Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan dapat lebih menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memproses kasus korupsi korporasi, terutama peÂrusahaan yang sudah go publik di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sebagai perusahaan terbuka, status hukum tersebut dapat mempengaruhi kondisi finanÂsial perusahaan, sehingga dapat mengancam kepastian usaha dan nasib para karyawan.
"Penanganan kasus yang menyangkut korporasi harus berÂbeda dengan perorangan. KPK perlu lebih berhati-hati dalam memberikan informasi kepada publik sampai adanya kepastian hukum yang tetap," ujar Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal, Indra Safitri, di Jakarta, kemarin.
Indra mencontohkan langÂkah KPK dengan menguÂmumkan PT Nusa Kontruksi Engineering Tbk (NKE) sebaÂgai tersangka korupsi korpoÂrasi. Akibatnya, perusahaan itu langsung dirundung masalah. Mulai dari penghentian semenÂtara (suspend) aktivitas saham oleh PTBursa Efek Indonesia, sampai kesulitan mendapatkan pinjaman dari perbankan.
"KPK pun harus memiliki sistem pengungkapan korupsi yang baik, apakah benar perusahaan yang melakukan kesalahan atau justru kasus ini hanya dikarenakan perorangan. Ini nantinya juga akan menunÂjukkan apakah memang sistem dalam lelang itu yang memang bermasalah," tegas Indra.
PTNKE sendiri telah berÂsikap proaktif dengan menyerahkan uang sekitar Rp 15 miliar kepada KPK. Kasus hukum yang melibatkan NKE berhungan dengan proyek pembangunan rumah sakit Universitas Udayana Bali taÂhun 2009-2010.
Pengamat Hukum Korporasi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Yudho Taruno Muryanto menyatakan sistem yang koruptif dinilai sebagai salah satu penyebab utama banÂyaknya perusahaan tersandung korupsi.
"Untuk mendapatkan proyek, pimpinan perusahaan atau proyek seringkali harus berkomÂpromi dengan situasi ini. Kondisi inilah yang membuat banyak perusahaan tidak bisa menolak ketika diminta untuk memberi suap," tutur Yudho.
Yudho memberi contoh, daÂlam sidang tindak pidana korupsi (Tipikor) dengan tersangka Dudung, mantan Direktur Utama PT Duta Graha Indah (DGI), di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat (9/8), terungkap bahwa Muhammad Nazaruddin meÂminta uang komisi dari proyek yang diberikan ke DGI.
Dalam kesaksiannya, mantan direktur pemasaran PT Anak Negeri, Mindo Rosalina menÂgungkapkan, Nazaruddin meÂminta fee proyek pembangunan Rumah Sakit Khusus Universitas Udayana Bali sebesar 19% dari nilai proyek antara tahun 2009-2011 sebesar Rp 40 miliar.
Untuk mencegah terjadinÂya korupsi korporasi, aparat penegak hukum, termasuk KPK disarankan mendorong fungsi pencegahan. Terutama berkaitan dengan proses pengadaan barang yang selama ini sering menjadi pintu masuk terjadinya praktik suap dan korupsi. ***