Berita

Halimah Yacob/Net

Dunia

Presiden Itu, Halimah Namanya

SABTU, 16 SEPTEMBER 2017 | 09:36 WIB | OLEH: SUDARNOTO A HAKIM

KRITIK, kekecewaan dan kemarahan masyarakat Singapura atas terpilih dan ditetapkannya Halimah Yacob sebagai presiden Singapura ternyata tidak berpengaruh.

Kemarahan mereka bukan karena alasan gender, bukan alasan agama karena dia muslimah dan bukan juga alasan latar belakang etnis karena Halimah berasal dari etnis melayu yang hanya berjumlah sekitar 13 persen  sementara etnis mayoritas China mencapai 74 persen.

Mereka menolak karena penetapan Halimah tidak melalui mekanisme demokratis yaitu pemilihan umum. Para pengkritik nampaknya masih gamang dengan mekanisme Pilpres sejak amandemen konstitusi November 2016.

Menurut mekanisme yang sah -- dengan mempertimbangkan racial harmony di kalangan puak China, melayu, India dan kelompok-kelompok etnis lainnya-- maka presiden Singapura haruslah berasal dari kelompok etnis secara bergantian. Jika selama lima periode berturut-turut ada satu kelompok etnis tertentu yang belum memperoleh giliran atau kesempatan menjadi presiden, maka pada Pilpres berikutnya otomatis kelompok etnis tersebutlah yang akan menjadi presiden.

Dan Pilpres kali ini yang harus menjadi presiden adalah seorang yang berasal puak melayu. Seharusnya sesuai dengan jadwal tanggal 23 September akan diberlangsungkan Pilpres. Akan tetapi karena calon melayu yang lain dinilai tidak memenuhi persyaratan, maka KPUnya Singapura memutuskan Pemilu tidak jadi diselenggarakan. Calon melayu lainnya gugur dan Halimah akhirnya ditetapkan sebagai presiden yang sah, tidak tertolak, oleh Election Department.

Jadi,  pandangan yang mengatakan bahwa Halimah --seorang muslimah dari kelompok etnis minoritas di Singapura -- dipilih oleh mayoritas China adalah pandangan yang sama sekali tidak berdasar. Ini merupakan a political affirmation melalui undang-undang yang tersedia karena mekanisme demokrasi yang biasa seperti yang diterapkan di Indonesia misalnya memang tidaklah cocok untuk kebutuhan masyarakat dari sebuah Negara Kota semacam Singapura.

Posisi dan otoritas presiden ala Singapura juga berbeda misalnya dengan presiden ala Indonesia. Otoritas yang kuat di Singapore adalah di tangan eksekutif yaitu Perdana Menteri (Prime Minister). Presiden Singapura itu presiden upacara atau seremonial; otoritasnya terbatas meskipun mempunyai  hak veto terhadap simpanan keuangan negara dan anggaran negara, penunjukan pejabat publik seperti Ketua Mahkamah Agung (MA), Jaksa Agung, Panglima Angkatan Bersenjata dan Kepala Staf Tiga Angkatan. Bahkan presiden juga dapat memveto Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan parlemen.

Sepanjang sejarahnya sejak kemerdekaan, Singapura tidak pernah mengalami problem ketatanegaraan yang menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bernegara; pemerintah juga berjalan dengan kontrol ketat. Fungsi-fungsi PM dan presiden, misalnya,  berjalan. Kesejahteraan terbangun dengan baik akan tetapi dengan sistem politik di mana perdana menteri sangat berkuasa dan bahkan partai yang harus terus menang dan berkuasa ialah People Action Party, di mana Halimah berasal. Kemenangan sepanjang sejarah pasca kemerdekaan Singapura bagi PAP sangat penting untuk menjamin stabilitas politik dan keamanan terjamin.

Naiknya Halimah sebagai presiden dengan demikian sekali lagi tidak melalui sebuah mekanisme politik pemilu yang demokratis karena mekanisme ini memang tidak diperlukan. Political affirmation dengan menunjuk Halimah Yacob sebagai presiden akan semakin memberikan jaminan bahwa presiden haruslah seseorang yang bisa dikendalikan agar loyal dan terbebas dari kepentingan dan apalagi kekisruhan partai politik. Sekali presiden terjebak oleh sikap partisan, maka ini dinilai akan merusak tatanan dan mengganggu stabilitas.

