Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban menagih tanggung jawab negara untuk mengaÂlokasikan lebih banyak anggaran bagi korban terorisme. Anggaran itu bisa berbentuk dana abadi yang dikelola lembaga khusus yang menangani pemenuhan hak korban terorisme.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyu Wagiman meÂnyebutkan, negara seharusnya sudah memikirkan penyiapan dana abadi bagi korban terorÂisme yang tidak sulit diakses.
"Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) harusnyabisa menjadi pelopor dan menginisiasi dana abadi karena hal seperti ini belum ada di Indonesia, beda dengan beberapa negara lain," ujarnya di Jakarta.
Pihaknya mengkritik praktik yang berlansung saat ini, diÂmana alokasi anggaran untuk program deradikalisasi lebih besar. Sebaliknya, alokasi angÂgaran untuk korban terorisme minim dan tak kunjung ada kemajuan.
"Koalisi mendesak pemerinÂtah dan DPR untuk mendorong lembaga seperti LPSK agar melayani korban lebih maksiÂmal, baik administrasi maupun anggaran," katanya.
Wahyu menyebutkan ada beberapa catatan dalam pemenuÂhan hak korban terorisme. Salah satunya, masalah kompensasi yang harus melewati pengadilan. Namun, terkadang penuntut umum lupa memasukkannya ke dalam tuntutan. Catatan lainÂnya adalah masalah bantuan baik medis, psikologis maupun psikososial.
Jika berkaca pada beberapa kasus terorisme, seperti Bom Bali I dan II, masih banyak korÂban yang harus berobat sendiri dan tidak dibiayai negara. Hal ini menjadi masalah bersama. "Karena itulah momen revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan saat ini seharusnya dapat mengatasi situasi tersebut," imbuhnya.
Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, mengakui, hingga saat ini anggaran LPSK terbilang cukup kecil dibandingkan lemÂbaga lain yang juga menangani permasalahan terorisme, dimana per tahunnya anggaran LPSK berkisar Rp75 miliar. "Jumlah anggaran bagi korban terorisme tersebut lebih kecil dari angÂgaran untuk pencegahan dan penindakan," katanya.
Terkait pembahasan revisi UU Pemberantasan Terorisme, pihaknya berpendapat, tekanan tidak hanya ditujukan kepada pencegahan atau penindaÂkan semata, melainkan juga terkait penanganan saksi dan korban. ***