Berita

Ilustrasi/Net

Pertahanan

Tokoh Muda NU: Krisis Rohingya Bukan Isu Agama, Jangan Mudah Terprovokasi

JUMAT, 08 SEPTEMBER 2017 | 07:38 WIB | LAPORAN:

Masyarakat diminta untuk waspada akan politisasi kelompok-kelompok radikal terhadap krisis kemanusiaan yang menimpa etnis rohingya di Rakhine State, Myanmar.

Apalagi krisis etnis rohingya ini ‘dibumbui’ isu agama tentunya akan dapat merusak persatuan bangsa kalau tidak disikapi dengan cermat duduk permasalahannya.

"Kita harus bisa mendudukkan persoalan masalah etnis rohingya ini dengan cermat. Sebenarnya ini kan masalahnya multi konflik atau multi faktor yang sudah lama berkembang. Ada faktor geopolitik, ada faktor sumber daya alam, etnis dan faktor-faktor lainnya," ujar peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan /Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Adnan Anwar di Jakarta.  

Mantan Wakil Sekjen PB NU ini menjelaskan, masalah konflik etnis rohingya di Myanmar ini bukanlah konflik agama, meski  banyak umat muslim yang menjadi korban dalam kekerasan di Rakhine, Myanmar.
 
"Ini kan konflik multi faktor, multi sektoral. Jadi kalau ada yang mengatakan ini pembantaian terhadap umat islam sudah pasti tidak benar lah. Masalah ini harus didudukkan yang sebenarnya," ujar tokoh muda NU ini.

Ia menangkap adanya upaya mobilisasi masyarakat muslim dunia, termasuk di Indonesia yang menyatakan bahwa konflik di Rakhine itu menyangkut agama.
"Tentunya itu sangat salah sekali. Masyarakat harus lebih cerdas mencermati masalah tersebut dan jangan sampai terprovokasi. Kalau isu masalah agama itu terus dikembangkan bisa-bisa masyarakat kita yang terpecah."
 
Ia meminta masyarakat untuk tetap waspada agar tidak mudah dihasut oleh segelintir kelompok tertentu yang berusaha mengajak pergi berjihad dengan dalih membantu etnis muslim rohingnya di Myanmar

"Saya kira itu juga tidak relevan. Lalu disini membikin aksi untuk menyerang agam tertentu. Bahkan melakukan demonstrasi di candi Brobudur, Saya kira itu tidak tepat. Karena sejatinya masalah tersebut bukanlah isu agama," tuturnya.

Namun demikian, tambah  alumni Hubungan Intenasional Universitas Airlangga Surabaya ini, yang bisa dilakukan masyarakat sekarang adalah menekan pemerintah RI agar aparat militer Myanmar tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Karena pemerintah-lah yang memiliki hak untuk bersuara di level ASEAN atau kepada PBB.

"Harusnya seperti itu yang dilakukan. Yang bisa kita lakukan ini kan namanya second track diplomacy sebagai kekuatan masyarakat. Menyampaikan second track diplomacy itu harus ada di belakangnya pemerintah," ujar pria yang ditunjuk sebagai pengembang organisasi NU di kawasan Timur Tengah ini. 

Lalu seperti yang sudah dilakukan masyarakat Islam dengan dzikir bersama atau membaca doa Qunut Nazilah sebagai upaya untuk menolong masyarakat muslim yang menjadi korban di Myanmar ia nilai sudah cukup bagus. "Itu saja digalakkan di masjid-masjid atau mushola untuk membantu masyarakat muslim dari etnis rohingya supaya terhindar dari mara bahaya," ujarnya

Langkah lainnya menurut pria yang pernah menempuh pendidikan master di Belanda ini yakni dengan membikin solidaritas kemanusiaan melalui donasi atau penggalangan dana.

"Saya kira itu lebih patut di kalau kita dudukkan, tindakan kita sebagai warga negara Indonesia ya disitu itu. Selebihnya kita tidak bisa berbuat apa-apa karena itu sudah mencampuri urusan negara orang lain," ujarnya.[wid]

Populer

Demo di KPK, GMNI: Tangkap dan Adili Keluarga Mulyono

Jumat, 20 September 2024 | 16:22

Mantan Menpora Hayono Isman Teriak Tanah Keluarganya Diserobot

Jumat, 20 September 2024 | 07:04

KPK Ngawur Sebut Tiket Jet Pribadi Kaesang Rp90 Juta

Rabu, 18 September 2024 | 14:21

Kaesang Kucing-kucingan Pulang ke Indonesia Naik Singapore Airlines

Rabu, 18 September 2024 | 16:24

Fufufafa Diduga Hina Nabi Muhammad, Pegiat Medsos: Orang Ini Pikirannya Kosong

Rabu, 18 September 2024 | 14:02

Kaesang Bukan Nebeng Private Jet Gang Ye, Tapi Pinjam

Rabu, 18 September 2024 | 03:13

Makin Ketahuan, Nomor Ponsel Fufufafa Dicantumkan Gibran pada Berkas Pilkada Solo

Senin, 23 September 2024 | 09:10

UPDATE

Rusia, China dan Iran Dituding Gunakan AI untuk Ganggu Pilpres AS

Jumat, 27 September 2024 | 09:54

Kejar Keuntungan, Toko Daring Kompak Naikkan Biaya Komisi

Jumat, 27 September 2024 | 09:41

Cuma Bangun Gedung, Jokowi Belum Pindahkan Ibu Kota ke IKN

Jumat, 27 September 2024 | 09:28

Karpet Persia, Eksotik dan Banyak Dikoleksi sebagai Investasi

Jumat, 27 September 2024 | 09:27

Satgas Impor Ilegal Bukan Penyelesaian, hanya Shock Therapy Saja

Jumat, 27 September 2024 | 09:14

Diduga Tidak Netral di PK Mardani Maming, KY Perlu Periksa Hakim Ansori

Jumat, 27 September 2024 | 09:09

Jelang Akhir Pekan Emas Antam Stagnan, Termurah Masih Dibanderol Rp780.500

Jumat, 27 September 2024 | 09:03

Zulhas: Rencana Pemindahan Pelabuhan Barang Impor Diputuskan Prabowo

Jumat, 27 September 2024 | 08:52

Komitmen Prabowo Lanjutkan Pondasi Ekonomi Jokowi, Beri Kepastian bagi Investor

Jumat, 27 September 2024 | 08:47

Prabowo-Gibran Bakal Tarik Utang Baru Rp775 Triliun di Awal Menjabat, Buat Apa?

Jumat, 27 September 2024 | 08:35

Selengkapnya