Makna Penting

Kendati Halimah Yacob terpilih sebagai presiden tanpa melalui pemilihan umum,  namun hemat penulis peristiwa ini memiliki makna penting antara lain ialah:

1. Adanya apresiasi terhadap peran publik dan politik kaum perempuan. Memang masih terbilang sangat langka dan diantara yang langka ini ialah Halimah. Keterlibatan sosial politik Halimah sudah panjang apalagi sejak kecil Halimah memang sudah terbiasa berjuang secara ulet karena tuntutan hidup. Dia tahu apa yang harus diperjuangkan. Posisi terakhir Halimah ialah memimpin parlemen selama tiga tahun sebelum dia kemudian mengundurkan diri untuk keperluan capres. Pergumulan sosial politik Halimah ini dinilai sebagai capaian atau sebuah  prestasi yang tidak semua perempuan bahkan laki-laki bisa lakukan.  Ditetapkannya sebagai presiden adalah karena dia memenuhi syarat dan diyakini mampu.

2. Dengan terpilihnya sebagai presiden ke delapan,  maka menempatkan Halimah sebagai tokoh atau pemimpin perempuan penting di Asia. Di antara mereka ialah Yingluck Shinawatra yang menjadi Perdana Menteri Thailand pada 2011; Megawati Soekarnoputri; Sirimavo Bandaranaike PM wanita pertama di Sri Lanka; Corazon Aquino, presiden wanita pertama di Filipina, bahkan di Asia. Ia dianggap berjasa membawa Filipina keluar dari kediktatoran pemerintahan Ferdinand Marcos. Masih dari Filipina,  ada Gloria Macapagal-Arroyo yang menjadi presiden Filipina dari 2001 sampai 2010.

3. Adanya keberanian untuk melakukan amandemen terhadap konstitusi yang ditunjukkan oleh PM sendiri. Melalui amandemen ini maka kelompok etnis melayu dan India--selain kelompok etnis mayoritas yaitu cina memperoleh hak konstitusional menjadi presiden. Isu ini menjadi perdebatan cukup keras di parlemen.  Dengan demikian PM baik secara langsung maupun tidak langsung membuka jalan mulus bagi Halimah menuju kursi presiden.

4. Disamping jaminan undang-undang terhadap peran politik kaum perempuan, prinsip meritokrasi menjadi sangat penting. Halimah adalah contoh gambaran seorang perempuan dari lingkungan keluarga biasa (tidak seperti tokoh perempuan lain sebagaimana disebut di atas), pekerja dan pejuang kehidupan, pembela masyarakat, terpelajar dan memiliki karir politik dan birokrasi yang sukses.

Realitas di atas menjadi sangat penting dalam rangka menginspirasi dan mendorong secara maksimal peran peran strategis perempuan terutama dalam bidang sosial dan politik di lingkungan masyarakat di Asia Tenggara. Tentu Indonesia berpeluang besar melahirkan pemimpin perempuan dan ini sudah terbuktikan secara riil historis meskipun baru satu yang menjadi presiden. Wallahu a'lam.[***]


Penulis adalah Pakar Politik Malaysia dan Asia Tenggara

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Karyawan Umbar Kesombongan Ejek Pasien BPJS, PT Timah Minta Maaf

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:37

Sugiat Santoso Apresiasi Sikap Tegas Menteri Imipas Pecat Pelaku Pungli WN China

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:30

KPK Pastikan Tidak Ada Benturan dengan Kortastipikor Polri dalam Penanganan Korupsi LPEI

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:27

Tabung Gas 3 Kg Langka, DPR Kehilangan Suara?

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:10

Ken Martin Terpilih Jadi Ketum Partai Demokrat, Siap Lawan Trump

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:46

Bukan Main, Indonesia Punya Dua Ibukota Langganan Banjir

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:45

Larangan LPG di Pengecer Kebijakan Sangat Tidak Populis

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:19

Smart City IKN Selesai di Laptop Mulyono

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:59

Salah Memutus Status Lahan Berisiko Besar Buat Rakyat

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:45

Hamas Sebut Rencana Relokasi Trump Absurd dan Tidak Penting

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:26

Selengkapnya