPK, Polri dan kejaksaan wajib patuh pada apa yang diinginkan KPK," keluh Prasetyo.
Prasetyo sendiri menegaskan, tak ada rivalitas antara kejaksaan dan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia. "Kami nggak berpikir rivalitas. Kami saling mengisi kekurangan dan saling memberi kelebihan. Kami contohnya, kami berikan jaksa kami ke KPK," tuturnya.
Lembaganya juga tak merasa tersaingi dengan rencana kelahiran Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) terbentuk. Ia memperkirakan, ke depan Polri, kejaksaan dan KPK akan semakin solid memberantas korupsi.
Dalam rapat ini, Prasetyo lebih menonjolkan kerja Kejaksaan dalam menindak perkara korupsi dan menyelamatkan uang negara, antara lain melalui Satuan Tugas Khusus Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi (Satgasus P3TPK) untuk memberantas korupsi. "Satgasus P3TPK sudah jalan terus dan hasilnya alhamdulilah cukup baik dan kami cukup memberantas korupsi cukup banyak," ujar dia.
Sementara KPK melalui Ketuanya, Agus Rahardjo, lebih banyak menyampaikan hasil kerja-kerja KPK sehingga bisa mencapai rangking ketiga terbaik di kawasan Asean dalam pemberantasan korupsi. Sedangkan Kapolri Tito Karnavian memaparkan soal rencana pembentukan Densus Tipikor.
Prasetyo yang selalu serius sepanjang rapat, sempat juga melontarkan candaan. Candaannya soal megaproyek pembangunan jembatan penghubung antara surga dan neraka. "Jadi untuk mencairkan suasana saja. Biar suasananya tidak tegang. Jadk konon katanya hendak dibangun jembatan dari surga dan neraka agar para penghuni bisa saling berkomunikasi," tutur eks politikus Nasdem ini.
Sesuai rencana, separuh jembatan dikerjakan dari neraka dan sebagian lagi dari surga. Nantinya, mereka akan bertemu di tengah-tengah. Singkat cerita, dalam waktu enam bulan, jembatan dari neraka sudah dikerjakan. Sebaliknya dari arah surga sama sekali belum dikerjakan. Penghuni neraka pun dibuat marah dan murka. "Kebetulan penghuni neraka adalah jaksa. Sedangkan penghuni surga adalah KPK," kata Prasetyo, masih dengan mimik serius.
Penghuni neraka pun marah. Mereka pun teriak-teriak kepada penghuni surga. "'Hei, kenapa jembatan surga tidak jadi'," ucap Prasetyo.
"Penghuni surga yang diketahui dari KPK menjawab. 'Bagaimana kami mau selesaikan kalau pimpronya (pimpinan proyek) dan kontraktornya saja pada di sana (neraka)," seloroh Prasetyo lagi. Gerrrr… peserta rapat, termasuk Kapolri dan Ketua KPK tertawa.
Tak lama, rapat jeda. Kemudian, sekitar pukul 2, rapat dilanjutkan. Namun, dilakukan secara tertutup. Wartawan tak diperbolehkan meliput.
Usai rapat, Wakil Ketua Komisi III Desmond Junaidi Mahesa selaku pemimpin rapat membeberkan kesimpulan rapat itu. Menurutnya, Komisi III DPR meminta tak ada tumpang tindih kewenangan antara KPK, Polri, dan Kejagung dalam menindak perkara korupsi. Rapat kerja lanjutan akan digelar pada Senin 23 Oktober 2017, pekan depan.
Desmond sendiri menilai, tiga lembaga lembaga penegak hukum ini signifikan dalam memberantas korupsi. Komisi III pun meminta tak ada ego sektoral di antara penggawa hukum ini. "Mereka saling dukung," tandas Desmond.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai, pernyataan Jaksa Agung yang membandingkan kewenangannya dengan KPK adalah bentuk keirian. "Itu hanya semata mata iri, tapi belum dengki," ujar Boyamin saat dikontak, semalam.
Menurut Boyamin, Kejagung sudah sama dengan KPK. Mereka memiliki fungsi penyidikan dan penututan satu atap seperti KPK. Korps adhyaksa juga punya alat sadap. Pun dengan kewenangan menahan tersangka dan menyita aset.
"Kewenangan Kejagung penyidikan sejak Orde Baru namun karena jelek maka ada KPK. Mohon bercermin pada tengkuk sendiri, berkaca pada wajah sendiri," sindir Boyamin. Dia mengingatkan, tahun ini saja, banyak jaksa yang kena OTT KPK.
Justru Boyamin khawatir, jika kewenangan kejaksaan ditambah, nantinya malah menjadi "lembaga penasehat dan pengingat". "Jika Jaksa Agung masih orang ini (Prasetyo), maka tidak perlu ditambah kewenangannya," tegasnya. ***